Kita Sedang Terjebak pada Tahapan Revolusi Kapitalis

Salah satu masalah ialah kita tidak tahu dan mengenal bahwa kita sedang berada di tahap sejarah seperti apa dan ancar-ancarnya mau ke tahap sejarah seperti apa?

Sebenarnya banyak teori sejarah yang dapat kita manfaatkan untuk mengidentifikasi setiap tahapan sejarah. Misalnya teori sejarah Hegel, Marx, konvensional hingga teori sejarah yang disajikan oleh tradisi ilmiah Islam seperti Ibnu Khaldun.

Bacaan Lainnya

Tapi bukan soal penguraian masing-masing teori sejarah itu yang kita perlukan di sini. Sekarang kita akan menganalisa dengan logis saja berdasarkan tanda-tanda dan pola-polanya mengenai sejarah Indonesia sekarang ini: dimana kita sekarang dan hendak kemana serta apakah kita siap membuat rute baru sejarah untuk kepentingan kita, bukan untuk melayani kepentingan orang-orang atau golongan/kaum/kelas/kasta yang berkuasa.

Marilah kita mulai periksa dari permulaan awal Indonesia setelah kemerdekaan dan mendirikan suatu entitas negara baru.

Ketika sebelum kemerdekaan, kaum yang berkuasa ialah kaum bangsawan/ningrat yang didasarkan atas pertalian darah dan keturunan. Bahkan sampai pada masa penjajahan Belanda dengan sifat dan pola kolaboratif, kaum bangsawan inilah yang memiliki hak privilege, kemakmuran dan kesempatan untuk berkuasa terhadap penduduk, tanah, dan wilayah.

Ketika hendak mengakhiri tahapan monarki feodal dan kolonial tersebut, bergulirlah Revolusi Nasionalis. Revolusi Nasionalis menamatkan era kerajaan dan kolonial itu dan membuat sistem kenegaraan baru yaitu Republik.Sejak 1945, Indonesia memasuki tahap Revolusi Nasionalis.

1. Revolusi Nasionalis (1945-1966)

Ciri dari Revolusi Nasionalis ialah berkuasanya kaum nasionalis di puncak-puncak pengaturan negara. Kemudian privilege kekuasaan berdasarkan hubungan darah dan keturunan berakhir, digantikan oleh ikatan kesamaan paham nasionalisme, pencapaian pendidikan sekolah umum, dan integritas intelektual. Maka kaum nasionalis dan khususnya yang berpendidikan umum, mengambil peran yang dimainkan oleh kaum kolonialis dan ningrat sebelumnya dalam kekuasaan administratif dan politik.

2. Revolusi Militeris (1966-1998)

Setelah itu, terjadi ketidakpuasan dan perubahan akibat-akibat objektif sejarah maupun tekanan dari luar, seperti politik luar negeri Amerika yang bersaing dangan blok komunis seperti Uni Soviet dan China.

Revolusi Nasionalis diganti oleh Revolusi Militeris. Cirinya ialah penguasa puncak ialah kaum militer dan jaringan kekuasaan administratif diisi oleh kaum militer hingga ke daerah-daerah. Sekarang, ukuran kemuliaan dan derajat sosial ditentukan oleh hubungan keanggotaan dengan organisasi militer atau yang terafiliasi dengan militer.

Untuk dalam periode waktu yang lama, dari 1966-1998 hingga Fraksi ABRI dihapuskan dan Jenderal Besar Soeharto sebagai tokoh militer turun dari kekuasaan, kaum militer menikmati privilege yang luas sehingga mereka menjadi unsur sosial dan politik yang memiliki derajat yang tinggi di mata masyarakat. Setiap keluarga hampir memiliki obsesi memiliki anggota keluarga dari militer.

3. Revolusi Kapitalis (1998-Sekarang)

Setelah berkuasanya kaum militer, terjadi revolusi berikutnya, yaitu Revolusi Kapitalis. Kali ini yang berkuasa ialah kaum yang memiliki modal dan jaringan kekuasaan modal. Ciri utamanya ialah orang-orang kaya mendapat privilege dalam mengatur politik sekalipun tidak dicantumkan dalam undang-undang. Kemudian, jika pada periode revolusi militer, kemuliaan dan ketinggian derajat sosial ditentukan oleh keanggotaan dalam militer, sekarang ialah kemuliaan dan derajat ditentukan oleh kepemilikan terhadap modal. Orang-orang kaya berubah menjadi penguasa-penguasa politik, langsung maupun tidak langsung.

Orang-orang sekolahan dan terdidik mengemis pekerjaan pada orang-orang kaya dan bermodal, sekalipun orang-orang kaya tersebut tidak mencapai pendidikan tinggi. Bahkan negara serasa dalam kangkangan dan kungkungan para konglomerat atau orang-orang super kaya. Mereka menjadi majikan bagi penduduk 270 juta lebih di Indonesia.

Tahapan sejarah ini, jika ditilik tampak berjalan linear, konsisten dan seolah terancang dengan cermat.

Sistem pemilu langsung one man one vote yang digelar hanya mengekalkan berkuasanya kaum kaya dan bermodal tersebut. Hampir tidak mungkin seseorang dapat lolos menjadi dewan atau eksekutif, tanpa campur tangan kaum pemilik modal. Akibatnya kaum politisi menjadi tidak otonom, dan memiliki ikatan imbal jasa dengan pemodal. Kecuali politisi itu sendiri adalah pemodal itu.

Sistem pemilu yang dianut dan diterapkan hari ini di Indonesia hanya semacam relaksasi dan refreshing bagi kekuasaan kaum pemilik modal itu. Dan nyaris tidak mungkin mengubah sistem politik dan ekonomi yang sudah menguntungkan bagi para pemilik modal ini dengan sistem yang menguntungkan rakyat kecil. Karena yang berwenang mengubahnya hanyalah bidak-bidak golongan mereka, kecuali melalui jalan revolusi lagi. Dan itu rasanya lebih masuk akal.

Masalahnya sekarang, kita terjebak dengan tahapan sejarah ketiga ini, yakni Revolusi Kapitalis yang telah berlangsung 26 tahun atau satu generasi. Keturunan kita nantinya akan menggantikan kita menjadi budak-budak dan pelayan-pelayan sistem ekonomi dan politik yang menguntungkan mereka. Tapi hal itu tidak ada pilihan, karena setiap orang butuh uang untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Dan yang menguasai dan mengatur uang adalah golongan para pemilik modal.

Akibat Revolusi Kapitalis ini, kini semua sisi kehidupan ditentukan dan diatur oleh uang. Bahkan legitimasi keagamaan diperdagangkan demi uang. Apalagi untuk suatu jabatan. Ormas-ormas keagamaan jadi macan ompong dan gajah duduk.

Karena merasuknya sistem uang ini, segala hal menjadi ditransaksikan. Inilah yang memicu merajalelanya korupsi dan meluas kemana-mana. Setelah KPK didirikan korupsi tetap berkembang dan makin sadis, seperti yang tercermin pada korupsi ASABRI, Jiwasraya dan BUMN Timah. Itu baru yang terungkap. Sebab hal ini bagaikan gunung es. Kelihatan kecil, sebenarnya sangat besar.

Kita tahu, korupsi dilakukan untuk mendapatkan uang dengan mudah dan melanggar hukum. Tapi situasi memang membuat orang terdorong untuk korupsi. Sebab setiap sisi peraturan dibuat secara sengaja rumit, kompleks, bertele-tele, tetapi pada saat yang sama dapat saja diterabas dengan singkat dan mudah jika disogok, disuap dan disandera.

Sekeras apa pun penghukuman terhadap kejahatan korupsi, jika tahapan Revolusi Kapitalis yang memberikan kesempatan berkuasanya para pemilik modal dan konglomerat untuk mengatur APBN, jalannya negara, dan jatah ekonomi di segala lini, maka rakyat akan tetap menjadi setengah budak dan negara hanyalah alat semata untuk melayani mereka.

Revolusi Kapitalis ini telah membuat jurang yang curam antara warga yang kaya dan yang miskin. Orang-orang miskin menjadi sangat tersisih dan terkunci dalam proses kehidupan. Orang-orang berpendidikan terjebak menjadi pengemis pekerjaan dan kontrak bisnis dengan para pemilik modal yang memonopoli kue ekonomi.

Itulah sedikit gambarah tahapan sejarah hari ini yang tidak bisa dibantah. Apakah tersedia jalan keluar dari tahapan sejarah ini? Tentu saja.

Kita sebagai manusia, dapat menentukan langkah sendiri untuk menguji takdir kita. Kita memerlukan revolusi yang mengakhiri kekuasaan para jaringan kaum kaya raya, setelah mereka mengambilnya dari kaum militer, dan kaum militer mengambilnya dari kaum intelektual nasionalis.

Tapi revolusi macam apa? Tentu saja revolusi yang mengakhiri kekuasaan para pemilik modal dan konglomerat terhadap negara, wilayah dan penduduk.

Banyak contoh revolusi yang dapat dipakai. Revolusi yang dimotori kaum ulama, intelektual dan aktivis rakyat, juga bagus. Yang penting jangan rela kita dan negara ini dikangkangi dan dikungkung oleh kaum kaya raya yang bersekongkol dengan para pejabat sebagai operator negara untuk meraup ekonomi dan kekuasaan politik secara monopolis dan oligarkis.

Kaum gembel dan marhaen online yang berinisiatif mempelopori, juga sangat bagus. Apalagi yang mempelopori adalah imam-imam masjid dan mushola, ustadz-ustadz bebas, guru-guru bebas, pedagang-pedagang kecil bebas, petani-petani mandiri, buruh-buruh pemberani, mahasiswa-mahasiswa sadar, dan seterusnya.

Oleh: Ibnu Asakirul Jihad, Penulis Tinggal di Jakarta

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *