Pengantar
Pemintaan maaf eks bangsa penjajah kepada bangsa yang pernah jadi jajahannya memang sepatutnya diikuti dengan kompensasi ganti kerugian. Ganti kerugian bukan hanya sekadar pengakuan rasa bersalah dalam bentuk uang, tetapi juga harus mengembalikan segala artefak dan kekayaan berharga milik bangsa Indonesia yang digondol ke negeri keju Belanda.
Di samping itu, eks bangsa penjajah juga harus ikut serta memperbaiki segala kerusakan struktural kemiskinan, pembodohan, dan pengerdilan budaya yang mau tidak mau harus diakuinya sebagai dampak ikutan penjajahan. Segala _mode of production ketika melakukan pemiskinan terstruktur bangsa pribumi.
Modus Operandi Penjajahan Baru
Perdana Menteri Belanda baru saja mengumumkan pengakuan dan permintaan maaf atas penjajahan dan perbudakan yang dilakukan oleh bangsanya di masa lalu. Termasuk kepada Indonesia yang telah diperbudak selama kurang lebih 250 tahun. Dalam permintaan maafnya itu juga berjanji akan mengembalikan barang barang seni yang dulu pernah dirampas.
Sebagai bangsa penjajah beratus tahun dan baru mengakuinya saat ini tentu sangat memalukan. Tapi setidaknya dengan permintaan maaf, bangsa itu tidak akan mengulangi kesalahanya sebagai bangsa yang brutal dan nir kemanusiaan memperlakukan bangsa lain di masa datang. Ini penting untuk ciptakan perdamaian dunia.
Tapi permintaan maaf saja tentu tidak cukup. Mengakui kesalahan itu tentu juga mengandung konsekuensi. Konsekuensinya adalah membayar kerugian yang diderita oleh bangsa-bangsa yang telah dijajah. Tak hanya mengembalikan artefak karya karya seninya yang dirampok, tapi mengembalikan pembayaran utang yang baru kita lunasi beberapa tahun lalu, mengembalikan seluruh kerugian materiil dan immateriilnya.
Kalaupun harta mereka tidak cukup untuk melunasinya saat ini, maka mereka harus lunasi hingga beberapa puluh atau ratus tahun mendatang. Tidak bisa begitu saja lepas dari tanggungjawab. Kemajuan bangsa mereka hari ini adalah berasal dari rampasan bangsa kita di masa lalu.
Pengakuan kesalahan Belanda tersebut juga harus kita jadikan sebagai modal untuk membangun kesadaran bahwa kita tidak boleh dan jangan pernah memperkenankan diri secuilpun upaya-upaya penjajahan dengan cara baru.
Kita sebagai bangsa juga harus sadar, bahwa penjajahan itu bukan berarti hanya dalam bentuk okupasi wilayah, penjajahan fisik. Kita harus sadar bahwa bangsa kita hari ini belum berdaulat penuh dan masih dalam kondisi terjajah oleh bangsa dan negara global utara dalam bentuk yang lain.
Kita harus sadar bahwa bangsa global utara itu juga masih kuat mengikat dan menjajah kita sampai hari ini. Mereka datang dalam bentuk penjajahan non fisik. Mereka datang dalam cengkeraman sistem ekonomi.
Mereka sejatinya masih menjajah kita, melalui bangsa sendiri. Yaitu dengan memanfaatkan struktur feodalisme lama, yaitu datang melobi elit-elit politik kita. Para raja raja baru yang berwujud politisi busuk dan konglomerat bermental menumpang.
Hari ini kita belum bisa dikatakan sebagai bangsa berdaulat penuh. Sebab faktanya justru penjajahan itu semakin kuat terasa. Bangsa bangsa global utara itu masih menjajah kita melalui instrumen utang, investasi, dan konsumsi.
Mereka masuk pertama-tama melalui pintu Utang. Utang yang dikomitmenkan untuk membangun infrastruktur bagi kepentingan memperlancar investasi mereka di sektor komoditi ekstraktif seperti tambang dan perkebunan monokultur. Utang dengan bunga mencekik empat kali lipat lebih besar dari bunga pasaran.
Selanjutnya baca di halaman berikutnya: