Kalau dilakukan kajian Etnocentrisme, apakah etnik tuan rumah Betawi di Jakarta siap menerima keragaman etnik Nusantara sebagai ibu kota negara? Apakah budaya Betawi dengan bahasa Melayu sebagai akarnya mampu, tangguh dan teruji sebagai tuan rumah ibu kota negara?
Kajian sejarah berbasis etnocentrisme (kajian berfokus pada keetnikan/ imajinasi kolektif keetnikan), maka terbukti memberikan jawaban yang meyakinkan. Jawabannya, ya. Betawi dengan Budaya dan bahasanya terbukti mampu, tangguh, dan teruji sebagai tuan rumah ibu kota negara.
Etnik Betawi, dari sisi sejarah telah terbukti sebagai etnik terbuka menerima keragaman, sejak zaman Taruma Negara, Sriwijaya, Majapahit, dan zaman Hindia Belanda. Bahasa etnik Betawi bahasa akarnya adalah bahasa Melayu yang telah menjadi lingua franca di Nusantara bahkan di Nusantara Raya/ sebagian besar Asia Tenggara, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Bahasa Melayu sebagai lingua franca, secara sejarah berhasil menjadi jembatan penghubung komunikasi sepanjang sejarah Jalur Barus (menembus Mesir dan Timur Tengah lainnya, berpusat di Barus, Sumatera Utara) dan Jalur Rempah (menembus Eropa dan Amerika, yang pusatnya di Timur Indonesia).
Budaya Betawi yang berciri terbuka/ toleran serta bahasa Melayu sebagai lingua franca yang melekat pada dirinya, telah dibuktikan oleh sejarah sebagai salah satu pemersatu yang ampuh dan teruji. Keampuhan dan keterujian sebagai salah satu mediator pemersatu, terbukti ketika Jakarta yang saat itu mayoritas penduduknya dari etnik Betawi, dijadikan sebagai tempat proklamasi kemerdekaan Indonesia, sekaligus sebagai ibukota negara.
Sumpah Pemuda yang menjadi cikal bakal bersatunya pemuda Indonesia dan bukti nyata telah tumbuhnya benih nasionalisme serta semangat kebangsaan di kalangan pemuda Nusantara, juga diikrarkan di Jakarta, dengan etnik Betawi sebagai tuan rumahnya.
Sumpah Pemuda yang salah satunya berbunyi “menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia” telah menggugah kesadaran perlunya persatuan sebagai modal dasar kemerdekaan. Bahasa Indonesia dalam sumpah pemuda dimaksud adalah bahasa Melayu sebagai lingua franca. Bahasa Melayu sebagai lingua franca saat itu yang berkembang di Batavia/ Jakarta adalah bahasa Melayu Betawi.
Pencetus bahasa Indonesia pada Sumpah Pemuda dipelopori oleh dua tokoh besar kebangsaan, yaitu M. Yamin yang dilahirkan dari etnik Minang, tetapi sejak mulai kuliah, sekitar tahun 1925 telah bermukim di Batavia hingga wafatnya. Begitu pula dengan Tabrani. Beliau berasal dari etnik Madura yang sejak 1925 bermukim di Batavia hingga wafatnya. M. Tabrani bekerja sebagai wartawan di Majalah berbahasa Melayu, “Hindia Baroe”. M. Yamin dan M. Tabrani, keduanya merupakan tokoh yang amat berpengaruh menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dalam ikrar Sumpah Pemuda.
Semoga kajian etnocentrisme telah dan akan dilakukan di IKN. Agar penetapan IKN sebagai Ibu Kota Negara tidak hanya berdasarkan pendekatan struktural (top down) yang bersandar pada kebijakan kekuasaan semata, melainkan pula dengan pendekatan kultural (bottom up). Dengan kata lain, telah dipertimbangkan dengan matang kesiapan etnik dan budaya setempat untuk menjadi tuan rumah yang terbuka terhadap berbagai keragaman dan toleran terhadap berbagai perbedaan yang ada di Indonesia.
Jakarta, 9 Februari 2023,
Erfi Firmansyah/ Pengamat Bahasa dan Budaya UNJ