EGOSENTRIS: Ketika Diri Menjadi Tuhan Kecil di Dunia yang Luas

Oleh: Munawir Kamaluddin, Dosen UIN Alauddin Makassar

Di ruang hening dalam dada setiap manusia, ada sebuah suara yang kadang terdengar samar, kadang bergema keras, menggerakkan setiap langkah dan keputusan. Suara itu datang dari dalam, berasal dari kedalaman hati yang terkadang tak dapat diungkapkan dengan kata. Suara itu adalah suara dari *EGO*, yang kerap kali menggoda, menarik perhatian, dan meyakinkan kita bahwa dunia ini adalah panggung di mana kita adalah pemeran utamanya.

Bacaan Lainnya

Begitulah sifat egosentris, yang perlahan berkembang, tanpa kita sadari, membungkus diri kita dalam lapisan-lapisan kebanggaan dan rasa ingin diperhatikan, hingga akhirnya kita terperangkap dalam ruang sempit yang hanya melihat segala sesuatu dari sudut pandang diri sendiri.

Egosentris, dalam diamnya, mampu merasuki setiap sudut kehidupan kita, membisikkan kita untuk selalu mengutamakan diri, menghargai diri lebih dari apa pun, tanpa peduli terhadap orang lain, terhadap dunia yang luas di luar sana.

Namun, di balik gemerlapnya citra diri yang dipertahankan dengan segala daya, tersembunyi ketidakbahagiaan yang tak terlihat, seolah dunia ini hanya berputar mengelilingi pusat yang penuh dengan kekosongan. Kita pun semakin menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan, terasing dari kasih sayang dan empati yang seharusnya menghubungkan kita dengan sesama.

Dengan segala ketergantungan pada pujian dan pengakuan, kita tak lagi mampu melihat dunia ini dengan jernih, tak bisa merasakan betapa indahnya berbagi dan saling mendukung.

Namun, apakah benar bahwa ego adalah musuh terbesar kita? Bukankah kita diberi akal untuk menilai diri dan meraih kebahagiaan?

Betul, dalam batas tertentu, ego adalah bagian dari diri kita yang membentuk identitas. Tetapi, ketika ego menjadi raja yang mengatur hidup kita, ia akan membawa kita ke jalan yang gelap dan sempit.

Tanpa kita sadari, sifat egosentris yang kita pelihara perlahan merusak hubungan kita dengan sesama. Dengan segala kebanggaan yang dibangun atas dasar kedudukan dan status, kita seringkali mengabaikan perasaan orang lain, meremehkan kebaikan, dan bahkan terjebak dalam kesendirian yang penuh dengan kesia-siaan.

Islam, dengan segala hikmah yang terkandung di dalamnya, datang sebagai cahaya yang membimbing kita untuk menanggalkan belenggu ego tersebut. Allah SWT mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati terletak pada ketulusan hati, pada kerendahan diri yang membawa kita lebih dekat dengan-Nya.

Rasulullah SAW mengajarkan kita dengan teladan yang penuh kasih, bahwa kebesaran bukan terletak pada status atau pengakuan dari orang lain, melainkan pada kesediaan untuk merendahkan diri dan memberi tanpa mengharapkan imbalan.

Dalam setiap ajaran-Nya, Allah mengarahkan kita untuk menghindari kesombongan dan keangkuhan, yang hanya akan menenggelamkan kita dalam kehampaan yang tak berkesudahan.

Sebagaimana air yang menyejukkan, Islam menawarkan solusi-solusi yang menuntun kita untuk membebaskan diri dari belenggu ego yang menyesatkan.

Solusi yang tidak hanya datang dalam bentuk teori, tetapi dalam praktek nyata yang bisa kita terapkan dalam keseharian. Kesadaran diri, introspeksi, dan latihan empati adalah jalan yang bisa kita pilih untuk kembali menemukan kedamaian.

Dalam setiap amal kebajikan, dalam setiap sedekah yang ikhlas, kita akan menemukan kebahagiaan yang tak bisa dibeli dengan duniawi. Dan dalam setiap langkah menuju-Nya, kita akan menemukan ketenangan yang tidak bisa dikuasai oleh dunia.

