PAN Merapat ke Koalisi, Lemahkan Fungsi Pengawasan Legislatif di DPR?

Partai Amanat Nasional (PAN) santer dikabarkan merubah haluan politik, tidak lagi di luar koalisi tetapi sudah bergabung dengan koalisi pendukung Jokowi, kabar ini seolah terkonfirmasi kebenarannya saat Ketum dan dan Sekjend partai berlambang matahari ini turut hadir dalam pertemuan partai koalisi bersama Jokowi yang digelar di Istana.

Jauh sebelum peristiwa ini kecenderungan berubahnya haluan politik PAN memang telah terlihat, khususnya setelah Amien Rais meninggalkan PAN dan mendirikan Partai Umat, lantas dengan berubahnya sikap politik PAN serta merta menyebabkan fungsi pengawasan Legislatif terhadap presiden menjadi lemah?

Bacaan Lainnya

Melemahnya fungsi pengawasan legislatif terhadap presiden sebagai eksekutif bukan hal baru, jauh sebelum kabar merapatnya PAN ke koalisi fungsi pengawasan legislatif memang sudah lemah, gejala ini merupakan sebuah proses panjang, bukan baru terjadi belakangan ini, khususnya kalau kita memandang dalam konteks pemerintahan Jokowi.

Melemahnya fungsi legislatif dimulai saat partai oposisi di DPR yang kala itu jumlahnya lebih besar dibandingkan partai koalisi, satu demi satu berhasil ditarik oleh Jokowi masuk ke dalam kelompok koalisi yang mendukungnya, penarikan ini berlangsung keras dan sengit, beberapa partai oposisi awalnya mengalami dualisme kepengurusan, dan faksi kepengurusan yang disahkan pemerintah biasanya yang memperlihatkan dukungan kepada pemerintah, intervensi kekuasaan bermain dalam merubah haluan politik partai-partai tersebut.

Bagaimana nasib partai oposisi yang sudah masuk koalisi? bagaimana pandangan politiknya? apakah kemampuan pengawasannya terhadap eksekutif turut melemah? hampir pasti jawabannya “iya”, dalam realitas politik partai yang tergabung dalam koalisi punya kecenderungan kuat mensukseskan semua agenda pemerintah yang butuh persetujuan DPR, partai koalisi terlalu jauh dari tindakan mengkritik pemerintah, kalaupun mengkritik maka itu tak lebih dari basa basi saja, ujungnya pasti juga akan mendukung.

Padahal, pengawasan mengharuskan kritik, bila kritik tidak ada artinya pengawasan juga tidak berjalan, kebijakan yang disodorkan pemerintah ke legislatif selalu berjalan mulus tanpa hambatan, kalaupun ada riak-riak kritik. Maka itu pasti datangnya dari partai oposisi yang jumlahnya semakin menyusut, dengan jumlah minim praktis kritik mereka tidak berpengaruh banyak terhadap kebijakan pemerintah, di bagian ini legislatif tidak lagi berfungsi sebagai wakil rakyat. Legislatif yang dikendalikan koalisi justru berubah menjadi tukang stempel kekuasaan.

Intinya, berubahnya kecenderungan haluan politik PAN bukan faktor penentu melemahnya fungsi pengawasan Legislatif terhadap eksekutif, jauh sebelum itu fungsi pengawasan tersebut telah melemah, saat satu per satu partai oposisi memilih balik badan menjadi koalisi pendukung pemerintah.

Lalu kedepannya bagaimana sikap politik partai-partai yang masih berada di garis oposisi, apakah akan menyusul langkah PAN? Semoga saja tidak. Semoga saja mereka mampu melakukan puasa kekuasaan hingga 2024.

Bagaimanapun, kekuasaan dalam negara demokrasi membutuhkan kekuatan kontrol penyeimbang, dalam konteks politik praktis partai oposisi yang menjalankan fungsi tersebut, demokrasi tanpa oposisi pasti akan berubah menjadi otoritarianisme, tentu bukan ini yang kita harapkan, membayangkannya saja sudah ngeri.

Zaenal Abidin Riam
Pengamat Kebijakan Publik/Koordinator Presidium Demokrasiana Institute

Pos terkait