Kenapa Wakil Rakyat Harus Lebih Cerdas Dari Kita

Oleh : Lilis Sulastri | Guru Besar Ilmu Manajemen FEBI UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Pendahuluan

Suatu bangsa tidak hanya dibangun oleh balutan retorika. Bangsa dibangun oleh kecerdasan, kebijaksanaan, dan kemampuan memahami kompleksitas dunia. Saat ini , kita menyaksikan paradoks yang mengganggu, adalah wakil rakyat yang seharusnya menjadi penjaga nalar negara sebaliknya sering tampil tanpa kedalaman pengetahuan, tanpa kecakapan berpikir, dan tanpa kehalusan etika politik. Dalam beberapa waktu terakhir, publik kembali dikejutkan oleh arogansi verbal seorang wakil rakyat yang meremehkan, bahkan menghina publik hanya karena perbedaan pendapat. Ungkapan yang kurang pantas, nada yang mengintimidasi, serta pernyataan yang tidak mencerminkan kedewasaan intelektual dan semuanya viral. Fenomena ini lebih dari sekadar “kontroversi”. Suatu tanda bahwa kekuasaan kita sedang dipegang oleh sebagian orang yang tidak mampu memahami rakyat karena tidak mampu memahami diri sendiri. Kekuasaan tanpa ilmu melahirkan arogansi. Arogansi tanpa kecerdasan melahirkan kekacauan. Dan kekacauan tanpa etika melahirkan hilangnya masa depan. Karena itu pertanyaan krusial kita sebagai bangsa: “Kenapa wakil rakyat harus jauh lebih cerdas dari rakyat yang diwakilinya?” Jawaban panjang artikel ini adalah: Demi keselamatan bangsa, demi kualitas kebijakan, demi kehormatan demokrasi, dan demi masa depan yang tidak tersandera ketidaktahuan yang bersuara keras.

Demokrasi dan Kecerdasan

Demokrasi memberi semua orang hak memilih. Tetapi demokrasi juga membutuhkan filter kualitas agar yang terpilih adalah orang yang mampu memimpin pikiran publik, bukan sekadar memimpin perolehan suara. Banyak ilmuwan politik mengingatkan bahaya demokrasi tanpa kompetensi. Filsup Plato menyebut bahwa negara tidak boleh dipimpin oleh mereka yang hanya populer, melainkan oleh mereka yang menguasai “kebenaran akal”. Demikian pula pandangan John Stuart Mill menyatakan bahwa demokrasi hanya kuat jika diisi oleh pemilih dan pemimpin yang berpendidikan. Dan seorang Habermas menekankan bahwa kualitas demokrasi ditentukan oleh kualitas deliberasi, bukan hanya partisipasi. Jika suara rakyat tidak disaring oleh kapasitas pemimpin yang mumpuni, yang terjadi adalah apa yang disebut Neil Postman sebagai “entertainment democracy”, di mana politik berubah menjadi tontonan, bukan pencipta solusi. Dan di sinilah masalah kita: banyak wakil rakyat kita menang karena tontonan, bukan karena pemikiran.

Dalam teori parlemen modern seperti yang dijelaskan oleh Gerhard Loewenberg dalam “Legislatures”, parlemen adalah pusat nalar nasional, kajian kebijakan, perspektif masa depan, dan menjadi keseimbangan moral negara. Namun dalam praktiknya, kita justru menyaksikan wakil rakyat yang tidak memahami materi rapat, tidak membaca dokumen, atau bahkan salah memaknai istilah teknis. Bahkan lebih parah sebagian wakil rakyat kita bukan hanya tidak paham, tetapi tidak menyadari bahwa dirinya tidak paham. Fenomena ini disebut psikologi sebagai “Dunning-Kruger Effect” , adalah orang yang tidak kompeten namun merasa paling percaya diri dan paling benar. Dan ini tampak jelas pada arogansi verbal wakil rakyat yang menyebut publik “arogan”, padahal yang arogan adalah ketidaktahuan yang dibungkus kekuasaan. Kekuasaan tanpa literasi akan menganggap kritik sebagai ancaman, bukan sebagai cermin. Kekuasaan tanpa kesadaran akan menganggap publik bodoh, padahal yang tidak membaca isu adalah dirinya sendiri. Banyak anggota parlemen ditempatkan dalam komisi yang tidak sesuai latar ilmu dan kompetensinya. Ini bertentangan dengan teori Legislative Specialization dari Krehbiel, yang menegaskan bahwa kualitas kebijakan berbanding lurus dengan kedalaman pengetahuan, spesialisasi bidang, dan kapasitas teknis legislator. Namun, realitas di Indonesia, seorang ahli hukum ditempatkan di komisi industri, artis ditempatkan di komisi pertahanan, pebisnis ritel tiba-tiba membahas energi nuklir, dan seseorang yang tak pernah membaca APBN menjadi anggota badan anggaran. Ketidaktepatan ini melahirkan keputusan dangkal, bahkan berbahaya. Dalam “Politics as a Vocation”, Max Weber memperingatkan bahwa politik adalah profesi paling berbahaya bila dijalankan oleh orang yang tidak memiliki ethic of responsibility, ethic of conviction, serta kapasitas rasionalitas. Jika wakil rakyat tidak memahami apa yang mereka putuskan, maka rakyatlah yang menanggung risikonya.

Fenomena Arogansi : Ketika Ketidaktahuan Menjadi Suara Paling Keras

Beberapa waktu terakhir, publik kembali menyoroti pernyataan seorang wakil rakyat yang menanggapi kritik masyarakat dengan nada tinggi dan bernuansa merendahkan. Fenomena seperti ini sebenarnya bukan sekadar masalah bahasa atau sopan santun , hal ini mencerminkan ketidakmatangan literasi kebijakan, keterbatasan kapasitas intelektual, dan cara pandang kekuasaan yang belum dewasa. Seorang wakil rakyat yang menuduh rakyat “arogan” karena berbeda pendapat adalah tragedi kecil dalam demokrasi kita namun dampaknya besar dan simboliknya dalam. Ada tiga masalah besar dalam fenomena ini: 1) . Arogansi yang lahir dari ketidakmampuan memahami substansi. Rakyat bertanya dengan data namun wakil tidak paham datanya. Rakyat memakai logika, namun wakil tidak memahami logikanya. Rakyat menyampaikan kritik, namun wakil merasa diserang. Maka kekuasaan yang tidak siap secara intelektual akan selalu defensif. Dan kemiskinan pengetahuan selalu membutuhkan suara keras untuk menutupinya. 2) Kekuasaan yang merasa tidak perlu mendengar, hal Ini bertentangan dengan teori Deliberative Democracy yang menyatakan bahwa pemimpin yang tidak mendengar , adalah mereka sedang memutus kabel paling penting yang menghubungkannya dengan legitimasi publik. dan wakil rakyat seharusnya menjadi telinga bangsa, bukan megafon ego. 3). Hilangnya etika representasi publik, seorang Martin Loughlin dalam ‘The Idea of Public Law’ menjelaskan bahwa kekuasaan publik adalah amanah moral, bukan lisensi untuk menghakimi rakyat. Maka setiap kata wakil rakyat adalah cermin kualitas batin dan akalnya. Jika kata-kata tersebut mematahkan martabat rakyat, maka ia bukan wakil, melainkan hanya penguasa kecil. Di era ketika negara membutuhkan pemimpin yang mampu membaca tantangan global, memahami kompleksitas kebijakan, dan mendengar suara publik dengan jernih, sikap arogan semacam itu menjadi sinyal betapa pentingnya pembaruan serius terhadap kualitas SDM politik kita.