Dalam tulisan ini, kita akan mengungkap lebih dalam tentang hakikat egosentris, menggali akar penyebabnya, dan menemukan bahaya yang ditimbulkan oleh sifat ini.

Namun, kita juga akan bersama-sama menemukan jalan keluar, menemukan solusi-solusi Islami yang tidak hanya menyentuh akal, tetapi juga menyentuh hati.

Kita akan meresapi setiap kalimat dan setiap ayat, yang akan menggugah kesadaran kita tentang pentingnya merendahkan hati dan mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi.

Semoga dengan setiap untaian kata yang terucap, kita mampu membuka tabir kesombongan yang menutupi hati kita, dan menggantinya dengan cahaya kebaikan yang akan menerangi jalan hidup kita menuju kebahagiaan yang hakiki.

Seperti malam yang diliputi bintang-bintang, marilah kita melangkah bersama dalam pencarian ini, dalam pencarian untuk mengikis ego, untuk kembali kepada fitrah kita yang sebenarnya.

Semoga perjalanan ini mengarahkan kita menuju pencerahan, menuju kesadaran yang akan menyatukan kita dalam cinta kasih, dalam kerendahan hati yang membawa kedamaian bagi diri kita sendiri dan untuk dunia di sekitar kita.

Pengertian Egosentris

Egosentris berasal dari kata “ego” (diri) dan “centric” (pusat), yaitu keadaan di mana seseorang menempatkan dirinya sebagai pusat segalanya, baik dalam berpikir, berbicara, maupun bertindak.

Secara filosofis, egosentrisitas menggambarkan kondisi ketika seseorang memandang segala sesuatu hanya dari sudut pandangnya sendiri tanpa memperhatikan perspektif, kebutuhan, atau kepentingan orang lain. Sikap ini tidak hanya mencerminkan kurangnya empati, tetapi juga menunjukkan pengabaian terhadap hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan.

Hakikat Egosentris dalam Perspektif Islam

Dalam Islam, egosentris bertentangan dengan prinsip ukhuwah (persaudaraan) dan konsep tawadhu (rendah hati) yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Hadis. Islam menekankan pentingnya memahami kebutuhan dan perasaan orang lain, sebagaimana sabda Nabi Muhammad:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menekankan bahwa seorang Muslim sejati tidak boleh egois atau hanya mementingkan dirinya sendiri, melainkan harus peduli terhadap kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain.

Dalam pendangan agama, sikap ini juga bertentangan dengan ajaran akhlak mulia yang menekankan kepedulian terhadap sesama dan menahan diri dari sikap sombong.
Allah SWT berfirman:
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.”
(QS. Al-Isra: 37)

Ayat ini mengajarkan pentingnya kerendahan hati dan menyadarkan manusia tentang keterbatasan dirinya.

Ciri-ciri Kepribadian Egosentris dalam Perspektif Islam

Kepribadian egosentris adalah karakteristik yang sering menjadi hambatan dalam membangun hubungan sosial dan spiritual yang sehat. Islam sebagai agama yang sempurna memberikan panduan dalam menghindari sifat-sifat buruk ini melalui Al-Qur’an, hadits Nabi Muhammad SAW, dan nasihat para sahabat serta ulama.

1. Citra Diri yang Terdistorsi

Kepercayaan Diri yang Salah
Orang egosentris sering memproyeksikan kepercayaan diri palsu untuk menutupi rasa ketidakamanan dalam dirinya. Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan dalam memahami hakikat diri.
Allah SWT berfirman:
وَلَا تَمْشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّكَ لَن تَخۡرِقَ ٱلۡأَرۡضَ وَلَن تَبۡلُغَ ٱلۡجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan sombong. Sungguh, engkau sekali-kali tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.”
(QS. Al-Isra: 37)

Ayat ini mengajarkan manusia untuk tidak memproyeksikan kehebatan yang tidak seimbang dengan kenyataan. Kesombongan atau kepercayaan diri yang berlebihan sering kali menjadi penghalang untuk menerima kebenaran.

