Janganlah heran, bila kaum oligarki penguasa uang demikian berkuasa, merajalela dan berdaulat penuh saat ini, setelah dua dekade reformasi. Itu semua konsekuensi logis dari perubahan yang dilandasi UUD 2002.
Mereka mengelabui bahwa UUD 1945 dianggap nyawa dan spiritnya masih hidup hanya dengan melekatkan embel-embel 1945. Padahal sudah tidak.
Apabila revolusi 1945 berhasil membuat UUD yang berwatak sosialis, maka “revolusi 1998” yang memanjang hingga 2002, berhasil mengubah watak dan spirit UUD 1945 itu menjadi UUD kalitalis.
Sampai-sampai ditambahkan dalam azas ekonomi di dalam UUD 2002 itu, kata efisiensi, suatu logika dan filsafat modal dalam benak kepentingan para kapitalis. Tak ada pentingnya urusan efisiensi bagi urusan rakyat, kecuali sekadar urusan eksklusif para kapitalis.
Tidak hanya itu. Institusi MPR sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, dilenyapkan begitu saja. Institusi Presiden ditentukan ketergantungannya pada kekuasaan dan kehendak partai atas nama Pilpres. Bicara pilpres dengan dasar one man one vote dengan syarat dan fasilitasi oleh parpol dan gabungan parpol, hakikatnya adalah kekuasaan para kapitalis yang sudah mewujud menjadi oligarki. Hingga akhirnya, secara defakto yang berkuasa adalah oligarki. Dan kuasa dan kedaulatan rakyat hanya isapan jempol.
Sejelek-jeleknya revolusi 1966 yang menjungkalkan Soekarno, tapi revolusi itu tidak sama sekali mengganti dan mengubah UUD 1945. Hanya penekanan dan tendensi ke arah sistem militerisme politik saja yang didominankan.
Maka saat ini, jika muncul isu revolusi, adalah lebih prioritas dan relevan untuk menentukan aspek fundamental mana yang perlu ditangani oleh suatu pemikiran revolusi. Kalau sekedar proposal revolusi perilaku, kaum oligarki yang telah berhasil menjebak sejarah nasional Indonesia sehingga hanya menguntungkan mereka lewat UUD 2002, akan tertawa terpingkal-pingkal.
(Catatan Ringan Keduabelas)
Syahrul Efendi Dasopang, Penulis