Parlemen Harus Diisi oleh Orang-Orang Terbaik

Maka mari kita masuk pada landasan teoritis yang lebih dalam,
1). Max Weber , menyatakan bahwa Politik sebagai Profesi Tinggi harus memiliki passion (kesadaran dan semangat moral ), responsibility ( kesadaran konsekuensi) , serta proportion (kemampuan berpikir jernih) karena tanpa kecerdasan, tiga pilar tersebut runtuh.
2). Habermas menjelaskan bahwa Parlemen sebagai Ruang Diskursus Rasional harus menjadi tempat untuk mengasah nalar, menjalankan komunikasi berbasis argumen, melakukan pertukaran ide, dan mempraktikkan kebijakan berbasis bukti. Jika wakil rakyat hanya marah, membentak, atau memotong kritik tanpa logika, maka parlemen berubah dari ruang diskursus menjadi ruang ego yang merasa kalah ilmu. Demokrasi hanya dapat berkembang ketika ruang publik dipenuhi percakapan rasional dan pertukaran gagasan. Tetapi percakapan rasional menuntut satu syarat utama yakni pemimpin yang memahami isu. Tanpa kesadaran yang tinggi , seorang wakil akan menganggap kritik sebagai serangan, bukan sebagai input. Ia merasa perlu menguatkan diri dengan nada tinggi, bukan dengan argumentasi. Arogan bukan karena ia berniat merendahkan rakyat, tetapi karena ia tidak memiliki kedalaman untuk merespons dengan cara yang lebih elegan. Fenomena inilah yang harus kita akui dengan jujur, ketika kapasitas intelektual rendah bertemu kekuasaan tinggi, lahirlah arogansi. Dan bangsa tidak boleh dikelola berdasarkan arogansi. Bangsa harus dikelola berdasarkan pengetahuan.
3). Loewenberg, menjelaskan bahwa Parlemen sebagai Inti Intelektual Negara dan harus berfungsi sebagai pusat analisis, pusat masa depan, dan pusat pengetahuan publik. Jika orang-orang di dalamnya tidak memiliki kapasitas, maka semua institusi negara akan kehilangan kualitas. 4). Acemoglu & Robinson menyatakan bahwa Negara Maju Dibangun oleh Institusi Politik yang Kompeten. Dalam buku nya Why Nations Fail, negara maju memiliki institusi politik inklusif, pemimpin berkapasitas, dan aturan yang melahirkan kompetensi. Karena nya negara gagal jika diurus oleh orang yang tidak memahami cara mengurus negara. Seorang wakil rakyat sejatinya bukan hanya representasi dari pilihan suara. Mereka adalah penjaga arah, penafsir dampak kebijakan, dan pengambil keputusan strategis yang menentukan wajah kehidupan publik, dari pendidikan hingga pangan, dari keuangan negara hingga masa depan digital. Maka masuk akal jika publik berharap wakil rakyat kita memiliki kapasitas intelektual yang lebih tinggi daripada rata-rata kita. Bukan untuk mengunggulkan diri, melainkan karena mereka mengurus persoalan yang jauh lebih luas dan kompleks dibanding yang sehari-hari kita tangani. Mereka membaca regulasi, menilai risiko nasional, membahas anggaran triliunan rupiah, dan menganalisis isu global yang memengaruhi masa depan negara. Tanpa kompetensi yang memadai, mereka akan menyederhanakan masalah besar menjadi opini personal atau emosi sesaat dan itulah yang sering kita lihat.