Sekian pula dengan Hadits Nabi SAW:
مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ
“Barang siapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan meninggikan derajatnya.”
(HR. Muslim, no. 2588)

Hadits ini menegaskan bahwa kerendahan hati adalah kunci untuk mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT. Orang yang rendah hati memahami hakikat dirinya sebagai makhluk yang lemah dan bergantung pada Allah.

2. Perasaan Hebat dan Ambisi Berlebihan

Fantasi Kekuasaan dan Kehebatan
Orang egosentris sering membayangkan dirinya memiliki kehebatan yang luar biasa. Mereka menganggap kebutuhan dan masalah mereka lebih penting daripada orang lain. Sikap ini bertentangan dengan nilai tawadhu (kerendahan hati) yang diajarkan Islam.

Sabda Rasulullah SAW. dalam sebuah Hadits:
إِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا، حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِي أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati sehingga tidak ada seorang pun yang merasa lebih baik dari orang lain dan tidak menzalimi orang lain.”
(HR. Muslim, no. 2865)

Sikap tawadhu adalah manifestasi kesadaran akan keterbatasan manusia sebagai makhluk. Ambisi yang tidak terkontrol dan perasaan hebat berlebihan dapat menyebabkan seseorang melupakan hakikat dirinya.

Umar bin Khattab RA pernah berkata:
مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ كِبْرٌ، فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa di dalam hatinya ada kesombongan, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”
(HR. Ahmad)

3. Kurangnya Empati

Orang egosentris sering kali kurang mampu memahami perasaan dan kebutuhan orang lain.

Sikap ini bertentangan dengan prinsip ithar (mendahulukan orang lain) dalam Islam. Allah SWT berfirman:
وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ
“Dan mereka mendahulukan (kepentingan orang lain) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka juga memerlukan.”
(QS. Al-Hasyr: 9)

Ayat ini menunjukkan teladan generasi sahabat yang lebih mengutamakan orang lain, meskipun mereka sendiri dalam kesusahan. Hadits Nabi SAW:
لَا يُؤۡمِنُ أَحَدُكُمۡ حَتَّىٰ يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفۡسِهِ
“Tidak beriman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Cinta dan empati adalah bagian dari keimanan. Orang yang egosentris harus melatih dirinya untuk peduli terhadap sesama.

4. Hipersensitif terhadap Kritik

Orang egosentris sering merasa tersinggung ketika menerima kritik, bahkan cenderung membenci orang yang memberinya nasihat. Sikap ini sangat dikecam dalam Islam karena berlawanan dengan adab menerima kebenaran. Allah SWT berfirman:
وَذَكِّرۡ فَإِنَّ ٱلذِّكۡرَىٰ تَنفَعُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin.”
(QS. Adz-Dzariyat: 55)

Ayat ini menegaskan bahwa menerima nasihat dan kritik adalah ciri orang beriman. Menolak kritik menunjukkan adanya kesombongan. Hadits Nabi SAW:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama adalah nasihat.”
(HR. Muslim, no. 55)
Ibnu Taimiyah berkata:
الْعَاقِلُ مَنْ قَبِلَ الْحَقَّ، وَإِنْ جَاءَ مِنْ غَيْرِهِ
“Orang yang bijak adalah yang menerima kebenaran, meskipun kebenaran itu datang dari selain dirinya.”
(Majmu’ Fatawa, 20/229)

Sehingga dengan demikian, keperibadian egosentris bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan Islam, seperti kerendahan hati, empati, dan kesediaan menerima nasihat. Islam memberikan solusi untuk menghindari sifat egosentris melalui introspeksi diri, tawadhu, dan penguatan hubungan sosial berdasarkan nilai kasih sayang. Seseorang yang mampu mengendalikan sifat egosentris akan mendapatkan ketenangan hidup dan kemuliaan di dunia maupun akhirat.

Sebab-Sebab Egosentris dalam Perspektif Islam

Sifat egosentris tidak muncul begitu saja. Ia terbentuk melalui berbagai faktor yang memengaruhi cara pandang seseorang terhadap diri sendiri dan orang lain.

Dalam Islam, setiap manusia dianjurkan untuk memahami dirinya (muhasabah) agar dapat menghindari sifat yang merugikan ini. Berikut adalah sebab-sebab utama egosentris beserta uraian dan solusi dalam perspektif Islam.

1. Pengalaman Masa Kecil

Lingkungan keluarga yang kurang kasih sayang atau terlalu menekankan prestasi dapat membentuk sifat egosentris. Anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini sering kali merasa tidak cukup baik atau berharga kecuali jika mereka mencapai sesuatu yang diakui oleh orang lain. Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…”
(QS. At-Tahrim: 6)

Ayat ini menunjukkan tanggung jawab keluarga, khususnya orang tua, dalam memberikan kasih sayang dan pendidikan akhlak yang baik agar anak-anak tidak tumbuh dengan sifat negatif seperti egosentris. Hadits Nabi SAW:
مَا نَحَلَ وَالِدٌ وَلَدَهُ أَفْضَلَ مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ
“Tidak ada pemberian orang tua kepada anaknya yang lebih baik daripada pendidikan akhlak yang mulia.”
(HR. Tirmidzi, no. 1952)

Anak yang mendapatkan pendidikan akhlak akan memahami pentingnya berbagi, bersikap rendah hati, dan menghormati orang lain. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata:
وَإِنَّ أَكْبَرَ أَسْبَابِ ضَعْفِ الْإِيمَانِ هُوَ إِهْمَالُ الْأُسْرَةِ فِي تَرْبِيَةِ الْأَبْنَاءِ
“Salah satu sebab terbesar lemahnya keimanan adalah kelalaian keluarga dalam mendidik anak-anak.”
(Al-Tarbiyah al-Islamiyyah, 1/75)

2. Kekhawatiran Sosial
Ketakutan akan kegagalan atau penolakan dapat membuat seseorang menjadi terlalu fokus pada dirinya sendiri. Mereka berusaha melindungi harga diri dengan mengutamakan kebutuhan pribadi di atas segalanya. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحۡزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلۡأَعۡلَوۡنَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang beriman.”
(QS. Ali Imran: 139)

Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk tidak takut menghadapi ujian kehidupan, termasuk kegagalan atau penolakan, karena keimanan kepada Allah menjadi sumber kekuatan sejati. Hadits Nabi SAW:
احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ
“Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu.”
(HR. Tirmidzi, no. 2516)

Hadits ini menekankan pentingnya bergantung kepada Allah SWT dalam menghadapi kekhawatiran dan tidak membiarkannya menjadi penyebab sifat egosentris. Ali bin Abi Thalib RA berkata:
إِذَا خِفْتَ شَيْئًا فَفِرَّ إِلَى اللَّهِ
“Jika engkau takut kepada sesuatu, maka larilah kepada Allah.”
(Ad-Durar Al-Mantsurah)

3. Pengaruh Lingkungan

Budaya individualisme yang menekankan keberhasilan pribadi sering kali menjadi faktor pembentuk sifat egosentris. Orang yang terpengaruh budaya ini cenderung memprioritaskan dirinya tanpa memedulikan orang lain. Allah SWT berfirman:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.”
(QS. Al-Maidah: 2)

Ayat ini menegaskan pentingnya kerja sama dan saling peduli dalam membangun masyarakat yang berakhlak. Hadits Nabi SAW:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling menguatkan.”
(HR. Bukhari, no. 2446)

Hadits ini menunjukkan bahwa Islam menganjurkan umatnya untuk membangun solidaritas sosial, bukan sifat individualisme yang berlebihan. Imam Ghazali berkata:
إِذَا غَلَبَتِ الْأُنَانِيَّةُ عَلَى الْإِنْسَانِ، فَقَدْ خَسِرَ نَفْسَهُ وَأَخْلَقَ حَيَاتَهُ بِالْفُرَاقِ
“Jika sifat individualisme menguasai seseorang, maka ia telah merugikan dirinya sendiri dan menciptakan kehancuran dalam hidupnya.”
(Ihya’ Ulumuddin, 3/59)

Maka karena itu, sifat egosentris memiliki akar yang mendalam dalam pengalaman masa kecil, kekhawatiran sosial, dan pengaruh lingkungan. Islam menawarkan solusi berupa pendidikan keluarga yang penuh kasih sayang, keimanan yang kuat untuk mengatasi kekhawatiran, serta prinsip solidaritas sosial untuk melawan budaya individualisme. Dengan mengamalkan ajaran Al-Qur’an, hadits Nabi, dan nasihat para ulama, seseorang dapat membersihkan dirinya dari sifat egosentris dan membangun karakter yang lebih baik.

Bahaya Egosentris dalam Perspektif Islam

Sifat egosentris bukan hanya merugikan hubungan sosial, tetapi juga berdampak buruk pada kejiwaan seseorang dan mengarah pada dosa besar.

Dalam Islam, sifat ini termasuk bagian dari akhlak tercela yang harus dihindari karena bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Berikut adalah uraian tentang bahaya egosentris beserta dalil-dalil yang mendalam.

1. Menghancurkan Hubungan Sosial

Orang yang egosentris cenderung kurang empati terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain. Mereka lebih mementingkan diri sendiri, sehingga sulit menjalin hubungan yang harmonis. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai ukhuwah Islamiyah yang mengutamakan persaudaraan dan kasih sayang. Allah SWT berfirman:
وَأَحۡسِنُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Al-Baqarah: 195)

Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk senantiasa berbuat baik kepada sesama, karena kebaikan adalah dasar dari hubungan sosial yang sehat. rasululllah SAW telah bersanda dalam haditsnya:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ، كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak menzaliminya dan tidak menyerahkannya (kepada musuh). Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya.”
(HR. Bukhari, no. 2442; Muslim, no. 2580)

Rasulullah SAW menekankan pentingnya membantu sesama dan melindungi hubungan baik. Sifat egosentris yang tidak peduli pada kebutuhan orang lain jelas bertentangan dengan prinsip ini.

2. Merusak Jiwa

Kepribadian egosentris sering kali merasa kesepian, tidak bahagia, dan penuh kecemasan. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk membangun hubungan sosial yang tulus. Dalam Islam, kedamaian jiwa diperoleh melalui ketundukan kepada Allah dan sikap rendah hati terhadap sesama. Allah SWT berfirman:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d: 28)

Demikian pula didalam Hadits Nabi SAW:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan itu adalah kaya jiwa.”
(HR. Bukhari, no. 6446; Muslim, no. 1051)

Hati yang terpenuhi oleh keegoisan dan sifat egosentris akan kehilangan ketenangan. Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada kekayaan jiwa, bukan pada kepuasan ego.

3. Menimbulkan Dosa Besar

Sifat sombong dan iri yang melekat pada kepribadian egosentris termasuk dosa besar dalam Islam. Kesombongan adalah sifat yang sangat dibenci oleh Allah SWT, bahkan menjadi penyebab utama diusirnya Iblis dari surga. Allah SWT berfirman:
إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡتَكۡبِرِينَ
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.”
(QS. An-Nahl: 23)

Hal yang sama juga disampaian dalam Hadits Nabi SAW:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walau sebesar biji sawi.”
(HR. Muslim, no. 91)

Abdullah bin Mas’ud RA berkata:
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”
(HR. Muslim, no. 91)

Egosentris yang ditandai dengan kesombongan dan iri hati membawa pelakunya kepada kehancuran, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam Islam, kesombongan adalah sifat yang hanya pantas dimiliki oleh Allah SWT. Imam Al-Ghazali berkata:
إِذَا تَمَكَّنَ الْكِبْرُ فِي قَلْبِ الْإِنْسَانِ، تَحَوَّلَ عَبْدًا لِهَوَاهُ، وَانْقَطَعَ عَنْ طَرِيقِ السَّعَادَةِ
“Jika kesombongan menguasai hati seseorang, maka ia menjadi budak hawa nafsunya dan terputus dari jalan kebahagiaan.”
(Ihya’ Ulumuddin, 3/151)

Karena itu , bahaya egosentris tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga menghancurkan jiwa dan menjerumuskan pelakunya ke dalam dosa besar. Islam memberikan solusi berupa ajakan untuk senantiasa bersikap rendah hati, berbuat baik kepada sesama, dan memperbanyak zikir agar hati menjadi tenteram. Dengan menjauhi sifat ini, seseorang dapat mencapai kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.

Solusi Islami untuk Mengatasi Egosentris

Egosentris, yang ditandai dengan keinginan untuk mendominasi perhatian dan selalu memprioritaskan diri sendiri, dapat merusak hubungan sosial dan spiritual seseorang. Islam menawarkan solusi-solusi yang komprehensif untuk mengatasi sifat egosentris ini.

Berikut adalah beberapa langkah solusi Islami yang dapat diambil untuk mengatasinya, berdasarkan petunjuk Al-Qur’an, hadits Nabi SAW, serta fatwa atau qaul sahabat dan ulama.

1. Tingkatkan Kesadaran Diri (Muhasabah)

Muhasabah atau introspeksi adalah proses yang sangat penting dalam Islam untuk menilai dan menyadari kekurangan diri. Dengan melakukan muhasabah, seseorang akan dapat melihat sejauh mana ia telah menyimpang dari jalan Allah dan mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam dirinya. Allah SWT berfirman:
وَنَفۡسٍ وَمَا سَوَّاهَا
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaan dan perbaikan-Nya).”
(QS. Asy-Syams: 7)
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy-Syams: 9-10)

Ayat ini menekankan pentingnya penyucian jiwa. Penyucian jiwa dimulai dengan menyadari kekurangan diri (muhasabah), sehingga seseorang bisa membersihkan hatinya dari sifat buruk, termasuk egosentris.

Dengan melakukan introspeksi, seseorang akan lebih mudah mengidentifikasi kesombongan dan ego dalam dirinya dan berusaha untuk mengubahnya. Hadits Nabi SAW:
حَاسِبُوا۟ أَنفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا۟ وَزِنُوا۟ أَعْمَٰلَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُوزَنَ لَكُمْ
“Periksalah dirimu sebelum engkau diperiksa, dan timbanglah amalmu sebelum amalmu ditimbang.”
(HR. Al-Hakim)

Nabi SAW mengingatkan umatnya untuk senantiasa memeriksa dan menilai diri sendiri (muhasabah) agar bisa memperbaiki diri sebelum dihadapkan dengan pertanyaan dan penilaian di hadapan Allah kelak.

Dengan muhasabah, seseorang dapat mengevaluasi apakah egosentris telah merusak perilakunya atau tidak.

2. Latih Empati: Belajar Mendengarkan dan Memahami Orang Lain

Empati adalah kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain. Dalam Islam, empati adalah sikap yang sangat dianjurkan. Sifat egosentris yang hanya fokus pada diri sendiri harus digantikan dengan empati, yakni kepedulian terhadap orang lain. Allah SWT berfirman:
وَمَا تَفْعَلُوا۟ مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ
“Dan apa saja yang kamu perbuat dari kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 215)
Hadits Nabi SAW:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّىٰ يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari, no. 13; Muslim, no. 45)

Islam mengajarkan bahwa kita harus peduli terhadap sesama dan saling memahami satu sama lain. Dalam konteks ini, empati mengarah pada pengertian terhadap perasaan, keinginan, dan kebutuhan orang lain. Dengan mengembangkan empati, seseorang akan lebih bisa melepaskan egosentrisme yang berfokus pada dirinya sendiri.

