Akhir-akhir ini ramai diperbincangkan soal buzzer istana. Meski buzzer itu tak dikomandani oleh istana. Dan tak heran jika buzzer itu bisa disebut telah ikut andil manipulasi publik tanpa data atau data bohong alias hoaks.
Dari hasil penelitian Oxford, Inggris. Indonesia ada pengerahan buzzer secara besar-besaran di media sosial (medsos) untuk membohongi rakyat. Di mana para buzzer ini dikerahkan untuk menggiring dukungan pada pemerintah, partai bahkan untuk menyerang lawan politik agar terjadi pemecah belah opini di tengah masyarakat.
Yang mengejutkan, yang menggunakan jasa buzzer itu bukan hanya dari kalangan politikus dan partai-partai politik tapi juga disebut-sebut oleh netizen dari pihak lingkaran istana. Waduuu kok bisa?
Kembali hasil penelitian, para pemilik dana itu disinyalir membiayai pasukan siber alias buzzer itu untuk memanipulasi opini publik. Seperti itu hasil penelitian para ilmuwan dari Universitas Oxford, Inggris baru-baru ini.
Dan tak tanggung-tanggu untuk membahas pengerahan buzzer di Indonesia itu diulas langsung oleh dua ilmuwan Oxford. Yakni Philip N Howard
dan Samantha Bradshaw pada laporan bertajuk “The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation.”
Pada laporan itu, buzzer menyebar informasi hoaksnya melalui akun-akun palsu yang dioperasikan oleh orang-orang dan oleh bot tertentu. Mereka bekerja dalam sistem komando.
Ada dua jenis, pertama informasi yang menyesatkan media atau publik dan yang kedua, memperkuat pesan dengan terus-menerus membanjiri medsos dengan tagar yang diciptakan oleh kelompok mereka sesuai dengan keiginan pemilik modal.
Pada laporan itu, buzzer dikategorikan sebagai empat kategori, yakni minimal cyber troop teams, low cyber troop capacity, medium cyber troop capacity, dan high troop capacity. Di mana Indonesia berada pada kategori low cyber troop capacity atau pasukan dengan kapasitas rendah. Waduh. Kok Bisa?
Para buzzer di Indonesia, menurut penelitian itu, dikontrak oleh politikus atau partai politik tidak secara permanen. Mereka para buzzer itu lazimnya dibayar oleh donatur di kisaran harga Rp 1 juta hingga Rp 50 juta. waoo bagus ni untuk membuka lapangan pekerjaan.
Di Indonesia sendiri, para buzzer ini fokus bekerja di tiga media sosial utama, Facebook, Twitter, Instagram, serta di aplikasi pesan WhatsApp. Para buzzer ini belum banyak bergerak menggunakan channel Youtube sebagai youtuber.
Ingin tahu kalau buzzer itu bekerja dengan baik sesuai dengan keinginan pemilik modal? Sebaiknya googling tulisan wartawan Republika Teguh Firmansyah yang berjudul “Tertibakan Juga Buzzer Pemerintah.” Dalam tulisan itu, Teguh menggambarkan bahwa buzzer yang bekerja untuk pemerintah itu memang ada. Selain data itu didukung oleh pengakuan oleh Moeldoko beberapa waktu lalu.
Dalam tulisan Teguh itu menggambarkan presenter Najwa Shihab yang marah besar yang telah diserang secara personal dan bertubi-tubi pasca membawakan diskusi terkait Revisi UU KPK. Waktu diskusi itu Najwa mengundang Fahri Hamzah, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, aktivis Lokataru Haris Azhar, Direktur YLBI Asfinawati, Ketua BEM UGM dan Presiden ITB.
Oleh buzzer, Najwa dianggap berat bersebelah pada acara berdiskusi itu. Sontak Najwa mendapat serangan secara personal di dunia maya dengan menyabar foto lamanya bersama Tommy Soeharto, Lieus Sungkharisma, dan Ichsanuddin Noorsy.
“Kabar mengagetkan Najwa Shihab, Tommy Soeharto, Noorsy, dan Lieus akhirnya Bersepakat untuk .. “. Itu bumbu tulisan yang bikin Najwa sakit hati. Gambar itu ingin membangun framing bahwa Najwa itu antek Orde Baru dengan membawa Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta saat ini.
