Oleh: Yumiriyah Abdullah | Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta
Dalam tatanan penerapan, politik dinasti menjadi sebuah tantangan terbesar dalam membangun demokrasi yang bernilai di dalam sebuah tatan pemerintahan. Salah satu ciri dari politik dinasti yaitu tampak dari terjadinya sebuah kekuasaan yang dipegang oleh kelompok keluarga dan kekerabatan, hal ini dilakukan dalam rangka agar kekuasaan tetap berada dilingkaran keluarga.
Tren politik kekerabatan merupakan sebuah gejala budaya neo patrimonialistik yang merupakan penyelenggaraan pemerintahan dibawah kontrol langsung pimpinan Negara, salah satu karakteristiknya yaitu kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki penguasa dengan teman-temannya, contoh salah satunya seperti anak pejabat mendapatkan posisi besar di Negara, dan ini biasanya terjadi di dalam masyarakat politik modern.
Sebenarnya hal seperti ini sudah lama berakar sejak masa tradisional, yaitu yang berupa sistem patrimonial, yang hanya mengutamakan regenasi politk atau hanya menggunakan ikatan kelompok sosial pada keturunan atau darah yang sama, di bandingkan menggunakan kemampuan atau prestasi yang dimiliki.
Adanya kultur neo patrimonialistik ini, secara tidak lagsung banyak dimanfaatkan oleh para politisi, dan dijadikan strategi politik demi untuk mempertahankan kekuasaan.
Memasuki masa kontestasi politik menjelang Pemilu 2024 mendatang begitu banyak sekali isu-isu yang bergulir di kalangan sosial media. Salah satunya saat ini yaitu bangkitnya Dinasti Politik di Era Jokowi, putusan Mahkamah Konsitusi terkait gugutan syarat capres-cawapres secara tidak langsung memungkinkan Gibran Rakabuming Raka melenggang ke Pilpres 2024. Terlepas Gibran jadi atau tidaknya ia maju menjadi cawapres, selain itu menantu Jokowi yaitu Baby Nasution menjadi Wali Kota Medan, dan yang terbaru saat ini anak Jokowi yaitu Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum PSI periode 2023-2028. Sehingga belakangan ini telah muncul tanda kebangkitan dinasti politik Jokowi di kalangan republik saat ini.
Dari beberapa informasi media yang penulis dapat mengenai dinasti politik Jokowi, yaitu karena Jokowi ingin mempertahankan kekuasaanya, jika kita feedback kembali Jokowi pernah memberikan pernyataan soal antisipasi situasi 13 tahun dari sekarang, adapun alasan Jokowi ingin berkuasa yaitu menjaga stabilitas politik lantaran tahu kekuatan oposisi, kontitunitas atau keberlanjutan program di tengah dua kekuatan besar yaitu Tiongkok dan Eropa, dan selanjutnya Jokowi ingin memperkuat peran dalam perpolitikan di Indonesia.
Sehingga hal ini yang memungkinkan untuk membuat gugatan batas usia minimal capres dan cawaspres, dan anak Jokowi Gibran Raka Buming Raka, dapat menjadi cawapres, dan di tambah lagi saudara ipar Jokowi Anwar Usman terpilih kembali menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi untuk masa jabatan 2023-2028 mendatang.
Secara definisi demokrasi menurut Abraham Lincoln menjelaskan bahwa demokrasi adalah sebuah pemerintahan yang berlandaskan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun kenyataanya saat ini demokrasi yang ada di Indonesia masih sangat minim dan sangat jauh untuk bisa menerapkan demokrasi yang berkembang secara baik, contohnya saat ini masih banyak bertebaran money politik diberbagai daerah, sehingga budaya seperti ini tidak bisa di hilangkan saat menjelangnya pemilu, selanjutnya merabaknya politik identitas, politik dinasti, sehingga hal tersebut banyak sekali dimanfaatkan dan untuk dijadikan strategi para politisi, selain itu disebabkan oleh pelemahan institusi politik penopang sistem demokrasi yang dilakukan oleh Negara, seperti penyerahan kekuaasaan secara damai atau sistem elektoral.
Oleh karena itu jika di Indonesia demokrasi terus berjalan seperti ini, maka hal tersebut akan menjadi awalan kemunduran demokrasi. Maka salah satu yang dapat merubah agar demokrasi berkembang dan memiliki tingkatan yang baik, yaitu berawal dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu masyarakat harus dapat lebih selektif lagi dalam menghadapi isu yang bergulir menjelang pemilu 2024 mendatang.