3. Beramal dengan Ikhlas:
Perbanyak Sedekah dan Amal Kebajikan Tanpa Pamrih

Beramal dengan ikhlas, tanpa mengharap pujian atau penghargaan, adalah kunci untuk menghilangkan sifat egosentris. Ikhlas mengajarkan seseorang untuk tidak mengutamakan diri sendiri, melainkan mengutamakan kepentingan orang lain dan ridha Allah. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورً
“Sesungguhnya kami memberi makan kepada kalian hanya untuk mengharapkan wajah Allah, kami tidak menginginkan balasan dari kalian dan tidak pula ucapan terima kasih.”
(QS. Al-Insan: 9)

Hadits Nabi SAW:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ إِلَّا مَا كَانَ خَالِصًا لَهُ وَبِحَقٍّ
“Sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali amal yang ikhlas hanya karena-Nya dan sesuai dengan kebenaran.”
(HR. Al-Bukhari)

Amal yang ikhlas adalah salah satu solusi untuk mengatasi egosentris. Ketika seseorang beramal tanpa mengharap imbalan atau pujian dari orang lain, ia akan terbebas dari dominasi ego dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Amal kebajikan yang dilakukan dengan ikhlas akan menyucikan hati dan menumbuhkan rasa peduli terhadap orang lain.

4. Perkuat Hubungan dengan Allah:
Perbanyak Dzikir dan Ibadah untuk Membersihkan Hati

Salah satu cara paling efektif untuk mengatasi egosentris adalah dengan memperkuat hubungan dengan Allah SWT. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbanyak dzikir, beribadah, dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah.

Dengan meningkatkan ibadah, seseorang dapat membersihkan hati dari sifat buruk dan mendekatkan diri kepada Allah. Allah SWT berfirman:
أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d: 28)

Hadits Nabi SAW:
مَنۡ قَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ وَمَلَكُوتُهُ وَلَهُ ٱلۡحَمۡدُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ قَدِيرٌ
“Barang siapa yang mengucapkan La ilaha illallah dengan ikhlas, maka hatinya akan menjadi bersih dan tenang.”
(HR. Muslim)

Dzikir dan ibadah yang dilakukan dengan ikhlas dapat membersihkan hati dari sifat egosentris. Ketika hati dipenuhi dengan ingatan kepada Allah, maka ego dan keinginan untuk selalu mendominasi akan hilang, digantikan dengan rasa ketenangan dan rasa syukur terhadap segala pemberian-Nya.

Dengan demikian Islam menawarkan berbagai solusi untuk mengatasi sifat egosentris, mulai dari introspeksi diri (muhasabah), melatih empati, beramal dengan ikhlas, hingga memperkuat hubungan dengan Allah melalui dzikir dan ibadah. Dengan mengikuti solusi-solusi tersebut, seseorang akan dapat menyucikan jiwa, meningkatkan kualitas hubungan sosial, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

PENUTUP/ KESIMPULAN

Ketika kita melangkah dalam kehidupan ini, sering kali kita dihadapkan pada cermin diri, yang seolah memantulkan gambaran diri yang lebih besar daripada yang seharusnya.

Begitulah ego bekerja, menuntun kita untuk merasa lebih penting, lebih layak, lebih tinggi dari yang lain. Namun, betapa seringnya kita terjebak dalam ilusi itu, merasa berada di puncak tanpa menyadari bahwa kejatuhan sejati justru terjadi ketika kita melupakan orang-orang yang berdiri di sekitar kita.

Di balik wajah yang penuh kemegahan, tersembunyi kekosongan yang tak terlihat—kosong dari kasih sayang, kosong dari empati, kosong dari makna sejati.

Sifat egosentris yang muncul dalam diri manusia adalah cermin dari keterbatasan yang seharusnya dapat kita lihat dengan lebih jernih. Ketika ego mendominasi, kita lupa bahwa dunia ini bukan hanya milik kita, bahwa setiap individu berhak untuk dihargai dan dicintai.

Seperti bunga yang mengeluarkan keharumannya, tak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk seluruh alam semesta di sekitarnya, begitulah manusia seharusnya, berbagi kebaikan tanpa berharap balasan, memberikan cinta tanpa batasan, dan merendahkan hati di hadapan Allah SWT.

