NGADUK

Khairul Fahmi, Tukang Telor Puyuh Keliling

Hari raya Idul Fitri buat orang Betawi itu bukan cuma dua hari mengikuti tanggal merah yang dikeluarkan pemerintah. Apa lagi satu hari. Tapi satu bulan. Kenapa ? ” Puasanya aja satu bulan “, begitu jawaban orang-orang tua Betawi dulu kalau ditanya kenapa lebaran sampai satu bulan.

Lebaran satu bulan itu bukan cuma sekedar omongan, tapi kenyataan. Idul Fitri digunakan betul oleh Orang Betawi untuk silaturrahmi ke sanak saudara dan handai taulan. Mulai dari yang tempat tinggalnya yang terdekat, hari-hari terakhir yang terjauh. Silaturrahmi ini bukan saja kepada saudara kandung, tapi yang masih ada “bau-bau saudara” didatangi. Dulu, lebaran itu meriah sekali.

Tradisi ini kalau dikatakan hilang, tidak juga. Tapi mulai berkurang, dan kurang meriah. Satu sebabnya, karena urusan orang sekarang semakin banyak. Yang paling menyedot perhatian dan biaya adalah urusan sekolah. Positifnya memang orang Betawi sudah mementingkan pendidikan anak-anaknya. Dulu mungkin lebaran menjadi prioritas di antara yang lain. Bayangkan saja, orang sekarang, selesai lebaran sudah dihadapkan dengan urusan sekolah ; SPP bulanannya, biaya daftar ulangnya, biaya PKL, atau biaya masuk sekolah. Untuk keperluan ini akhirnya urusan lebaran juga seadanya.
Itu mungkin satu alasan. Alasan lainnya, telah terjadi pergeseran cara pandang terhadap pentingnya silaturrahmi. Sebab, kalau alasannya uang, toh banyak juga yang jalan-jalan ke tempat wisata, baik yang di dalam kota, maupun yang di luar kota. Sampai-sampai ada petuah dari orang tua : ” Tong, tengokin tuh Uwaklu sono, jangan Uwa yang di Ragunan yang lu tengokin “.

Kondisinya makin menjadi-jadi setelah era digital ini. Ada sebagian orang yang merasa cukup bersilatuhrrahmi dengan kalimat ucapan di whats app, atau video call. Singkat kata dari hari ke hari kemeriahan dan kehangatan susana silaturrahmi di hari raya makin memudar. Ini menjadi sesuatu yang harus direvitalisasi sebenarnya.

Yang identik dengan acara silaturrahmi idul fitri itu adalah bawaannya, tentengannya. Sampai dengan tahun 1990 an, tentengan yang dibawa orang Betawi adalah kue-kue khas Betawi, yang adanya pun pada hari lebaran, di antaranya : wajik, dodol, rengkambang, kue cina, ul, dan geplak. Hantaran kue ini biasanya dibawa untuk yang rumahnya jauh. Sementara kalau yang dekat, hantarannya nasi atau ketupat dengan sayur laksa/sayur godong, dan semur daging kerbau. Diantarnya siang hari sebelum malam takbiran atau malam takbiran.

Kue-kue untuk lebaran dibuat secara mendadak. Misalnya besok pagi mau ke rumah Encang Anu, malamnya numbuk uli, atau bikin wajik. Dua kue ini dibuat mendadak karena mudah keras, atau jamuran (buluk). Dan biasanya dua atau tiga hari setelah lebaran, teman ngopi orang Betawi itu uli atau dodol goreng. Dua kue itu digoreng karena sudah mulai ditumbuhi jamur. Dibuang sayang, akhirnya dihangatkan dengan digoreng, tapi sebelunya jamur yang menempel dibuang dulu. Terkadang ada yang membahasan kepada orang yang mampir : ” Woy, mampir ngapah. Uli-uli buluk mah kan ini ada “.

Dodol dan geplak beda lagi. Dua kue ini agak tahan lama. Karena itu pembuatannya juga tidak dadakan. Dodol biasanya dibuat satu minggu sebelum lebaran. Proses pembuatannya dinamakan “NGADUK”. Dinamakan ngaduk karena proses pembuatannya dengan diaduk terus menerus. Biaya pembuatannya termasuk mahal. Dan terkadang menjadi ukuran status sosial ekonomi juga saat lebaran. Yang bisa NGADUK tentu yang punya uang. Prosesnya cukup lama, kurang lebih satu hari. Mulainya pagi, selesainya sore, saat berbuka puasa. Yang mengerjakan bukan perempuan, tapi kaum lelaki yang masih muda. Karena tenaga yang dibutuhkan memang besar. Upahnya bukan uang, tapi dodol juga.

Dodol berbahan baku tepung ketan, gula merah, dan santan. Dimasak di atas api tungku kayu bakar menggunakan wajan besar yang disebut kawa. Alat pengaduknya centong kayu besar bergagang panjang. Untuk proses awal tetap yang berperan kaum wanita, karena ini berkaitan dengan resep. Untuk selanjutnya dikerjakan oleh kaum lelaki sampai matang.

Untuk mengaduk dodol dibutuhkan tempat yang luas karena wadah pengaduknya (kawa) juga besar, dimasak di atas tungku. Bahan bakarnya kayu. Kayunya didapat dari pohon-pohon sekitar rumah. Kayu yang dicari biasanya kayu jambu biji, kayu rambutan, atau kayu kecapi. Kayu-kayu tersebut keras. Pengaruhnya kepada api yang dihasilkan, lebih lama mengeluarkan api dan bara

Ada bagian yang paling ditunggu dari dodol ini. Namanya “bentelan”, yaitu bagian-bagian sisa yang menempel di wajan atau di centong pengaduk yang dikumpulkan. Kalau sudah terkumpul dibungkus daun pisang atau plastik.

Tapi sekarang di Pondok Pinang sudah tidak ada lagi yang ngaduk. Tempatnya juga tidak ada lagi. Kayu bakarnya juga nyari di mana. Dari pada ribet, tentengan orang Pondok Pinang sekarang biasanya kue-kue kering dan sirop. Ada juga yang bawa sembako. Akhirnya, jarang ditemukan orang makan dodol buluk yang digoreng setelah lebaran.

Pos terkait