Marilah sebentar berimajinasi dalam situasi pasca Hindia Belanda di awal-awal kemerdekaan. Tentu saja waktu itu, kebutuhan utama adalah konsolidasi kekuatan antar masing-masing arus utama seperti yang kita uraikan sebelumnya. Konsolidasi dalam mempertahankan kemerdekaan yang sudah diumumkan ke publik internasional dan domestik dan juga mempersiapkan tenaga-tenaga segar yang dapat menjalankan roda pemerintahan, pelembagaan Indonesia sebagai suatu visi politik, dalam suatu tatanan negara baru, masyarakat baru, dan identitas kebudayaan baru. Kendati pun semua itu, haruslah diracik dari kebudayaan tradisional yang sudah terbentuk sebelumnya, maupun dari sumbangan kebudayaan modern yang dibawa dan dikulturkan oleh Belanda sendiri.
Pada awal 1947, tepatnya 5 Februari tahun itu, HMI didirikan oleh Lafran Pane. Siapa Lafran Pane, bagaimana alam pikiran yang mewarnai kehidupannya, dan dari lingkungan sosial macam apa dia lahir dan tumbuh? Dan bagaimana HMI dalam visinya? Siapa saja kawan-kawannya yang menyumbang peranan dan corak pada HMI di awal proses pertumbuhan organisasi mahasiswa tersebut?
Tentu masih banyak pertanyaan yang patut dihamburkan guna mengetahui secara lebih terang organisasi yang telah bertahan hampir seumur Republik Indonesia ini.
Lafran Pane dan HMI
Pemuda ini berasal dari Tapanuli Selatan, satu kabupaten di Sumatera Utara yang cukup banyak menghasilkan tokoh-tokoh nasional di masa lalu dan sekarang. Dia lahir di Muara Sipongi. Dahulu, kecamatan Muara Sipongi bagian dari Tapanuli Selatan sampai kemudian di era reformasi, Kabupaten ini dipecah. Sekarang Muara Sipongi bagian dari Kabupaten Mandailing Natal. Dia lahir ketika Ayahnya, Sutan Pangurabaan Pane, menjadi kepala sekolah di tempat itu.
Ayahnya merupakan seorang terpelajar. Menguasai bahasa Arab, Belanda, Melayu dan Batak. Dia pernah diminta untuk membantu Belanda urusan komunikasi surat menyurat dengan Sisingamangaraja XII yang sedang berperang dengan pihak kolonial. Hal itu karena kompetensinya dalam bahasa.
Dia juga menulis novel populer saat itu, dengan judul Tolboek Haleon. Novel ini berisi pesan pentingnya semangat pantang menyerah. Novel itu ditulis dengan bahasa Batak Mandailing dan dimuat bersambung dalam media yang dipimpinnya.
Selain itu, dia juga seorang yang aktif dalam kemasyarakatan. Dia pendiri Muhammadiyah di Sipirok. Dia juga aktif di Partai Indonesia (Partindo). Partai ini berideologi nasionalis, karena merupakan kelanjutan dari PNI yang telah bubar setelah Ir. Soekarno ditahan dan dipenjara. Partindo dipimpin oleh Sartono, dan ayah Lafran Pane merupakan pimpinan di daerahnya. Partindo ini bersifat non kooperatif atau oposisi terhadap pemerintahan kolonial Belanda.
Lafran Pane mempunyai saudara, yaitu Sanusi Pane, Armijn Pane, dan tiga lagi perempuan. Sanusi Pane kemudian hari aktif di Gerindo, organisasi pergerakan politik nasionalis yang sedikit kooperatif dengan pemerintah. Sanusi Pane juga dikenal sebagai pelopor dalam Sumpah Pemuda. Dialah yang mengusulkan agar Bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu. Dia berkawan dengan Mohammad Yamin, AK Gani, Amir Sjarifuddin, Sartono, dan lain sebagainya, sebagai sesama aktivis Gerindo. Karya-karya tulis Sanusi Pane banyak mengandung tentang cita-cita, identitas dan proyeksi kebudayaan nasional. Untuk tema ini, dia berpolemik intelektual dengan Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam kursus-kursus perkaderan pemuda di Menteng 31 yang diasuh oleh Soekarno dkk, Sanusi Pane mengampu topik kebudayaan. Dan Lafran Pane, selama lebih kurang 10 tahun di Jakarta, hidup bersama Sanusi Pane dan juga Armijn Pane.