Belajar dari Negara dengan Parlemen Berkualitas

Banyak negara menunjukkan contoh bahwa parlemen yang kuat tidak lahir dari keberuntungan politik, melainkan dari pembinaan kapasitas dan standar kompetensi. Untuk memperkuat argumentasi, mari kita bandingkan dengan negara lain : 1) . Inggris memiliki Parlemen yang disiplin dan terlatih, dimana setiap anggota harus mengikuti pelatihan: legislative drafting, ethics, public finance, dan national security. Dan Tidak ada toleransi untuk ketidaktahuan. 2). Jerman memiliki spesialisasi Komisi yang Ketat diisi oleh mereka yang memiliki latar belakang professional, memahami bidangnya, dan disiplin membaca dokumen. Komisi parlemen diisi oleh anggota yang memang menguasai bidangnya, baik akademisi, insinyur, ekonom, maupun praktisi. Spesialisasi adalah kunci stabilitas kebijakan. 3). Finlandia membuat Parlemen Masa Depan dengan ciri : Committee for the Future, legislator berpendidikan tinggi dan budaya membaca yang kuat, merupakan komisi parlemen khusus yang memikirkan risiko jangka panjang dan arah bangsa hingga puluhan tahun ke depan. 4). Korea Selatan , membuat aturan bahwa Kandidat legislatif wajib menyampaikan naskah kebijakan (policy proposal) sebelum pemilu. Rekrutmen partai berbasis merit ( Merit Systems) bukan sekadar elektabilitas.

Agenda Besar Indonesia: Membangun Wakil Rakyat Berdaya

Jika Indonesia ingin melangkah lebih cepat, maka kita perlu menerapkan setidaknya tiga agenda strategis yang berjangka panjang dan berdampak luas denga melakukan :1).Reformasi Rekrutmen Politik (Meritocratic Recruitment), dengan melakukan asesmen, uji kompetensi, uji integritas, cek literasi kebijakan, serta menilai kedewasaan berpikir. Asesmen integritas, uji pemahaman kebijakan, literasi digital dan literasi fiskal, kemampuan berpikir kritis, track record etika, serta kapasitas dialog publik. 2). Penyusunan Standar Kompetensi Legislatif (Legislative Competency Model) mencakup: literasi hukum, literasi fiskal, literasi teknologi, logika kebijakan, etika publik, kemampuan menganalisis. Setiap wakil rakyat harus melalui: pendidikan legislasi, pendidikan ekonomi publik, literasi sains dan teknologi, kelas etika dan tata kelola, pelatihan komunikasi publik. Bukan sebagai formalitas, tetapi sebagai kewajiban moral. 3). Program pelatihan legislator wajib seperti di beberapa negara Inggris, Kanada, Finlandia. 4). Penguatan Tenaga Ahli Kompeten, agar parlemen tidak hanya berbicara dari opini pribadi. Parlemen harus diperkaya dengan lembaga riset independent seperti : House of Commons Library (Inggris), Parliamentary Budget Office (Kanada), Committee for the Future (Finlandia). Dengan demikian, keputusan parlemen tidak lahir dari opini personal, melainkan dari pengetahuan yang kuat. 5). Disiplin Etika & Sanksi untuk Arogansi Publik atas Ketidaksopanan, penghinaan publik, dll.

Penutup

Kita tidak sedang menuntut wakil rakyat menjadi malaikat. Kita sedang menuntut mereka menjadi manusia yang paling siap memikirkan bangsa. Wakil rakyat harus lebih cerdas dari rakyat, karena rakyat menitipkan masa depan. Wakil rakyat harus lebih beretika dari rakyat, karena teladannya akan membentuk moral bangsa. Wakil rakyat harus lebih visioner dari rakyat, karena ia memikirkan apa yang tidak sempat dipikirkan rakyat. Fenomena arogansi wakil rakyat yang mencaci publik hanyalah satu gejala dari penyakit besar atas ketiadaan kapasitas intelektual dalam jabatan publik. Jika kita ingin Indonesia besar, maka wakil rakyat harus lebih besar bukan dalam gaya hidup, tetapi dalam pikiran. Bangsa tidak akan maju oleh volume suara politisi, tetapi oleh kedalaman pikiran negarawan. Dan tuntutan wakil rakyat harus lebih cerdas dari kita adalah demi bangsa yang lebih cerdas dari hari ini. Mengelola negara sebesar Indonesia bukan pekerjaan biasa. Ini adalah pekerjaan yang membutuhkan pikiran terbaik, moral terjernih, dan hati terbesar. Dan itulah sebabnya, pembenahan kualitas SDM wakil rakyat bukan hanya kebutuhan politik melainkan kebutuhan peradaban.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *