Kini Presiden Joko Widodo mendapatkan tekanan untuk menerbitkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang atau Perppu KPK oleh sejumlah pihak. Namun, beranikah Jokowi menerbitkan Perppu tersebut saat menuai banyak dukungan dari publik? Kita tunggu ke depannya.
Mengingat desakan atau dukungan publik kepada Presiden Perppu KPK itu terus mengalir agar bisa membatalkan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi yang disahkan DPR pada 24 September 2019 lalu.
Padahal, jika berbicara dukungan, Jokowi mendapatkan dukungan mayoritas dari publik untuk menerbitkan Perppu KPK tersebut. Hal itu dilihat dari survei teranyar yang diluarkan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI). Sesuai hasil survei LSI itu, data menunjukan mayoritas masyarakat Indonesia mendukung Jokowi atau rakyat berada di belakang Jokowi untuk menerbitkan Perppu sebagai upaya penangguhan UU KPK).
Menurut Ditektur Eksekutif LSI Djayadi Hanan, ada 76,3 persen masyarakat Indonesia yang tahu dan setuju presiden mengeluarkan Perppu KPK segera untuk menangguhkan UU KPK. Sementara ada sebanyak 70,9 persen responden yang menilai revisi UU KPK untuk melemahkan pemberantasan kerupsi di Indonesia.
“Dengan data itu, ada aspirasi publik yang kuat (ingin Perppu KPK diterbitkan) karena UU KPK hasil revisi itu melemahkan KPK, maka (UU KPK itu) untuk melemahkan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,” ujar Djayadi di Jakarta, Ahad (6/10/2019) kemarin.
Di mana survei yang dilakukan oleh LSI ini disulut oleh aksi demonstrasi para mahasiswa di Jakarta hingga di sejumlah daerah di tanah air. Survei itu digelar sejak tanggal 4-5 Oktober 2019 melalui wawancara telepon sebanyak 17.425 responden terpilih dari total 23.760 responden yang datanya diambil oleh LSI sendiri.
Di Tempat terpisah presiden juga mendapatkan didukung oleh politisi Senayan dari PKS sebagai partai oposisi. Bagi Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, Jokowi perlu menerbitkan segera Perppu KPK untuk menguatkan kerja-kerja KPK.
“Seperti saya sampaikan, saya sangat mendukung Presiden (Joko Widodo) mengeluarkan Perppu KPK, karena bagi kami banyak pasal-pasal di dalam UU KPK itu yang melemahkan tugas dan fungsi KPK selama proses revisi UU KPK kemarin,” terang Mardani pada wartawan, Jakarta, Ahad (6/10/2019).
Politisi PKS asal Dapil DKI Jakarta I itu menyampaikan, dalam UU KPK itu terdapat sejumlah pasal hasil revisi yang melemahkan kinerja KPK ke depan. Adapun ketiga poin soroti publik termasuk PKS yakni pegawai KPK yang harus jadi Aparatur Sipil Negara (ASN), pembentukan dewan pengawas oleh presiden dan penyadapan yang memerlukan izin dewan pengawas.
“Menurut kami, kembalikan saja (KPK) pada publik. Contohnya, seperti BI (Bank Indonesia) yang mandiri. Presiden tidak boleh lemah dan takut pada tekanan. Sumpahnya hanya taat pada konstitusi dan rakyat Indonesia,” usul Mardani.
Bagaimana pendapat pihak istana terkait Perppu itu? Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Kepala Staf Presiden Moeldoko sama-sama menahan dan meminta publik menunggu. Mengingat Presdien Jokowi belum memberikan sinyal. Mungkin setelah pelantikan atau di akhir periode ini jabatannya sebagai presiden di periode pertama? Menarik ditunggu.
“(Soal Perppu KPK) Tunggu, tunggu, tunggu (yang sabar). Kalau Presiden sudah menyatakan sesuatu, nah, itu (baru dibuat Perppu KPK). Sekarang kan belum (ditetapkan diterbitkan Perppu KPK),” ungkap Pratikno.
Sementara Moeldoko menyebutkan, penerbitan Perppu KPK seperti buah simalakama’. “Nggak dimakan bawa mati, dimakan ikut mati, kan begitu,” terang Moeldoko pada wartawan.
Dukungan lain juga datang dari Guru besar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris. Syamsuddin Haris menyampaikan, sejatinya Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu KPK sebelum dirinya dilantik dan terbentuk kabinet baru periode 2019-2024. Itu, kata Syamsuddin, berkaitan dengan posisi tawar Jokowi pada partai politik di Senayan untuk mendukung Perppu tersebut.
