JAKARTA – Program Food Estate yang telah digembar-gemborkan pemerintah dipertanyakan oleh politisi DPR RI dari Fraksi PKS Slamet.
Hal ini menyusul rencana pemerintah yang akan mengimpor 1 juta ton beras pada tahun ini. Slamet meminta pemerintah terbuka soal perkembangan Food Estate.
“Pemerintah harus bertanggung jawab dan transparan atas program Food Estate. Sampaikan kepada publik tingkat keberhasilan dari program (Food Estate) ini,” kata Slamet, dalam keterangan persnya, Ahad, (7/3/2021).
Pasalnya, rencana impor 1 juta ton beras dinilai kontradiktif dengan wacana Menteri Pertahanan yang menyebut Food Estate menggunakan sistem pertanian presisi, sehingga bisa menghasilkan 3 hingga 4 kali lebih banyak (sekira 17 ton per hektar) produk ketimbang dengan penggunaan teknologi biasa.
Seperti dikabarkan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa menjaga ketersediaan beras di dalam negeri merupakan hal penting untuk dilakukan agar harga komoditas tersebut bisa tetap terkendali. Sehingga ia berencana melakukan impor beras sebanyak 1 juta ton di tahun 2021.
“Pemerintah sudah memulai proyek Food Estate seluas 165 ribu hektar di berbagai lokasi. Artinya pemerintah bisa memberi tambahan hasil panen di luar hasil panen petani biasanya, dengan hitungan, 165 ribu hektar dikali 17 ton, maka seharusnya ada 2,8 juta ton tahun ini. Lalu untuk apa lagi impor 1 juta ton?” tanya Slamet.
Anggota Komisi IV DPR RI asal Sukabumi ini menjelaskan, proyek Food Estate telah menyerap anggaran Kementerian Pertanian, termasuk pupuk yang sebelumnya dialokasikan bagi petani.
“Jangan sampai anggaran dan pupuk yang sudah terbatas dialihkan dari petani ke Food Estate, tetapi tidak menambah produksi panen nasional,” tegas Slamet.
Politisi Fraksi PKS yang terbilang vokal dengan kritikan membangun terhadap kebijakan kebijakan pemerintah kaitannya dengan mitra kerja di Komisi IV ini juga mengungkapkan, kebijakan impor yang dibuka lebar melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, memberikan peluang besar bagi lapangan kerja petani luar negeri dan mempersempit peluang pemasaran produk petani dalam negeri.
“Kami mengingatkan agar pemerintah tidak mudah menerapkan impor demi memberi optimisme kepada petani Indonesia,” tutup Slamet ( RH)