Belajar Agama dari Media Sosial

Suatu kesempatan sy mengutarakan kepada teman waktu di pesantren dulu, dan kini sedang kuliah Antropologi di Amerika tentang keinginan saya menjadi antropolog sekelas Martin van Bruinessen.

Dia menjawab bahwa saya harus kuliah di jurusan antropolgi. Tidak bisa otodidak. Sama dengan kita belajar agama Islam, harus ke pesantren atau ke kyai. Karena kalau belajar sendiri kita hanya sekedar tau dari buku teks. Sementara kalau ada gurunya kita akan dikasih tahu penyebab si pengarang menulis teori tersebut. Hal itu dimungkinkan karena sang guru punya referensi dan matra berfikir lebih luas lagi.

Bacaan Lainnya

Itu tentang ilmu antropologi yang termasuk ilmu sekuler, yang tidak ada kaitannya dengan dimensi hukum halal dan haram, serta ranah adi kodrati. Apalagi dengan ilmu-ilmu agama yang jelas-jelas kajiannya wilayah halal haram, baik buruk, dan persoalan adi kodrati, bimbingan seorang guru wajib adanya. Karena begitu pentingnya posisi guru dalam proses belajar, banyak ungkapan ulama bahwa orang yang belajar tanpa ada guru, maka gurunya adalah setan. Abu Yazid Al-Bistami seorang sufi ternama mengatakan :

من لم يكن استاذ فامامه الشيطان

“Siapa yang tidak punya guru, maka imamnya adalah setan”

Dalam redaksi yang berbeda Ismail Haqqi Al-Hanafi mengatakan :

من لم يكن له شيخ فشيخه الشيطان

“Siapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan”

Belajar tanpa guru haruslah dihindari, karena beberapa sebab :
Pertama, pada kajian ilmu-ilmu syari’at, seorang guru bisa menghindari seorang murid dari pemahaman yang keliru dab parsial terhadap sebuah teks keagamaan. Sebagai contoh teks hadits :

ان لله لا ينظر الى من جر ثوبه خيلاء

“Sesunghuhnya Allah SWT tidak mau melihat kepada orang yang memanjangkan pakaiannya karena sombong”

Teks hadits ini sering dipahami mentah-mentah tidak bolehnya laki-laki memakai celana atau sarung melewati mata kaki (isbal). Akibat pemahaman seperti ini banyak yang memakai celana cingkrang (panjangnya hanya sampai betis ke bawah sedikit). Padahal dalam hadits itu ada kata خيلاء artinya sambil merasa sombong. Mafhum mukholafahnya (logika terbaliknya) yang tidak sombong tidak apa-apa.
Hal lain, kalau kita merujuk kepada kitab Al Bidayah wan Nihayah, hadits itu berkaitan dg Qorun dan para pengikutnya yang berpakain secara berlebihan, panjang-panjang sampai menyapu jalanan.

Contoh lain adalah hadits :

من عمل عملا ليس عليه امرنا فهو رد
“Siapa yang beramal yang buka dari perkara kami maka ditolak”

Hadits ini biasanya dipakai untuk membid’ah-bid’ahkan amalan muslim lain, yang menurut pemikiran dan keyakinan dan ajarannya, tidak bersumber dari al Qur’an dan sunnah. Padahal hadits ini berkaitan dengan amalan Yahudi dan Nasrani. Hadits ini Ibnu Katsir gunakan ketika menafsirkan ayat 113 surat Al Baqoroh (Tafsir Al Qur’an Al Adzim : juz 1 : 194).

Kedua, yang berkaitan dengan ilmu hakikat. Ini lebih berbahaya lagi. Karena amalan-amalan spiritual berupa zikir bila tidak bersanad atau bersilsilah amalan itu bukan hanya tidak memiliki, tapi acap kali bisa mengganggu kesehatan batinnya. Amalan spiritual bila tidak ada gurunya, renonansi zikirannya itu bukan menuju Allah SWT dan dikawal oleh malaikat, tapi ditangkap oleh setan dan digunanakan untuk memperdayanya. Kita sering mendengar ungkapan seseorang “ngelmu” tapi tidak kuat. Hal itu maksudnya, orang tersebut mengamalkan zikiran tertentu yang didapatinya secara sembarang, dari buku yang dibacanya atau postingan di media sosial.

Hal yang pasti, dalam tradisi keilmuan dalam Islam, ilmu itu harus bersanad dan bersilsilah, ada struktur genealoginya dari tingkat yang paling bawah sampai kepada Rasulullah SAW. Di tingkat yang paling bawah itu adalah guru yang mengajarkan kita. Karena itu juga belajar harus kepada guru yang mu’tamad (yang ilmunya bisa dipertanggungjawabkan). Ukuran sederhana untuk kemu’tamadannya adalah guru itu tidak mengajar murid-muridnya secara sembunyi-sembunyi. Bila sembunyi-sembunyi, bisa jadi yang diajarkannya itu menyimpang dari silsilah ilmu yang menjadi main stream, atau gerakan sempalan.

Saat ini internet dan media sosial telah menjadi sumber informasi yang paling digandrungi orang karena mudah dan cepatnya. Media ini juga yang sering dijadikan rujukan orang untuk mengakses informasi seputar masalah agama. Bolehkah ? Sebatas pelengkap informasi media sosial dan internet bisa saja dijadikan sumber, tapi tidak bisa dijadikan sandaran informasi utama. Karena kita harus sadari keduanya sebatas memberikan informasi bukan memberikan pemahaman. Pemahaman tetap hanya mampu diberikan oleh guru.

Belajar agama dari internet dan medsos terkadang juga berbahaya. Karena informasi dari dunia maya sifatnya hanya sepotong berdasarkan selera, misi, dan misi pembuat konten. Ditambah lagi dengan framing yang menyesatkan. Banyak video yang isinya provokasi dan bahasan yang menyudutkan kelompok lain yang tidak sepaham. Inilah satu penyebab meningkatnya kasus kekerasan dan persekusi mengatasnamakan agama di era medsos ini.

Lalu ke mana kita belajar kepada guru dalam.arti fisik ? Guru formal ada di lembaga pendidikan formal dalam hal ini madrasah dengan tingkatan-tingkatannya. Guru non formal ada di pesantren. Dan guru informal ada di pengajian atau majlis ta’lim. Ke sinilah kita mestinya belajar. Rasullah SAW dalam banyak haditsnya mengungkapkan besarnya ganjaran orang yang menuntut ilmu dan hadir di majlis ilmu. Satu di antaranya adalah hadits yang menyatakan bahwa menuntut ilmu itu lebih utama dari pada solat sunnah 1000 rakaat. Atau hadits yang menyatakan bahwa orang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah SWT memudakan baginya jalan menuju surga.
Masa mau masuk surga pake internet ?

Wallahu a’lam bis showab

Oleh : Khairul Fahmi, Pengasuh MT DARUL ILMI Jakarta

Pos terkait