Oleh : Ahmad Syarifudin Fajar, S.HI, MM
Anggota Bawaslu Jakarta Timur
Setelah pelaksanaan pemilu tahun 2019, beberapa daerah di Indonesia akan mengahadapi pelaksanaan Pilkada yang akan dilakukan pada tahun 2020 ini.
Namun telah terjadi perdebatan dan kegelisahan di kalangan penyelenggara terkait dengan kelembagaan Pengawas Pemilu yang memiliki perbedaan antara ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu (UU Pemilu) dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Perbedaan yang terjadi terhadap kelembagaan Pengawas Pemilu dapat dilihat dalam beberapa hal, yaitu: (1) terkait dengan nomenklatur kelembagaan pengawas pemilu tingkat Kabupaten/ Kota yang memiliki perubahan berdasarkan UU Pemilu dengan ditetapkannya pengawas pemilu tingkat Kabupaten/ Kota menjadi “Badan tetap” yang sebelumnya hanya bersifat “ad hoc” atau sementara dan (2) terkait komposisi keanggotaan yang berbeda antara UU Pemilu dan UU Pilkada.
Dalam UU Pilkada, Pengawas Pemilu tingkat Kabupaten/ Kota masih bersifat ad hoc atau sementara. Hal tersebut berdampak pada desain pembentukan dan pemberhentian lembaga pengawas pemilu tingkat kabupaten/ kota. Jika lembaga pengawas pemilu bersifat tetap, berarti memiliki tempo yang tidak hanya dibentuk pada pelaksanaan tahapan pemilu saja, namun stabil dengan masa jabatan 5 tahun.
Selain itu, perbedaan terhadap komposisi keanggotaan dalam UU Pilkada yang tidak sesuai dengan ketentuan UU Pemilu. Dalam UU pilkada, lembaga pengawas tingkat Kabupaten/ Kota beranggotakan 3 (tiga) orang. Sedangkan dalam UU Pemilu, keanggotaan lembaga pengawas pemilu tingkat Kabupaten atau Kota berjumlah 3 (tiga) sampai 5 (lima) orang.
Itu artinya, perdebatan yang hadir bukan hanya berkaitan dengan nomenklatur antara Panwaslu dan Bawaslu pada tingkat Kabupaten/ Kota saja, namun juga terkait dengan komposisi keanggotaan yang ikut menyesuaikan.
Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018 yang menyebutkan bahwa :
“….Sekalipun rezim hukum Pemilu dan Pilkada dianggap berbeda, namun penyelenggaraan Pilkada yang diberi tugas oleh UU 10/ 2016 untuk melaksanakan Pilkada adalah penyelenggara Pemilu yang dibentuk sesuai dengan Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945. Oleh karena itu struktur penyelenggara Pemilu dan Pilkada seharusnya tetap sama meskipun melaksanakan mandat dari dua undang-undang yang berbeda”
Artinya bahwa, pada pelaksanaan Pilkada, yang bertugas melakukan penyelenggaraan pemilu adalah penyelenggara yang sama dengan pelaksanaan Pemilu. Meskipun dalam hal ini Pilkada tidak masuk pada rezim pemilu berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan :
“….Walaupun Mahkamah tidak menutup kemungkinan Pemilihan kepala daerah diatur dalam Undang-Undang tersendiri, tetapi pemilihan kepala daerah tidak termasuk dalam rezim pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 E UUD 1945. Pembentuk Undang-Undang berwenang untuk menentukan apakah pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD maka tidak relevan kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Hal itu membuktikan pula bahwa memang pemilihan kepala daerah itu bukanlah pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 E UUD 1945…”
Dengan demikian, meskipun Pilkada tidak termasuk dalam rezim pemilu, namun dalam konteks penyelenggaraan pemilu, pelaksanaan Pilkada dilakukan sebagaimana penyelenggara yang melakukan pelaksanaan dalam pemilu.
Berkaitan dengan dinamika kelembagaan penyelenggaraan pemilu tersebut (khususnya lembaga pengawas pemilu) pada penjelasan diatas, Mahkamah Konstitusi telah memberikan jawaban dengan Putusan Nomor 48/PUU-XVII/2019 yang pada intinya Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh permohonan pemohon untuk mensinkronisasikan kelembagaan pengawas pemilu yang diatur dalam UU Pilkada sesuai dengan desain kelembagaan pengawas pemilu dalam UU Pemilu. Kesesuaian desain kelembagaan tersebut tentu saja berkaitan dengan nomenklatur lembaga pengawas pemilu tingkat Kabupaten/ Kota dan komposisi keanggotaan.
Karena memang lembaga penyelenggara yang melaksanakan pilkada adalah lembaga penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam lembaga penyelenggara dalam pemilu pada perkembangannya.
Dari beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat penyebab yang membuat kelembagaan penyelenggara pemilu tidak stabil dalam perkembangan-perkembangan yang dihadapi. Hal tersebut karena lembaga penyelenggara pemilu merupakan lembaga penyelenggara yang menyelenggarakan Pilkada dan Pemilu melalui undang-undang yang berbeda dan terus berubah dari masa ke masa, serta terdapat ketidakjelasan konsep pengaturan lembaga penyelenggara pemilu dalam UUD 1945.
Dengan demikian, hal yang paling tepat untuk meminimalisir dinamika penyelenggara pemilu di Indonesia seperti yang telah dijelaskan diatas adalah dengan melakukan pengaturan secara konkrit dalam UUD 1945/ konstitusi jika diadakan amandemen lagi dengan mengkaji ulang konsep “rezim pemilihan”..
Gagalnya Amandemen UUD 1945 Mengkonsep Rezim “Pemilihan”
Setelah rezim orde baru berakhir pada tahun 1998, Indonesia kemudian melakukan perubahan-perubahan terhadap konstitusi dengan melakukan Amandemen UUD 1945 yang dilakukan sebanyak 4 kali. Ditengah-tengah semangat reformasi dan demokratisasi di indonesia, amandemen UUD 1945 kemudian melahirkan suatu rezim “pemilihan” dengan dilahirkannya Pasal 22 E tentang Pemilihan Umum. Pemaknaan terhadap rezim “pemilihan” ini adalah berkaitan dengan UUD 1945 dan semangat era reformasi yang berusaha untuk mendorong terjadinya pemilihan langsung oleh rakyat terhadap para pemimpin dan wakil-wakil rakyatnya di pemerintahan maupun parlemen dalam rangka mengimplementasikan gagasan kedaulatan rakyat.
Akan tetapi, amandemen UUD 1945 tersebut gagal untuk mengkonsep rezim “pemilihan” dengan dipisahkannya Pasal yang mengatur pemilihan kepala daerah diluar Pasal tentang Pemilihan Umum. Padahal, pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diatur satu paket dalam Pasal 22 E UUD 1945 bersama pengaturan tentang pemilihan Presiden dan wakil presiden, pemilihan DPR dan pemilihan DPD yang pemilihannya dilakukan secara langsung dan bersamaan seperti yang dituangkan dalam Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali” .
Sedangkan pengaturan tentang pemilihan kepala daerah yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis“. Selain tidak dimasukannya konsep pemilihan kepala daerah dalam Pasal 22 E tentang Pemilihan Umum di UUD 1945, terdapat perbedaan frasa yang disajikan terkait mekanisme pemilihan.
Dalam pasal 22 E UUD 1945 sangat jelas disebutkan bahwa “pemilihan umum dilaksanakan secara langsung”, sedangkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dalam penyebutan mekanisme pemilihannya tidak konkrit, yaitu dengan frasa “dipilih secara demokratis”. Dalam hal ini, frasa demokratis yang tertuang dalam Pasal pemilihan kepala daerah tersebut dapat saja diartikan dengan pemilihan kepala daerah tidak langsung (pemilihan melalui perwakilan rakyat daerah bukan pemilihan oleh rakyat langsung) jika pembuat undang-undang menghendaki demikian. Hal tersebut diperparah dengan tidak diaturnya penyelenggara pemilihan kepala daerah dalam Pasal 18 UUD 1945.
