Colen

Oleh: Bang Fahmi, Tukang Telur Puyuh Keliling

Colen itu bahasa Betawi untuk obor. Colen dibuat dari bambu yang dipotong bagian bukunya. Bagian buku yang satu tertutup dan satunya lagi terbuka. Bagian yang tertutup digunakan sebagai bagian bawah colen.

Bacaan Lainnya

Karena berbahan bakar minyak tanah bagian bawahnya harus tertutup. Bagian atasnya terbuka karena digunakan untuk sumbu. Sumbu biasanya terbuat dari kain perca, kami biasa menyebutnya bujur. (Kalau bahasa Sunda “bujur” artinya pantat).

Minyak tanah yang dimasukkan ke dalam colen biasanya tidak terlalu penuh. Maksimal diisi hanya sampai setengah. Karena kalau terlalu penuh berat membawanya. Selain itu pengisian sampai penuh tidak diperlukan, mengingat colen digunakan tidak terlalu lama. Hanya untuk penerang saat berjalan di malam hari. Kecuali colen yang dipasang sebagai penerangan jalan.

Colen bukan alat penerang khas Betawi. Semua bangsa di berbagai belahan dunia menggunakan alat penerangan ini sebelum ditemukannya listrik. Mungkin bentuk dan bahan untuk tangkai dan bahan bakarnya saja yang berbeda. Namanya juga tentu berbeda.

Sampai tahun 1980 an, di sebagian wilayah Jakarta, colen masih digunakan sebagai alat penerangan saat berjalan malam hari. Karena walawpun ibu kota negara distribusi jaringan listrik saat itu belum menjangkau semua rumah dan perkampungan di Jakarta.

Ada wilayah yang sudah masuk jaringan listrik, tapi ada saja rumah tangga yang belum bisa memasang listrik sendiri di rumahnya karena keterbatasan dananya. Biasanya rumah tangga seperti ini nyambung dari tetangga dengan ikut membayar tagihan listrik tiap bulannya. Program Listrik Masuk Desa belum sepenuhnya berhasil.

Ada juga perkampungan yang sama sekali tidak masuk jaringan listrik. Contohnya Rt 003 Rw 03 Pondok Pinang. Sampai akhirnya wilayah tersebut “bubar” karena proyek Pondok Indah, jaringan listrik tidak masuk. Karena memang wilayah itu akan digusur. Perkampungannya tinggal satu pojokan di sisi timur wilayah Pondok Pinang.

Ada juga yang nyambung aliran dari seberang Kali Baru/Kali Sodetan. Itu pun hanya satu rumah tangga. Selebihnya tidak menggunakan tenaga listrik untuk kehidupan sehari-harinya. Karena tidak ada tenaga listrik, perabotan rumah tangga juga tidak menggunakan listrik. Memasak menggunakan kompor minyak. Lemari pendingin tidak ada. Mencuci pakaian menggunakan tangan beralaskan papan cuci/papan penggilesan. Menyetrika menggunakan setrika arang kayu atau batok. Air bersih dari sumur timba. Penerangan rumah menggunakan lampu petromak dan lampu tempel atau pelita. Televisi menggunakan accu.

Colen sebagai alat penerang saat jalan memang bukan satu-satunya. Selain colen orang juga menggunakan lampu senter yang bertenaga baterai. Tapi alat ini relatif sedikit yang memilikinya dibanding colen. Colen lebih banyak digunakan karena bahannya melimpah, tidak harus membeli. Bahkan dalam bentuk mini colen bisa dibuat dari tangkai daun pepaya. Colen seperti ini biasanya jadi mainan anak-anak.

Sekalipun colen lazim digunakan untuk penerangan malam hari, tapi colen banyak dibuat dan digunakan saat bulan ramadhan. Colen dibuat untuk keperluan membangubkan sahur. Biasanya selain colen, anak-anak di era tahun 1980 ke bawah membuat bedug kecil yang ditabuh saat membangunkan sahur. Bahannya kaleng bekas tempat cat, minyak goreng, atau susu yang dibuat lubang pada bagian yang tertutup, kertas semen, dan karet gelang untuk mengikat kertas semen pada bibir kaleng. Supaya suaranya nyaring biasanya dilumuri sagu yang dicairkan. Untuk alat pemukulnya digunakan lidi yang diikatkan karet gelang pada ujungnnya.

Sejalan dengan perkembangan zaman dan pemerataan hasil pembangunan, dan listrik juga sudah masuk berbagai pelosok desa, colen atau obor sudah tidak digunakan lagi.

Jalan-jalan sudah terang, baik yang diterangi oleh warga dengan memasang lampu listrik di depan rumahnya, ataupun yang diterangi olah lampu umum (PJU). Yang memiliki lampu senter juga banyak. Ditambah lagi minyak tanah sudah langka di pasaran. Kalaupun ada, harganya lebih mahal dari pertalite, sekitar 12.000 / liter.

Obor atau colen digunakan untuk hari-hari tertentu saja, saat perayaan hari besar Islam. Acara tersebut acap kali mengadakan “pawai obor”. Selesai acara, obor buru-buru dimatikan karena dikhawatirkan bisa membakar benda di sekitarnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *