Esensi Kurban dalam Konteks Sosial: Membangun Solidaritas dan Keberanian Melawan Korupsi

Oleh : Munawir K, Dosen UIN Alauddin Makassar

Dalam Islam, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah waktu yang sangat istimewa. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai Allah SWT dari sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” (HR. Bukhari). Pada hari-hari ini, berbagai amal utama seperti shalat, puasa, qurban, dan haji berkumpul, memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan amal-amal terbaik.

Makna Qurban: Pendekatan Filosofis dan Analitis

Kata qurban berasal dari bahasa Arab “قرب” (qaraba) yang berarti mendekat. Dalam konteks ibadah, qurban adalah simbol pengorbanan dan ketundukan total kepada Allah SWT. Pengorbanan ini bukan sekadar penyembelihan hewan, melainkan usaha untuk menyingkirkan segala penghalang yang menjauhkan kita dari Allah SWT, seperti ego, nafsu, cinta kekuasaan, dan harta berlebihan.

Dalam QS. Al-Hajj: 37, Allah SWT berfirman: “لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ,” yang artinya, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” Ayat ini menegaskan bahwa yang penting bukanlah fisik dari qurban, melainkan ketakwaan yang mendasarinya.

Pesan Utama Qurban

Perayaan Idul Adha membawa pesan bahwa manusia harus selalu dekat dengan Allah SWT dan tidak tersesat dalam kehidupan duniawi. Kenikmatan sesaat sering kali memperdaya manusia, sehingga Allah SWT memberikan bimbingan melalui shalat dan zikir sebagai kompas hidup agar tidak salah arah. Dalam QS. Al-Baqarah: 153, Allah berfirman: “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ,” yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Keutamaan Niat dalam Ibadah

Niat adalah elemen penting dalam setiap amal. Rasulullah SAW bersabda: “إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى” (HR. Bukhari dan Muslim), yang artinya, “Sesungguhnya sah atau tidaknya suatu amal tergantung pada niatnya. Dan yang dianggap bagi setiap orang adalah apa yang ia niatkan.” Ini menunjukkan bahwa setiap amal ibadah, termasuk qurban, harus dilakukan dengan niat yang tulus untuk mengharap ridha Allah SWT.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya’ Ulumuddin” menegaskan pentingnya niat dan keikhlasan dalam setiap amal. Menurutnya, “العبادة بدون إخلاص ونية صالحة هي عبادة فارغة من المعنى ولن تصل إلى الله,” yang artinya, “Ibadah tanpa keikhlasan dan niat yang benar adalah ibadah yang kosong dari makna dan tidak akan sampai kepada Allah.”

Pelaksanaan Ibadah Qurban: Dimensi Praktis dan Spiritualitas

Ibadah qurban dilaksanakan pada tanggal 10 Zulhijah dan hari-hari tasyrik (11-13 Zulhijah). Ini adalah bentuk ekspresi keimanan dan ketakwaan atas perintah Allah SWT. Qurban bukan hanya penyembelihan hewan, tetapi juga merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat Allah SWT. Dalam Islam, syukur nikmat diungkapkan dengan istilah “تَحَدُّثٌ بِالنِّعْمَةِ” (tahadduts bin ni’mah), sebagaimana disebutkan dalam QS. Ad-Duha: 11, “وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ,” yang artinya, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).”

Dimensi Sosial Qurban: Pendekatan Holistik

Qurban juga menumbuhkan simpati dan empati terhadap sesama manusia. Ibadah qurban memiliki dua dimensi utama: hubungan dengan Allah SWT (dimensi vertikal) dan hubungan dengan sesama manusia (dimensi horizontal). Dalam QS. Al-Ma’un: 1-3, Allah SWT mengingatkan pentingnya menjaga hubungan sosial: “أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ ۝ فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ ۝ وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ,” yang artinya, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”

Sejarah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS mengajarkan tentang ketaatan dan pengorbanan. Nabi Ibrahim AS diuji oleh Allah untuk mengorbankan anaknya yang sangat dicintainya, sebagaimana firman Allah dalam QS. As-Saffat: 102, “يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ,” yang artinya, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.”

Relevansi Qurban dalam Konteks Kontemporer dan Kemoderenan

Dalam kehidupan modern, ‘Ismail’ kita bisa berwujud jabatan, kedudukan, harta benda, harga diri, maupun profesi, termasuk korupsi, kolusi, nepotisme, dan keserakahan. Semua yang membuat manusia hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan menjauhkan dari hidayah Allah SWT harus dikorbankan. Ini mengingatkan kita pada sabda Nabi Muhammad SAW: “لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ” (HR. Bukhari), yang artinya, “Tidak beriman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.”