Bagi Syamsuddin, posisi tawar Presiden malah lemah dalam penyelesaian polemik UU KPK pasca ditetapkan nama-nama anggota kabinet 2019-2024.
“Tapi kita tidak perlu terburu-buru juga, kita mesti menunggu Undang-Undang KPK itu, apa sudah punya nomor walaupun undang-undang tersebut belum atau tidak ditandatangani oleh Presiden Jokowi,” ujar Syamsuddin di Jakarta, Kamis (3/10/2019) lalu.
Perppu KPK, kata Syamsuddin, sangat diperlukan KPK untuk memberantas korupsi sekaligus untuk mengembalikan kekuatan KPK. Pasalnya, lanjutnya, UU KPK hasil revisi itu, khususnya pada pasal yang menjadi pro-kontra, merupakan bentuk pelemahan lembaga antirasuah itu.
“Dan kita tidak bisa bayangkan, bagaimana apabila KPK makin lemah dan kewenangannya memberantas korupsi untuk menindak itu tidak ada. Karena kita butuh KPK dengan penindakan yang kuat selain pencegahan yang kuat juga,” tegas Syamsuddin.
Dilema dan Tarik Menarik di Pusaran Upaya Penguatan KPK
Memang dilema bagi Jokowi untuk menerbitkan Perppu itu. Mengingat ada upaya dari barisan partai koalisi, menunda terbitnya Perppu KPK itu. Bahkan sejumlah petinggi partai koalisi Jokowi mengeluarkan “warning” jika Jokowi mengeluarkan Perppu KPK Jokowi bisa kena pemakzulan.
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menyebutkan, Jokowi dan partai-partai pendukungnya sepakat untuk belum mengeluarkan Perppu KPK karena saat ini tengah berlangsung uji materi UU tersebut di Mahkamah Konstitusi. Dengan tegas, Surya Paloh mengeluarkan statmen jika salah bertindak, Jokowi bisa dimakzulkan karena keputusan mengeluarkan Perppu KPK tersebut.
“Mungkin masyarakat dan anak-anak mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana (MK). Presiden kita paksa keluarkan perppu, ini justru dipolitisasi. Salah-salah presiden bisa di-impeach (dimakzulkan) karena itu,” kata Paloh seperti dikutip kompas.
Menindaklanjuti isu atau narasi pemakzulan Surya Paloh itu, sejumlah tokoh dan pengamat angkat suara. Bahkan Mantan Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki menyebutkan, tidak ada risiko hukum yang akan diterima bagi Presiden jika menerbitkan perppu saat ini, apalagi pemakzulan jabatan.
Bagi Ruki, sebaliknya Presiden Jokowi akan mendapat simpati publik secara luas sebab telah menyelamatkan nasib KPK. “Apakah ada konsekuensi hukum (jika Jokowi keluarkan Perppu KPK?) Sama sekali tidak ada konsekwensi hukumnya, termasuk hukum pidana. Mengeluarkan perppu tidak ada konsekuensi hukum, mau dibawa ke MK atau MA tidak bisa itu,” tegas Ruki, Jakarta, Jumat (4/10/2019) kemarin.
Hingga kini Presiden belum juga memberi jawaban, apa akan mengeluarkan Perppu itu atau tidak. Publik menunggu presiden. Namun, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menduga, saat ini Presiden Joko Widodo tengah bernegosiasi dengan parpol yang ada di Senayan.
“Kalau bagi saya, pemerintah atau Presiden sedang melakukan negosiasi dengan partai-partai politik karena Perppu itu kan segera setelah DPR bisa bersidang kembali, dan Perppu itu harus dibahas oleh DPR yang baru saja dilantik,” ujar Bivitri, Senin (7/10/2019).
Anak buah Prabowo Subianto menyarankan Jokowi berkomunikasi terlebih dahulu dengan DPR sebelum memutuskan akan menerbitkan Perppu KPK. Karena, bagi Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas, partai oposisi perlu diajak bicara.
“Saya menyarankan, sebaiknya yang paling penting adalah dialog antara Presiden dan DPR itu penting dilakukan. Di mana Presiden juga bisa melakukan dialog antara ketua-ketua umum partai politik sebelum diterbitkan Perppu itu. Kemarin kan dengan koalisinya sudah. Nah sekarang yang di luar koalisi itu juga tidak ada salahnya Presiden mengundang dan meminta pendapat,” terang Supratman pada wartawan di Gedung DPR RI, Senayan, Senin (7/10/2019).
“Yang terpenting saat ini, Presiden harus mengambil sikap yang benar-benar untuk menguatkan KPK. Apapun itu hasilnya. Karena KPK ada di NKRI ini untuk membela Rakyat.”