Yang tak masuk akal, saat buzzer itu membawa-bawa nama besar ayah Najwa Shihab yang pernah menjabat Menteri Agama RI di era Soeharto. Dan sangat wajar jika Najwa menilai, serangan yang dialamatkan ke dirinya di media sosial itu tak etis. Sejatinya, jika masih menggunakan akal sehat, buzzer itu tak membawa nama ulama besar Indonesia, Quraish Shihab, meski itu ayah Najwa.
Pihak Istana Sudah Mulai Terusik Kinerja Buzzer?
Sebagai orang istana, Moeldoko sudah mulai risih dengan cara kerja buzzer. Bagi Moeldoko aktivitas buzzer atau pendengung pendukung fanatik Presiden Joko Widodo saat ini merugikan presiden sendiri. Untuk itu, Moeldoko meminta pendukung Jokowi, yang tergabung di tim buzzer untuk menyebarkan (share) informasi yang positif saja di medsos.
“Kita melihat dari emosi yang terbangun, dari kondisi yang tercipta itu merugikan (Jokowi). Jadi yang perlu dibangun emosi positif lah, bukan yang negatif,” ujar Moeldoko.
Moeldoko menyoroti dua kasus menjelang penetapan RUU KPK di DPR yakni terkait penyebaran informasi ambulans DKI Jakarta yang disebut membawa batu dan bensin saat aksi massa di sekitar Gedung DPR beberapa waktu lalu. Di situ ada nama Denny Siregar yang hingga kini belum disebar. Padahal sudah terbukti menyebar hoaks “Ambulan Batu”.
Kemudian kasus tangkapan layar grup WhatsApp pelajar STM, ternyata nomor telepon di grup itu diduga milik anggota Polri. Wajar jika Moeldoko tidak nyaman dengan kerja-kerja mereka yang hanya mengganggu pemerintah.
Sesuai analisa DroneEmprit terkait dengan mobil ambulans DKI Jakarta yang membawa batu dan bensin, diketahui penyebar pertama informasi itu dari akun-akun yang dikenal kerap ‘membela’ Jokowi ataupun pemerintah di media sosial.
Dan sangat wajar jika Moeldoko kecewa, karena kehadiran buzzer awalnya untuk memperjuangkan dan menjaga marwah pemerintah. Tapi, kini buzzer itu, bekerja salah arah. Menurut Moeldoko, para buzzer itu sudah tak diperlukan lagi kerja-kerjanya.
Terkait rencana Moeldoko ingin menertibakan buzzer, Relawan media sosial pendukung Jokowi-Ma’ruf menolak rencana itu. Bagi Priyo Kustiadi yang juga pegiat medsos pendukung Jokowi-Ma’ruf sejak masa kampanye Pilpres 2019 lalu itu menilai rencana Moeldoko tersebut tidaklah tepat.
“Bagi kami, kata ‘ditertibkan’ itu terlalu berlebihan dan kurang tepat, bagi saya. Sebab, penertiban itu melenceng dari kebebasan berpendapat di media sosial,” ujar Priyo seperti dikutipTribun, Sabtu (5/10/2019) lalu.
Tak hanya, itu Priyo pun menyakini Moeldoko akan kesulitan menertibkan para buzzer-buzzer itu. Mengingat ruang gerak mereka sangat bebas dalam bentuk individu, bukan dalam kelompok yang dikoordinir.
Priyo mengusulkan, jika memang pihak pemerintah ingin menertibkan buzzer, sejatinya yang ditertibkan, penyebar berita hoaks, bukan buzzer. Apalagi, satu influencer itu memiliki banyak pengikut sehingga penyebaran konten negatif bisa cepat tersebar di masyarakat dan bisa mempengaruhi opini orang banyak.
Langkah Cepat Aparat Tertibkan Buzzer
Dengan cepat Polda Metro Jaya berjanji dan bakal berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk menertibkan buzzer-buzzer yang kerap menyebar berita bohong alias hoaks di media sosial (medsos).
“Ya nanti kami koordinasi dengan Kominfo ya (untuk menertibkan buzzer-buzzer itu),” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Argo Yuwono, di Ruang Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (4/10/2019) lalu.
Untuk itu, Argo menjelaskan, waktu dekat ini pihaknya fokus mendalami unsur pidana terhadap aksi yang dilakukan para buzzer-buzzer di medsos. Di mana aparat kepolisian terlebih dahulu akan menyelidiki secara mendalam konten-konten yang disebarkan di medsos.
KESEIMPULAN: Jika memang tak diperlukan dan tak membela kepentingan rakyat, ya tertibkan saja Pak.