Namun, tak ada jalan yang terjal untuk melepaskan diri dari belenggu ego. Dalam setiap langkah yang kita ambil untuk kembali ke jalan yang benar, kita akan dihadapkan pada tantangan yang menguji kesabaran dan keikhlasan.

Seperti daun yang jatuh dari pohon dan menyatu dengan tanah, kita harus rela melepaskan diri dari pandangan sempit kita tentang dunia, membuka mata hati untuk melihat keindahan dalam berbagi, dalam memberi, dalam merendahkan diri. Ketika kita melangkah menuju pengakuan sejati, bukan dari manusia, tetapi dari Tuhan yang Maha Agung, kita akan menemukan kedamaian yang tak tergantikan oleh apapun.

Islam datang bukan untuk mengajarkan kita tentang kerasnya kehidupan, tetapi untuk memperkenalkan kita pada kehidupan yang penuh dengan kelembutan.

Rasulullah SAW, dengan teladan hidupnya, mengajarkan bahwa kedamaian sejati terletak pada kerendahan hati, pada ketulusan yang melampaui batasan ego. Dalam setiap sabda beliau, terungkap rahasia hakiki kebahagiaan: kebahagiaan yang datang dari memberi, dari peduli terhadap sesama, dari menyadari bahwa kita adalah bagian dari dunia ini yang lebih besar.

Sebagaimana air yang mengalir dengan lembut, tak pernah mendongak ke langit untuk mencari pujian, begitulah kita seharusnya—membiarkan kebaikan mengalir dalam diri kita, tanpa memandang siapa yang menerima atau memberi, tanpa mengharapkan imbalan.

Kita seharusnya menanggalkan segala kebanggaan yang kita pelihara, yang hanya akan menyesatkan kita pada kesendirian yang hampa.

Sebaliknya, kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah, berusaha menyucikan jiwa, dan memupuk empati untuk sesama.

Kehidupan ini bukanlah tentang berapa banyak yang kita miliki, melainkan tentang bagaimana kita memberi, tentang bagaimana kita menjalin hubungan yang penuh kasih, tentang bagaimana kita memperlakukan setiap individu dengan hormat dan penghargaan. Setiap langkah kita menuju pengurangan ego adalah langkah menuju kedamaian, menuju cinta yang sejati, menuju kebahagiaan yang tidak bisa diukur dengan ukuran duniawi.

Kita bukanlah pusat dari alam semesta ini, namun kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari harmoni yang indah ini.

Sebagai kesimpulannya, hidup yang penuh dengan egosentrisme hanyalah sebuah ilusi yang menuntun kita pada kesia-siaan.

Kegelisahan yang ditimbulkan oleh kebanggaan yang tidak perlu hanya akan menenggelamkan kita dalam kesendirian dan kekosongan.

Namun, ketika kita mampu melepaskan ego, merendahkan hati, dan mengutamakan orang lain di atas kepentingan pribadi, kita akan menemukan kedamaian yang hakiki.

Solusi dari kehidupan yang egosentris ini bukanlah dengan menjauhkan diri dari dunia, melainkan dengan mengisi dunia ini dengan kebaikan, dengan memberikan yang terbaik dari diri kita tanpa mengharapkan balasan.

Semoga setiap perjalanan yang kita jalani membawa kita lebih dekat dengan hati yang bersih, lebih dekat dengan cinta kasih yang tulus, dan lebih dekat dengan Allah SWT, yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Sebagaimana bunga yang mekar tanpa suara, semoga kita pun dapat memberi kebaikan dengan penuh ketulusan, membiarkan dunia ini dipenuhi dengan kasih sayang yang menenangkan. Dalam kelembutan dan kerendahan hati, kita akan menemukan kekuatan yang sejati, kekuatan untuk mengubah dunia, kekuatan untuk mencintai, dan kekuatan untuk menjadi diri kita yang sebenarnya.# Wallahu A’lam Bishawab

 

Pos terkait