Calon Wagub DKI Perlu Uji Publik

Sebentar lagi DKI Jakarta akan punya wakil gubernur, proses pemilihan wakil gubernur DKI Jakarta akan berlangsung di DPRD. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 176 Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Namun, ada problem substantif yang patut dicari solusinya. Problem substantif itu adalah terkait logika demokrasi atau terkait logika pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI yang sebelumnya dipilih langsung oleh warga Jakarta dengan pasangan yang dikenal publik. Disinilah letak problem substantifnya, Reza Patria dan Nurmansyah lubis nanti tidak dipilih oleh rakyat. Oleh karenanya rakyat atau warga Jakarta sebagai pemilik sah demokrasi berhak mengetahui calon wakil gubernurnya.

Lalu, bagaimana caranya? Uji Publik. Setidaknya ada dua argumen substantif mengapa perlu uji publik calon wakil gubernur DKI.

Pertama, DPRD DKI perlu menangkap aspirasi uji publik ini sebagai cara anggota DPRD memenuhi hak konstitusional warganya, hak konstitusional konstituenya. Jadi tidak bertentangan dengan UU Nomor 10 tahun 2016 sebagai dasar pemilihan wakil gubernur.

Kedua, warga Jakarta perlu mengetahui calon wakil gubernurnya, baik secara personal maupun gagasannya. Cawagub DKI perlu diperkenalkan kepada publik dan perlu diuji dihadapan publik sebelum dipilih oleh DPRD, agar warga Jakarta mengetahui ide dan kapasitas sinerginya dengan gubernurnya.

Secara teknis seperti apa caranya uji publik? Tentu dasar operasionalnya perlu dimasukan dulu tentang syarat uji publik cawagub dalam tata tertib DPRD, diatur mekanismenya.

Secara sederhana uji publik cukup dilakukan dua hari. Hari pertama, perkenalkan detail sang calon wagub kepada publil sekaligus DPRD menjaring informasi dari warga Jakarta jika sang calon wagub tersebut tidak bermasalah atau bermasalah disertai dengan bukti buktinya.

Hari kedua, lakukan semacam dialog antara calon wakil gubernur DKI dengan warga Jakarta dan tokoh representasi warga Jakarta.

Setelah itu jeda satu hari untuk membiarkan publik Jakarta mencerna dan anggota DPRD DKI Jakarta berfikir. Hari berikutnya DPRD segera lakukan sidang paripurna untuk memilih siapa diantara dua calon wakil gubernur tersebut yang layak. Dengan cara ini, makna substantif demokrasi tidak ditelikung oleh pola-pola transaksional elit.

Salam
Ubedilah Badrun, analis sosial politik UNJ dan Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS)

Pos terkait