Dengan demikian terdapat beberapa kegagalan amandemen dalam mengkonsep rezim “pemilihan “ dalam UUD 1945. Pertama, tidak dimasukannya pemilihan kepala daerah menjadi bagian dari pemilihan umum bersama dengan pemilihan Presiden dan atau wakil presiden, pemilihan DPR, pemilihan DPD dan pemilihan DPRD.
Padahal dalam perkembagan yang terjadi, hal tersebut dikehendaki dengan diinginkannya Pilkada serentak dan Pemilu serentak. Kedua, frasa “dipilih secara demokratis” memberikan ruang bagi pembuat kebijakan untuk mendesain pemilihan kepala daerah secara tidak langsung jika pembuat undang-undang mengkehendaki dan ketiga, pemisahan pemilihan kepala daerah tersebut tidak di iringi dengan pengaturan lembaga penyelenggara pemilihan kepala daerah.
Artinya UUD 1945 tidak konsisten dan cenderung menggantungkan pemilihan kepala daerah kepada pembuat undang-undang. Hal tersebut tentu berdampak pada ketidakstabilan lembaga penyelenggara pemilihan di Indonesia.
Ketidakjelasan Pengaturan Penyelenggara Pemilihan dalam UUD 1945
Secara konstitusionalitas, payung hukum pengaturan penyelenggara pemilihan merujuk pada Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa ”pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Sekilas jika memaknai pada frasa dalam Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 tersebut, yang menjadi penyelenggara pemilu hanya KPU saja.
Padahal bangsa Indonesia juga telah mengenal lembaga pengawas pemilu yang dilahirkan pada tahun 1982 atau sebelum amandemen UUD 1945 sebagai akibat dari ketidakpercayaan publik terhadap pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia saat orde baru. Dengan tekanan dan gugatan rakyat dan peserta pemilu yang dirugikan pada saat itu, pemerintah yang didominasi oleh Golkar dan ABRI membentuk lembaga pengawas pemilu yang diberi nama Panwaslak (Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu).
Namun, sayangnya Panwaslak saat itu hanya dianggap sebagai alat untuk melegitimasi hasil pemilu pada saat orde baru yang seolah-olah telah dilaksanakan secara demokratis.
Pada implementasinya, memang yang dianggap penyelenggara pemilu dalam ketentuan pasal 22 E ayat (5) tersebut hanya KPU saja, sebelum sampai Mahkamah Konstitusi kemudian menetapkan bahwa lembaga penyelenggara pemilu bukan hanya KPU saja, melainkan Bawaslu dan DKPP melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/ PUU-VIII/2010 yang menyebutkan sebagai berikut:
“ Bawaslu sebagaimana yang diatur dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang bertugas melakukan pengawasan pengawasan pelaksanaan pemilihan umum, sehingga fungsi penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh unsur penyelenggara, dalam hal ini KPU dan unsur pengawas pemilu, dalam hal ini Bawaslu. Bahkan Dewan Kehormatan yang mengawasi prilaku penyelenggara pemilu”.
Sehingga dalam perkembangan yang ada, Mahkamah Konstitusi telah mengintrodusir frasa “komisi pemilihan umum” dalam Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 menjadi 3 (tiga) lembaga penyelenggara yang diantaranya adalah KPU, Bawaslu dan DKPP. Sebenarnya dengan frasa “umum” pada Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 tersebut sangat jelas sebagai merujuk pada pelaksana Pemilu, bukan Pilkada. Akan tetapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 yang telah dijelaskan diatas, penyelenggara pemilu dalam Pasal 22 E ayat (5) juga diamanahi untuk menjadi lembaga penyelenggara pada pelaksanaan Pilkada.
Hal tersebut sangat tidak konsisten dan tidak jelas pengaturannya tentang penyelenggara pemilihan dalam UUD 1945. Seharusnya, jika UUD 1945 maupun putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 menganggap bahwa Pilkada bukan bagian dari rezim Pemilu, tentu akan berimplikasi pada pembentukan dan pengaturan penyelenggara pemilihan yang berbeda antara Pilkada dan Pemilu.
Namun nyatanya pelaksanaan Pilkada mengikuti lembaga penyelenggara pemilihan pada pelaksanaan Pemilu. Hal tersebut juga akan membuka ruang terhadap tumpang tindih pengaturan penyelenggara pemilihan seperti yang terjadi saat ini jika pengaturan penyelenggara pemilihan tidak stabil dan tidak konsisten secara konstitusional.
Salah satu lembaga yang mirip dengan penyelenggara pemilihan yang diatur secara jelas dan konsisten dalam UUD 1945 adalah lembaga Komisi Yudicial misalnya. Dalam Pasal 24 B UUD 1945 disebutkan bahwa “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim” .
Perbandingan yang dapat dilakukan antara pengaturan lembaga penyelenggara pemilihan dan Komisi yudicial, yaitu pertama, antara lembaga penyelenggara pemilihan dan Komisi Yudicial sama-sama dianugrahi sebagai lembaga negara yang “mandiri” atau lembaga negara yang berada diluar cabang kekuasaan apapun, baik kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif oleh UUD 1945.
Namun bedanya, dalam implementasi dan perkembangannya frasa “Komisi Yudicial” tersebut tidak diintrodusir menjadi lembaga lainnya, namun frasa “komisi pemilihan umum” kemudian diintrodusir menjadi tiga lembaga, yaitu KPU, Bawaslu dan DKPP.
Kedua, UUD 1945 sangat jelas menyebutkan kewenangan, kapasitas keanggotaan dan pengangkatan anggota Komisi Yudicial yang disebutkan dalam Pasal 24B ayat (2) dan ayat (3) yang pada intinya Komisi Yudicial diisi oleh orang-orang profesional yang memahami bidangnya (hukum) dan diangkat serta diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Dalam perkembangannya, penyelenggara pemilihan pada ketentuan undang-undang Pemilu juga telah diatur bahwa KPU, Bawaslu dan DKPP dijabat oleh anggota yang profesional (ahli dalam bidangnya/ tokoh masyarakat) serta dalam penganggakatannya juga melibatkan unsur Presiden dan DPR. Bedanya adalah, jika Komisi Yudisial diatur secara konkrit oleh UUD 1945 berkaitan dengan keanggotaan dan pengangkatannya, namun jika penyelenggara pemilihan tidak diatur dalam UUD 1945 dan hanya digantungkan kepada pembuat undang-undang saja. Sehingga dengan tidak diaturnya berkaitan dengan keanggotaan dan pengangkatan terhadap penyelenggara pemilihan dalam UUD 1945, membuka peluang bagi pembuat undang-undang untuk mengotak atik penyelenggara pemilihan dengan melibatkan berbagai unsur, misalnya seperti unsur Mahkamah Agung terhadap lembaga pengawas pemilu yang terjadi pada pelaksanaan pemilu tahun 1999.
Sejatinya, tidak harus berbagai ketentuan berkaitan dengan lembaga penyelenggara pemilihan diatur dalam UUD 1945.
Hanya saja, UUD 1945 harus memiliki konsep yang jelas terhadap lembaga penyelenggara pemilihan dalam rangka menguatkan dan menstabilkan kelembagaan penyelenggara pemilihan agar tidak terjadi konflik peraturan. Dalam hal ini pengaturan lembaga Komisi Yudisial dalam UUD 1945 bisa menjadi rujukan bagi pengaturan lembaga penyelenggara pemilihan jika suatu saat dilakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Sehingga dalam pelaksanaannya, lembaga penyelenggara pemilihan memiliki stabilitas kelembagaan dan kejelasaan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Kesimpulan
Dari uraian yang telah dijelaskan diatas, terdapat beberapa hal yang bisa ditekankan demi perbaikan dan kemajuan penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Pertama, UUD 1945 harus memiliki konsep yang utuh dalam mengimplementasikan nilai-nilai kedaulatan rakyat dalam melakukan demokratisasi di Indonesia. Kedua, UUD 1945 harus memiliki konsep yang jelas terhadap lembaga penyelenggara pemilihan agar tidak terjadi kebingungan dan ketidakjelasan penyelenggara pemilihan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya ditengah-tengah pengaturan tentang Pemilihan Umum yang terus berubah-ubah.