Oleh: Abdullah Hehamahua, Tokoh Aktivis Islam Indonesia dan Ketua Dewan Syuro DPP Partai Masyumi
Hari ini, 7 November, 78 tahun lalu. Gedung Mualimin Muhammadiyah, Yogyakarta, dipenuhi ratusan orang. Ada kiyai, ustad, guru, tokoh, dan aktivis. Mereka datang dari seluruh Indonesia. Mereka berkumpul untuk melaksanakan Maklumat Pemerintah No X/1945, mengenai pembentukan partai.
Kongres Umat Islam pertama di Yogyakarta tersebut menetapkan, Masyumi sebagai partai politik umat Islam Indonesia. Partai ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Ketua Majelis Syura. Pimpinan eksekutifnya diketuai Dr. Soekiman.
Masyumi dan Fatwa Jihad
Roeslan Abdul Ghani, Sekretaris Menteri Penerangan waktu itu, menyampaikan pesan Mohd. Natsir, anggota KNIP ke KH Hasyim Asy’ari. Abah Natsir menyarankan agar Rois Am NU mengeluarkan fatwa jihad bagi menghadapi Belanda yang memboncengi pasukan Nica guna menguasai kembali Indonesia. KH Hasyim As’ari atas saran tersebut, 17 September mengerluarkan fatwa jihad bagi internal NU.
KH Hasyim As’ari, 21 Oktober 1945 mengumpulkan seluruh ulama NU di Jawa dan Madura di Surabaya. Tanggal 22 Oktober, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan resolusi jihad. Hasilnya, dua jenderal pasukan NICA dibunuh arek-arek Surabaya. Pertumpahan darah terjadi di Surabaya. Apalagi, pidato berapi-api Bung Tomo di RRI Surabaya. Tanggal 10 November 1945, puncak perlawanan arek-arek Surabaya. Peristiwa itulah yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan.
Masyumi dan PDRI
Soekarno dan Hatta ditangkap Belanda dan dibuang ke Bengkulu. Peristiwa ini menyusul pengeboman kota Yogyakarta, 19 Desember 1948. Yogyakarta dikuasai Belanda. Soekarno dan Hatta, ditangkap Belanda. Mereka dibuang ke Bengkulu.
Syafruddin Prawiranegara, salah seorang Pimpinan Masyumi, waktu itu sedang berada di Bukit Tinggi, Sumbar. Pak Syaf begitu tau, Soekarno dan Hatta ditangkap, hari itu juga langsung proklamasikan PDRI. Padahal, telegram yang dikirim Soekarno – Hatta yang menunjuk beliau untuk membentuk pemerintahan darurat, tidak diterima.
“Tujuan Masyumi adalah berlakunya hukum dan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara menuju ridha Ilahi,” katanya.
“Jika presiden dan wakil presiden ditangkap kemudian Belanda menjajah kembali Indonesia, maka tujuan Masyumi tidak bisa tercapai. Itulah sebabnya saya berinsiatif membentuk PDRI,” tambahnya.
“Namun, mengapa pak Syaf mengembalikan mandat sebagai presiden waktu itu,” tanyaku.
“Masyumi itu partai Islam ideologi. Punya akhlak dalam berpolitik. Saya diberi mandat sebagai pimpinan pemerintahan sewaktu Soekarno dan Hatta ditangkap Belanda. Setelah mereka bebas, tugasku selesai.”
Masyumi dan NKRI
“Mengapa abah menolak masuk kabinet Hatta pasca KMB,?” tanyaku dalam pertemuan rutin “Nasi Bungkus” tahun 1981. “Indonesia ini negara berdaulat. Mengapa kita harus masih dipimpinan Ratu Yuliana melalui Uni Indonesia – Belanda,?” jawabnya.
Abah Natsir, pasca KMB di Den Haag Belanda (1949) mendatangi Kepala Pemerintahan negara-negara bagian. Abah meyakinkan mereka agar mau kembali ke negara kesatuan. Abah Natsir juga melobi fraksi-fraksi di parlemen. Mereka semua setuju ide abah Nasir.
Klimaksnya, tanggal 3 April 1950, di dalam rapat pleno parlemen, Mohd. Natsir, Ketua Partai Masyumi menyampaikan “Mosi Integral” agar semuanya menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Parlemen menyetujui usul tersebut.
Soekarno dalam pidato 17 Agustus 1950, memroklamirkan NKRI. Menjawab pertanyaan wartawan senior, Rosihan Anawar, siapakah PM pertama NKRI.? Apakah M. Natsir. “Siapa lagi kalau bukan Natsir,” jawab Soekarno dengan tegas.
Masyumi dan Pemilu 1955
“Mengapa Masyumi mengklaim, Pemilu 1955 sebagai yang paling demokratis, jujur, adil, dan transparan.?” Burhanuddin Harahap, PM yang melaksanakan Pemilu pertama kali itu dengan santai menjelaskan:
Pertama, semua warga negara dewasa bisa memilih dan dipilih. Jadi, PNS, polisi dan tentara, ikut memilih dan dipilih sebagai caleg. Kedua, 50% penduduk waktu itu, buta huruf. Bahkan, dua dari tiga anggota TPS, buta huruf. Namun, seluruh penduduk dewasa berduyun-duyun datang ke TPS. Perhatikan, jumlah pemilih selama orde baru. Masih menang Pemilu 1955. Sebab, waktu itu, 91,54% penduduk menggunakan hak pilihnya dengan suara sah, 87,65%. (Pemilu 2019, partisipasi rakyat dalam Pemilu yang paling banyak selama orde baru dan orde reformasi, hanya 81%).
Lalu mengapa Pak Bur mengembalikan mandat sebagai PM.? Padahal, Pemilu sukses dan Masyumi memenangkan 10 dari 12 daerah pemilihan waktu itu,? tanyaku penasaran. “Masyumi kan partai Islam ideologis. Punya akhlak dalam berpolitik. Saya diberi mandat untuk melaksanakan Pemilu. Jadi, selesai Pemilu, tugasku juga berakhir,” jawabnya.
Masyumi, Nasakom, PRRI
Soekarno, gagal menerapkan sistem China dalam pemerintahan. Namun, beliau terapkan NASAKOM (Nasional, Agama, dan Komunisme). Masyumi berang. Masyumi menolak konsep tersebut. Sebab, ia bertentangan dengan sila pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 45.
Pro kontra masyarakat terhadap konsep Nasakom terjadi di mana-mana. Pada waktu yang sama, penganak-tirian pembangunan di luar pula Jawa, menganga. Kesejahteraan tentara, khususnya di Sumatera, diabaikan. Muncul pergolakan daerah. Indonesia Timur, khususnya Sulawesi Utara melakukan gerakan perlawanan dengan nama PERMESTA. Di Sumatera, lahir PRRI.
Pimpinan Masyumi mendapat informasi, CIA akan mengintervensi PRRI. Padahal, reaksi Masyumi terhadap konsep Nasakom adalah persoalan internal NKRI. Olehnya, intervensi CIA terhadap PRRI harus dicegah. Pimpinan Masyumi (M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap) berangkat ke Sumbar untuk mencegah intervensi CIA ke PRRI. Ide Masyumi berhasil. CIA gagal intervensi PRRI sekalipun mereka berhasil intervensi Permesta. “itulah sebabnya, Pak Natsir dan pak Syaf ditetapkan sebagai pahlawan nasional,” kata pak AM Fatwa.
Masyumi Dirindui
“Pak Abdullah, bapak saya juga Masyumi,” kata Taufieq Kiemas, salah seorang Pimpinan MPR. Saya waktu itu, Wakil Ketua KPKPN yang melakukan verifikasi terhadap kekayaan Presiden Megawati yang dinilai bermasalah.
Pernyataan seperti yang disampaikan Taufieq Kiemas tersebut sering kudengar dari banyak pejabat negara, anggota legislative, akademisi, dan pengusaha. Anehnya, kerinduan tersebut berjalan hampir bersamaan dengan ketidak-inginan penguasa agar Masyumi hidup kembali. Hal tersebut berlaku juga di kalangan aktivis Islam, parpol, dan ormas Islam.
Itulah sebabnya, Soeharto tidak mengijinkan Masyumi dihidupkan kembali. Reformasi 1999, Masyumi dihidupkan kembali. Namun, tidak diinginkan hidup terus. Olehnya, Pemilu 2004 sampai 2019 Masyumi lelap tidur. Tahun 2020, Masyumi hidup kembali melalui SK Kementerian Hukum dan HAM.
Namun, KPU, Bawaslu, dan PTUN, Masyumi tidak dibiarkan ikut Pemilu 2024. Apakah MA akan terbitkan putusan yang sama seperti KPU, Bawaslu, dan PTUN.? Itulah Masyumi, partai yang dirindui tapi tidak boleh aktif kembali. Ya, benci tapi rindu. (Depok, 7 November 2023).