Armijn Pane juga tidak berbeda dengan Sanusi Pane. Dia juga merupakan pekerja seni dan kebudayaan yang menonjol di masa itu. Tidak banyak yang menikmati kesempatan karya-karya tulisnya diterbitkan oleh Balai Pustaka, dan itu adalah Armijn Pane dan Sanusi Pane. Jadi, tidaklah mengherankan jika disimak kertas kerja Ketua HMI ini dalam menyambut Kongres Muslimin Indonesia pada 1949, sintesa pemikiran kebudayaan yang digaungkan oleh kedua saudaranya itu dengan pemikiran reformis Islam, kental dalam kandungan tulisan Lafran Pane yang berjudul Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di indonesia.
Lafran Pane tidak asing dengan Muhammadiyah. Dari kecil hingga remaja dan mahasiswa, banyak terhubung dengan Muhammadiyah sebagai latar pendidikannya.
Pendidikan dasarnya adalah Muhammadiyah. Kemudian di Jakarta, pendidikan SMA-nya dirampungkan di sekolah menengah atas Muhammadiyah yang dipimpin oleh Kasman Singodimedjo.
Salah satu gurunya, adalah Wilopo. Wilopo bekerja sebagai guru di sekolah Muhammadiyah yang dipimpin oleh Kasman. Wilopo sendiri merupakan Sekretaris Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), yang salah satu pendiri organisasi ini, yaitu Sanusi Pane, kakak Lafran Pane. Kelak Wilopo menjadi Perdana Menteri dari PNI. Kasman sendiri menjadi Ketua BP KNIP, organ yang menjalankan fungsi DPR di awal-awal sekali setelah proklamasi. Belakangan, Kasman diangkat sebagai pimpinan Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal TNI. Kemudian Jaksa Agung.
Lafran Pane lahir, pada 1922. Tapi sumber awal menyebutkan dia lahir 1923. Pada 1937 hingga 1946 dia berada di Jakarta bersama abang-abangnya. Kemudian dia pindah ke Yogyakarta serentak dengan pindahnya sekolah tinggi tempatnya kuliah, yaitu Sekolah Tinggi Islam (STI). Kelak STI bersalin nama dengan Universitas Islam Indonesia (UII).
Pada 5 Februari 1947, dengan Anggaran Dasar yang sudah siap, dia mengajak sejumlah rekannya mendirikan organisasi mahasiswa Islam. Dia menyebutkan nama organisasi itu, adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Salah seorang dari rekan-rekan pendiri tersebut, ternyata cucu Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Namanya Maisaroh Hilal. Belakangan aktif di Muhammadiyah Cabang Singapura. Selain mereka, terdapat Yusdi Ghozali, Karnoto Zarkasi, Siti Zaenah, Dahlan Husein, dan lain-lain.
Salah satu aspirasi yang mendesak terhadap hadirnya HMI ialah kebutuhan akan wadah yang melayani kebutuhan peningkatan kesadaran Islam di tengah-tengah mahasiswa. Maklum, saat itu dunia mahasiswa didominasi oleh kesadaran sekular. Tetapi bukan berarti dengan demikian, mahasiswa Islam terasing dari realitas nasional dari negara republik yang sedang dalam terancam. Sebagai mahasiswa Islam Indonesia, sudah otomatis menjadi bagian pelopor dari usaha mempertahankan negara yang baru berdiri dan belum terjamin kelangsungannya itu, dimana mereka bagian dari padanya.
Bila kita lihat secara seksama, pada permulaan HMI didirikan, tujuannya mengandung dua hal:
1. Mempertahankan negara Republik Indonesia dan meninggikan derajat rakyat Indonesia.
2. Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam.
Dari kedua tujuan tegas HMI ini dengan jelas terlihat dimana kedudukan HMI dan mau kemana HMI menuju. HMI sejak awal sudah diset up sebagai wadah perkaderan elit Indonesia yang bersifat organik dengan keadaan dan pertumbuhan negara. Para perancang menginginkan agar kelak generasi baru dapat mengisi kebutuhan akan kecakapan dan keterampilan dari generasi baru bagi negara muda yang skalanya sangat besar, baik dari segi populasi maupun luas wilayah. Hal ini penting disadari.
Dua tokoh utama yang penting dicatat, walaupun tidak secara langsung berhubungan dengan kelembagaan HMI, yaitu Hatta, Wakil Presiden dan Kasman Singodimedjo, mantan kepala SMA Lafran Pane saat di Jakarta.
Tentang Hatta, Deliar Noer mencatat sebagai berikut di majalah Panjimas.
“Pada 1945 Hatta dipercaya masyarakat Islam dan pemerintah memimpin Sekolah Tinggi Islam di Jakarta. Ia dibantu Mohammad Natsir, yang belakangan menjadi pemimpin Partai Masyumi, sebagai amanuensis (kepala tata usaha). Bahwa Natsir bersedia membantu Hatta dalam rangka ini tentulah disertai kepercayaannya tentang keislaman Hatta.
Tentang Sekolah Tinggi Islam itu, Hatta mengatakan kemudian (setelah 1946 didirikan kembali di Yogyakarta) bahwa pendidikan nasional agama Islam, seperti surau dan pesantren, lebih “menanam rasa keagamaan” dengan “jiwa terdidik ke jalan yang suci dan murni.” Ia menambahkan bahwa “orang saleh dari kecilnya tidak mudah tergoda imannya, dan tetap halus perasaan dan kemanusiaannya.”
Tetapi pendidikan seperti ini mengandung kelemahan, karena ia “satu hadap saja, semata-mata agama.” Yang meneruskan pelajaran pun sedikit, apalagi yang menjadi ulama besar “karena pembawaannya yang luar biasa, karena otaknya yang sangat tajam.” Pendidikan tinggi agama Islam diharapkan bisa “memperdalam perasaan” agama, juga “memperdalam pengetahuan dan memperluas pemandangan”.
Hatta melihat bahwa dalam rangka memperdalam dan memperluas pelajaran agama, terutama tauhid, filsafat hendaklah disertakan. Ia juga mengingatkan perlunya sejarah dan sosiologi sebagai tambahan bekal. (Maka mudahlah difahami mengapa perpustakaan pribadi Hatta penuh dengan buku-buku dalam bidang ini). Akhirnya, ia harapka para lulusan STI dapat menjadi “ulama yang berpengetahuan dalam dan berpendidkan luas serta mempunyai semangat yang dinamis. Hanya ulama yang seperti itulah yang bisa menjadi pendidik yang sebenarnya dalam masyarakat.”
Dan sampai sekitar 1960, ia tetap memberikan kuliah di STI, yang kemudian menjadi Universitas Islam Indonesia dan dipimpin K.H. Abdul Kahar Muzakkir. Di masa Demokrasi Terpimpin ia berhenti mengajar karena dilarang pemerintah, bukan saja di UII, tetapi juga di Universitas Gadjah Mada dan sekolah Staf Komando Angkatan Darat di Bandung.”
Apa yang dicatat oleh Deliar Noer di atas, memang pada dasarnya merupakan alasan pikiran didirikannya HMI. HMI menghendaki mahasiswa Islam yang memiliki kesadaran kuat terhadap Islam sekaligus memiliki pengetahuan yang luas terhadap Islam. Tapi pada saat yang sama memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan modern.
Itu dalam hal kapasitas personal yang diinginkan oleh HMI terhadap anggotanya. Dalam hal pandangan politik, sebagaimana yang tertuang dalam tujuan semulanya, HMI memang secara praktis merupakan alat bagi kepentingan nasional Indonesia. Terutama dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan dengan mempertinggi derajat rakyat.
Di sini paralel dengan keberadaan Kasman Singodimedjo sebagai pimpinan cikal bakal TNI. Jenderal Purn Nasution memberikan pengakuan dalam mengenang sosok ini: “Kasman ditunjuk menjadi Kepala Urusan Kehakiman dan Mahkamah Tinggi pada Kementerian Pertahanan RI dengan pangkat Jenderal Mayor. Selanjutnya diangkat menjadi Kepala Kehakiman dan Pengadilan Militer pada Kementerian Pertahanan. Jabatan terakhirnya di pemerintahan adalah sebagai Menteri Muda Kehakiman dalam Kabinet Amir Sjarifuddin II.”
“Perwira-perwiranya (PETA) taat sepenuhnya kepada Kasman Singodimedjo dan Soekarno-Hatta, sedangkan yang muda-muda banyak yang telah menggabungkan diri dengan pemuda-pemuda revolusioner,” tulis Nasution dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan.
Dapat kita bayangkan perihal besarnya peranan yang dimainkan Kasman. Dan dia adalah mantan Ketua Jong Islamitien Bond (JIB), model organisasi yang mirip HMI. Kalau kemudian tokoh-tokoh terkemuka awal HMI banyak yang berkiprah di organisasi TNI, seperti Ahmad Tirtosudiro dan Ahmad Dahlan Ranuwihardjo yang ternyata berdinas sebagai mobilisasi pelajar sebagai alat pertahanan, dengan pangkat awal Letnan Dua, maka dengan menghubungkan dengan uraian sebelumnya, hal itu tidaklah aneh. Sebab aktivis-aktivis HMI ini memang berhubungan dengan Hatta sebagai Wakil Presiden sekaligus juga merangkap Menteri Pertahanan ad interim. Selain itu, Natsir adalah menteri penerangan, kepala administrasi kampus STI dan juga mantan aktivis JIB Bandung. Kasman juga sebagai pimpinan TNI di dinas kehakiman. Dan Kasman adalah guru kepala sekolah, saat Lafran di Jakarta.
Untuk melihat sejauh mana keterlibatan dini para aktivis HMI dalam unsur pertahanan negara, baiklah dicuplik di sini keterangan Ahmad Dahlan Ranuwihardjo pada seminar HMI di Malang pada 1975.
“Ketika Belanda melakukan serangan militer pada Clash Pertama 21 Juli 1947, mahasiswa Yogyakarta secara spontan menyatakan kesediaannya turut berjuang di garis depan. Untuk itu mereka memasuki latihan militer secara kilat selama 7 hari, yang diselenggarakan oleh Markas Besar Tertinggi TNI AD. Latihan itu diadakan di bekas benteng Belanda ‘Verederburgh”, terletak di seberang gedung negara jalan Malioboro Yogyakarta. Kemudian disusun dalam compi mahasiswa atau CM dengan komando Hartono, anggota HMI (sekarang (1975) berpangkat Mayor Jenderal). Anggota-anggota HMI yang turut dalam compi mahasiswa ini, di antaranya Ahmad Tirtosudiro sebagai Wakil Komandan, Amir Alamsyah sebagai Kepala Staf, Ir. Mohammad Sanusi, Usman Abdullah, SH (Kolonel Purn TNI AD), Abdul Firman (Brigjen TNI AD – tahun 1975), dan Usep Ranuwihardja, SH (Bekas Sekjen PDI dan bekas Duta Besar di Hanoi, Vietnam.
Beberapa mahasiswa yang masuk HMI karena terlibat dalam aktivitas CM ini di antaranya, Ahmad Joyosugito (Prof. dr. Dosen Fakultas Kedokteran UGM), Hinuri (Drs. Sospol – Diplomat RI), dan Ahmad Dahlan Ranuwihardjo sendiri yang juga bekas anggota DPR GR/MPRS 1960-1968.
Pada waktu Clash Kedua, 19 Desember 1948, atas usul pimpinan PPMI dan CM, Kepala Angkatan Perang pada Februari 1949 membentuk badan khusus untuk mengerahkan potensi pelajar, mahasiswa guna meneruskan perlawanan terhadap Belanda. Di tingkat pusat badan ini bernama Mobilisasi Pelajar Markas Besar Komando Djawa (Mobpel MBKD). MBKD ini diisi tokoh-tokoh militer seperti AH Nasution dan TB Simatupang. Adapun komandan dari Mobpel MBKD, Soekendro (Mayjen TNI AD), berasal dari anggota HMI yang waktu itu berpangkat kapten. Termasuk di dalam staf pimpinan, yaitu Kapten Ahmad Tirtosudiro.” (Lihat Prof. Dr. Agus Salim Sitompul, Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Jakarta: CV Misaka Galiza, 2008, hlm. 37)
Apa yang ingin dicatat adalah bahwa HMI sejak awal adalah bagian dari grand design dari sumber tenaga segar bagi negara Indonesia yang sedang berjuang survive dan akan mengisi bagian-bagian penting dari lengan negara tersebut kelak.
Mengabaikan dan menyangkal hubungan organik HMI dengan pertumbuhan negara dan masyarakat Indonesia, akan menjadi suatu kesalahan yang membawa penyesalan.
~ Syahrul Efendi Dasopang, Mantan Ketua Umum PB HMI