KOLOM DAKWAH RINGAN TIPIS (KDRT) (Seri – 1)
Padahal sebagian kalangan memfokuskan dan menganjurkan untuk mengenal Allah. Rupanya ada suatu fakta, tidak selalu mereka yang mengenal dengan sendirinya beriman. Kalau sudah tidak beriman, bagaimana dia dapat mematuhi?
Contohnya Abu Jahal dan Abu Lahab. Kalau dipikirkan, bukankah dia mengenal betul Muhammad Al Amin sejak kanak-kanak, remaja hingga mengajak tokoh-tokoh kafir Mekkah itu ke jalan Allah sewaktu sudah matang kedewasaannya? Toh mereka dengan kepengenalannya kepada Nabi Muhammad Saw tidak serta merta membawa mereka beriman kepadanya.
Sementara, Abu Dzar dan Salman Al Farisi yang nun kampung halamannya jauh dari kampung Nabi di Mekkah malah datang ke Mekkah untuk diterima keimanannya oleh Nabi Muhammad Saw. Atau mungkin pembaca sendiri yang beriman kepada Rasulullah, yang rentang waktu dan tempatnya demikian jauh, malah beriman kepada Nabi Muhammad Saw.
Jadi terbuktilah bahwa keimanan atau kepercayaan terhadap sesatu tidak berbanding lurus dengan tingkat pengenalan atas suatu objek.
Misalnya lagi. Seorang istri Nabi Nuh As yang mengenal luar dalamnya Nabi Nuh As, tidak berarti rupanya membawanya beriman kepada suaminya, yaitu Nabi Nuh As. Atau tidak usah jauh-jauh, mungkin istri Anda yang mengenal Anda sejak bay’at ijab kabul agar dia mematuhi Anda sebagai kewajibannya, tidak serta merta akan percaya dan patuh terhadap Anda sebagai suaminya.
Mengapa hal semacam itu terjadi? Contoh ini tentu tidak berlaku bagi pembaca yang istrinya patuh, tunduk dan mengerti kewajibannya terhadap suaminya mengikuti syariat Allah. Lagi-lagi keimanan itu soal hidayah dari Allah.
Anda juga mungkin beriman bahwa Washigton itu merupakan ibukota negara Amerika Serikat hanya melalui informasi yang Anda dapatkan sementara misalnya Anda tidak pernah terbang berkunjung ke sana, namun Anda memutuskan percaya terhadap hal informasi itu. Begitulah kepercayaan dan keimanan itu timbul oleh keputusan Anda sendiri.
Lantas bagaimana kepercayaan yang berada dalam domain hati itu timbul terjadi? Yaitu sederhana saja, manakala informasi itu Anda proses melalui validasi oleh akal dan divalidasi kembali oleh hati sehingga Anda menemukan kondisi yang koheren dan konsisten, maka timbullah dengan otomatis rasa percaya terhadap objek tersebut. Itulah iman.
Dalam Islam, keimanan selalu dituntut melalui cara-cara yang dewasa dan matang, yaitu melibatkan koherensi dan konsistensi mekanisme akal pikiran yang sehat dan juga perabaan kebenaran oleh hati atau kalbu. Kalbu dapat meraba mana yang benar dan mana yang salah, menurut kadar kepekaannya masing-masing.
Bks, 7/11/23
~ SED (Syahrul Effendi Dasopang)