Oleh : IHSAN atau biasa disapa Baba Chan
Di tengah harapan besar masyarakat terhadap kepemimpinan yang adil, terbuka, dan berkomitmen, muncul fakta pahit tentang seorang kepala daerah yang justru memiliki tabiat fatal. “Individualisme” yang mengakar dan kebiasaan melanggar komitmen sendiri. Sikap seperti ini bukan hanya mengecewakan, tetapi juga berbahaya bagi masa depan daerah.
Bagaimana mungkin pembangunan bisa berjalan ketika keputusan hanya lahir dari kepala sendiri, tanpa musyawarah, tanpa mendengar rakyat, bahkan tanpa mempertimbangkan aspirasi dari para pemangku kepentingan?
Individualisme seorang pemimpin adalah tanda bahwa ia lupa siapa yang memberinya amanah. Ia tampak lebih sibuk memikirkan kenyamanan pribadi daripada kewajiban moralnya untuk mengayomi dan melayani.
Lebih parah lagi, komitmen yang dilanggar seolah sudah menjadi kebiasaan. Janji²nya ringan diucapkan, namun berat untuk diwujudkan. Kesepakatan sering dikhianati, program yang disetujui ditinggalkan, dan kerja sama yang seharusnya dibangun justru runtuh karena ketidakkonsistenannya sendiri.
Jika sebuah kata pemimpin tidak lagi bisa dipercaya, maka runtuh pula fondasi kepercayaan masyarakat.
Sikap seperti ini bukan hanya merusak hubungan kerja, tetapi juga menghambat kemajuan daerah. Individualisme menutup peluang kolaborasi, sementara pengkhianatan komitmen mematikan semangat para penggerak perubahan. Seorang pemimpin dengan tabiat semacam ini pada akhirnya akan berhadapan dengan realitas. Bahwa rakyat yang dikhianati tidak akan diam selamanya.
Kepala daerah harusnya menjadi teladan, bukan sumber masalah. Ia seharusnya jadi pengikat komitmen, bukan pelanggar janji. Dan jika tabiat buruk ini terus dipertahankan, maka sejarah sendiri yang akan mencatat bahwa kegagalan daerah bukan karena kurangnya potensi, tetapi karena buruknya karakter pemimpinnya.





