JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Sudding menanggapi langkah Kejaksaan Agung yang menjalin nota kesepahaman (MoU) dengan empat operator telekomunikasi untuk mendukung proses penegakan hukum, termasuk soal penyadapan. Sudding pun mengingatkan agar upaya penegakan hukum jangan sampai melanggar privasi masyarakat.
Menurut Sudding, MoU ini merupakan langkah strategis dan relevan, khususnya dalam pelacakan buronan, pengumpulan bukti digital, serta akses data pendukung dalam proses hukum.
Namun demikian, Sudding menekankan penggunaan teknologi khususnya penyadapan dan akses informasi pribadi harus tetap berada dalam koridor konstitusi dan penghormatan terhadap hak asasi warga negara.
“Dalam negara hukum yang demokratis, prinsip check and balance adalah fondasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi saat negara diberikan kewenangan untuk mengakses ranah privat warga,” kata Sarifuddin Sudding, Kamis (26/6/2025).
“Upaya penegakan hukum jangan sampai melanggar privasi masyarakat. Penegak hukum tidak boleh serta merta melakukan penyadapan tanpa tujuan hukum yang jelas, dan tentunya harus memenuhi kriteria dan mekanisme yang ada,” lanjutnya.
Seperti diketahui, Kejagung meneken kerja sama atau nota kesepakatan dengan empat operator telekomunikasi terkait dengan dukungan penegakan hukum. Kerja sama itu dilakukan dengan empat operator seluler yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk, dan PT Xlsmart Telecom Sejahtera Tbk.
Kejagung menyebut kerja sama ini berfokus pada pertukaran dan pemanfaatan data atau informasi dalam rangka penegakan hukum, termasuk pemasangan dan pengoperasian perangkat penyadapan informasi serta penyediaan rekaman informasi telekomunikasi.
Kerja sama dengan operator telekomunikasi ini disebut sejalan dengan UU No.11/2021 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Meski begitu, Sudding mengatakan nota kesepahaman yang mencakup pemasangan perangkat penyadapan dan penyediaan rekaman informasi telekomunikasi harus diawasi ketat. Sehingga tidak menimbulkan pelanggaran privasi, penyalahgunaan wewenang, atau pengawasan yang berlebihan (surveillance overreach).
“Kami menyadari urgensi penegakan hukum, khususnya dalam kasus-kasus besar dan pelacakan Daftar Pencarian Orang (DPO), yang memang memerlukan pendekatan teknologi tinggi,” tutur Sudding.
“Perlu ditegaskan bahwa penyadapan dan akses terhadap informasi komunikasi pribadi memiliki sensitivitas tinggi yang diatur secara ketat dalam undang-undang,” tambah Legislator dari Dapil Sulawesi Tengah itu.
Sudding menjelaskan, penyadapan dan akses informasi komunikasi pribadi adalah tindakan sensitif yang telah diatur secara ketat dalam Undang-Undang ITE dan UU Telekomunikasi. Kedua UU tersebut mewajibkan adanya proses hukum yang jelas dan terukur.
Oleh karena itu, Komisi III DPR RI menegaskan bahwa kerja sama seperti ini harus tetap dilandasi kerangka regulasi dan pengawasan yang transparan.
“Penyadapan dan akses terhadap komunikasi pribadi merupakan tindakan yang sangat sensitif, sehingga harus dijalankan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” tegas Sudding.
Menurut anggota komisi bidang hukum dan keamanan DPR itu, kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum harus dijaga dengan memastikan perlindungan privasi. Hal ini, kata Sudding, juga sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak setiap warga negara Indonesia yang merupakan amanah dari konstitusi.
“Kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum maupun sektor telekomunikasi sangat bergantung pada sejauh mana hak-hak warga dihormati dalam setiap proses,” ucapnya.
Lebih lanjut, Sudding berharap langkah Kejaksaan Agung bekerja sama dengan operator seluler menjadi titik awal integrasi teknologi dalam sistem peradilan yang modern tanpa mengorbankan prinsip keadilan, hak individu, dan akuntabilitas publik.
“Demokrasi digital harus dibangun dengan kebijakan yang bukan hanya cepat dan efisien, tetapi juga beradab dan menjunjung tinggi etika hukum,” tutup Sudding.