Korupsi sebagai Penghalang Ketakwaan

Korupsi adalah salah satu bentuk penghalang ketakwaan yang sangat merusak. Korupsi bukan hanya tentang penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, tetapi juga mengkhianati amanah yang diberikan oleh Allah SWT dan masyarakat. Korupsi merusak kepercayaan publik dan menghancurkan fondasi moral masyarakat. Dalam QS. Al-Baqarah: 188, Allah berfirman: “وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ,” yang artinya, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Semangat Qurban dalam Pemberantasan Korupsi

Semangat Idul Qurban sangat relevan dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika umat Islam yang merayakan Idul Qurban benar-benar menghayati maknanya, mereka akan terhindar dari perbuatan korup dan lebih bersemangat untuk melawan korupsi. Upaya ini sejalan dengan ajaran Islam yang mengutamakan kejujuran, amanah, dan keadilan. Dalam QS. An-Nisa: 58, Allah SWT berfirman: “إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا,” yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Makna Qurban dalam Konteks Kehidupan Modern

Dalam kehidupan modern, pengorbanan yang dituntut dari kita mungkin tidak selalu dalam bentuk fisik seperti penyembelihan hewan, tetapi lebih pada pengorbanan ego, ambisi pribadi, dan kepentingan materi demi kepentingan yang lebih besar. Tantangan ini mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk profesionalisme, integritas, dan komitmen terhadap keadilan sosial. Semangat qurban menuntut kita untuk menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi, menciptakan lingkungan yang bersih dari praktik korupsi dan nepotisme.

Pentingnya Menjaga Amanah dalam Kepemimpinan

Kepemimpinan dalam Islam adalah amanah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Nabi Muhammad SAW bersabda: “كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ” (HR. Bukhari dan Muslim), yang artinya, “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” Dalam konteks ini, pemimpin yang korup bukan hanya mengkhianati amanah yang diberikan kepadanya, tetapi juga merusak kepercayaan dan menghancurkan sistem yang seharusnya melindungi dan melayani masyarakat.

Qurban Sebagai Instrumen Pembinaan Moral dan Spiritual

Qurban juga memiliki dimensi pembinaan moral dan spiritual yang mendalam. Melalui ibadah qurban, umat Islam diajarkan untuk menumbuhkan rasa empati dan kepedulian terhadap sesama. Pembagian daging qurban kepada fakir miskin adalah salah satu bentuk nyata dari solidaritas sosial. Dalam QS. Al-Hajj: 28, Allah SWT berfirman: “لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ,” yang artinya, “Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.”

Qurban sebagai Simbol Keberanian dan Keikhlasan

Kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS adalah contoh teladan tentang keberanian dan keikhlasan. Nabi Ibrahim AS bersedia mengorbankan anaknya karena ketaatannya kepada perintah Allah SWT. Ini menunjukkan bahwa pengorbanan dalam qurban bukan hanya tentang material, tetapi juga tentang kesediaan untuk melepaskan hal-hal yang paling kita cintai demi Allah SWT. Dalam QS. As-Saffat: 103-107, Allah SWT berfirman: “فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ ۝ وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ ۝ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ ۝ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ ۝ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ,” yang artinya, “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya (untuk melaksanakan perintah Allah). Dan Kami panggil dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

Qurban dan Pendidikan Moral Anak-anak

Pendidikan moral anak-anak juga dapat diintegrasikan dengan makna qurban. Mengajarkan anak-anak tentang pentingnya berqurban, berbagi dengan sesama, dan mengutamakan nilai-nilai kebaikan sejak dini akan membentuk generasi yang lebih bertanggung jawab dan berintegritas. QS. Luqman: 13 mengingatkan kita akan pentingnya pendidikan moral: “وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ,” yang artinya, “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’.”

Penutup

Ibadah qurban adalah refleksi dari pengorbanan, ketakwaan, dan kepedulian sosial. Di tengah tantangan modern, nilai-nilai yang terkandung dalam qurban menjadi semakin relevan. Qurban mengajarkan kita tentang pentingnya menyingkirkan segala bentuk penghalang yang menjauhkan kita dari Allah SWT, termasuk nafsu serakah dan korupsi. Dengan menghayati makna qurban, kita diharapkan dapat membangun masyarakat yang lebih adil, amanah, dan penuh dengan integritas. Semoga semangat Idul Qurban terus menginspirasi kita untuk selalu berbuat baik dan menjauhi segala bentuk keburukan, demi kemaslahatan bersama.

SEMOGA BERMANFAAT

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *