Persaingan sains dan agama masih jauh dari rampung dan tamat, kalau bukan abadi hingga kehidupan di atas bumi ini berakhir. Karena masing-masing (agama dan wahyu) boleh dikatakan berada dari jalur yang berbeda dan berasal dari metode atau epistemologi yang berbeda. Ini ibarat dua spesies. Benarkah begitu?
Bagi orang seperti Stephen Hawking, ya memang begitu. Tapi bagi ilmuan yang lain, agama dan sains bisa kok direkonsiliasikan. Malahan pada titik tertentu, ketika sains diarahkan untuk mencari dan mengetahui bagaimana dan siapakah di balik kompleksitas, keserasian, keseimbangan, dan keakuratan yang menakjubkan dari sistem penciptaan makro kosmos maupun mikro kosmos ini, tiba-tiba akal ilmiah manusia serasa dipandu menuju ketakjuban pada suatu yang Maha Ajaib dan Maha Besar, serasa memang nyata ada Yang Maha Berkehendak sekaligus Maha Mencipta, sekaligus Maha Mengatur. Tiba-tiba keterangan dari agama menampakkan relevansi dan otoritasnya, ketimbang sains yang masih saja berjuang mencari-cari bukti sembari menghindari keterangan spekulatif.
Persaingan otoritas sains dan agama diundang dan disalurkan oleh manusia sendiri yang secara alamiah senantiasa menuntut dan mencari kepastian jawaban atas berjuta masalah yang dihadapi manusia dalam hidupnya. Selama manusia hadir, selama itu pula ketidakpastian mengiringi kehidupannya.
Ketidakpastian merupakan sesuatu yang mencemaskan bagi manusia. Kecemasan atas ketidakpastian inilah yang memberi ruang dan panggung bagi persaingan pengaruh sains dan agama terhadap hati dan pikiran manusia. Semakin intelek seorang manusia, maka semakin kuat rasa penasarannya terkait bagaimana memecahkan ketidakpastian yang dihadapinya itu. Hanya saja, tidak banyak manusia rela menghabiskan waktu menyelidiki pemecahan terhadap masalah ketidakpastian ini. Beberapa pihak sengaja menggunakan dengan sembrono dan mentah-mentah, dalil agama sebagai penjelas dan penggiring jawaban atas masalah ketidakpastian yang senantiasa dihadapi oleh manusia.
Akibatnya, agama menjadi terlihat naif dan kekanak-kanakan. Malahan memang dengan sengaja agama dimanfaatkan untuk menjawab ketidakpastian itu guna meredam rentetan pertanyaan-pertanyaan alami dari manusia yang dianugerahkan kekuatan intelek. Sampai di sini, agama akibatnya jatuh menjadi alat pemuas yang tidak memuaskan intelek manusia, kecuali pada golongan manusia yang jenuh dengan ketidakpastian. Maka terbukalah jalan bagi orang yang memanfaatkan agama itu sebagai penjelas-mentah atas ketidakpastian yang dihadapi manusia, berupa lahan bisnis dan lahan politik berdasarkan agama dan memperalatkan agama guna menguasai dan menundukkan intelek manusia yang masih belum sempat berkembang dengan matang.
Hati-hati para ustadz dan ulama terkait hal ini. Janganlah gunakan doktrin dan dalil wahyu dengan mentah guna menundukkan mayoritas manusia.
Wahyu sebagai epistemologi Islam, hendaknya disadari sebagai suatu yang mahal dan tidak dengan royal dikeluarkan sebagai suatu jawaban atas jutaan ketidakpastian yang dihadapi manusia. Manakala intelek manusia masih bisa diandalkan sebagai penjawab ketidakpastian, mengapa tidak dilakukan? Namun bukan berarti intelek itu dibiarkan asing dan terpisah sama sekali dari visi dan sentuhan wahyu. Sebab, nantinya bisa berkembang menjadi sekularisme radikal.
Pengenalan intelek terhadap wahyu harus dikenalkan sedari usia dini, tapi tidak menjejali intelek itu bagaikan dokter menjejali pasien dengan obat generik. Biarkan intelek bersentuhan dan berkenalan dengan wahyu secara elegan dan penuh antusias, seperti intelek antusias mencari jawaban beragam misteri yang dihadapinya.
Syahrul Efendi Dasopang, Sekjen Ikatan Sarjana al-Qur’an Indonesia (ISQI)