Apa Untungnya Kembali ke UUD 1945?

Ternyata UUD 45 yg begitu pro rakyat masih pro dan kontra. Ada banyak yang senang dg UUD 2002 yang pro pengusaha dan terbukti merugikan rakyat. Ada yang kuatir masa jabatan Jokowi bertambah jika dilakukan segera.

Nah kalo paham akan resikonya, kenapa tidak cari solusi agar resiko tidak terjadi. Kembali ke UUD 45 resikonya masa jabatan Presiden bertambah panjang, tapi untungnya kedaulatan rakyat kembali lagi dan SDA semua dikuasai pemerintah. Tetap seperti sekarang UUD 2002 kedaulatan ditangan partai, uud pro oligarki, uu yang membuat rajyat tambah miskin dan Islamphobia ?

Nah kali ini kita bahas keuntungan finansial jika menggunakan UUD 45 pasal 33 yakni :

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) *Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara*.
(3) *Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat*.

Tambang merupakan Sumber Daya Alam, seluruh perusahaan dibidang ini harus dijadikan BUMN, keuntungan yang selama ini mengalir ke LN menjadi milik pemerintah dan berputar di DN.

Nikel:
Volume produksi nasional 800.000 ton, 2022. Harga Jual nikel 22.710 usd per ton.
Biaya produksi 15 usd/ton. Pendapatan kotor = 220.695 usd/ton atau 2.648 T per tahun.

Batubara :
Produksi nasional : 663.000.000 ton Harga jual sekitar USD 281,48/ton Pendapatan kotor, sekitar : 663.000.000 ton x 265 x 15.000 = 2.635 T Bandingkan saat ini pemasukan ke negara sekitar 165 T

Timah
Perkiraan produksi 2022 : 83,420.000 ton. Harga tertinggi 2022 US$49.500 per ton. Biaya Produksi $31,000 per ton, jadi pendapatan kotor 83.420 ton x 14.000 usd= 17 T

Minyak & Gas (SKK Migas)-2022
Pendapatan kotor : 288 T.

Hasil tambang lainnya, pasir besi, bijih bauksit, bijih tembaga, bijih emas, perak dan bijih mangan. Diperkirakan sekitar 200 T.

Disektor perkebunan, kelapa sawit misalnya, antara 400-500 T mengalir ke LN akibat 60% kepemilikan lahan sawit milik orang asing. Di HTI, peternakan, Perikanan, dll. Pendapatan diperkirakan > 500 T setiap tahunnya.

Sehingga total dari Tambang, Minyak , gas dan perkebunan/hutan/ikan berkisar 6.288 T. Jadi keuntungan kasar dg adanya Dekrit kembali ke UUD 45, bumn dapat meraup penghasilan minimal sekitar 6.288 T.

Seandainya dividen 30 % buat penerintah pusat, 10% .buat daerah pembaginya (Dalam Triyun) sbb :
Penerimaan non Pajak APBN : 1.886
Penerimaan non Pajak APBD. : 629
(Bandingkan Dividen 2023 cuma 49 T)

Sisanya yang 60% sbb :
1. Bonus Kary & Man. 15 %. : 943
2. Cad.& Investasi : 2.830
Total. : 3.773

Uang sebanyak itu, baik yg menjadi dividen dan bukan, seluruhnya ada di Dalam negeri, berputar di DN, sehingga roda ekonomi berputar lebih cepat. Kalaupun ada dana utk belanja modal berupa mesin & peralatan dari LN, jumlahnya sangat kecil. Kalkulasi diatas dapat dicapai Syaratnya harus kembali ke UUD 45. Pertanyaannya kenapa bisa ? Dan selama ini uangnya kemana ? Silahkan jawab masing masing.

Dampak positip buat rakyat pribumi adalah tidak perlu bayar PBB, PPn, listrik, air, kesehatan, pendidikan dan berbagai pajak/retribusi yang mencekik lainnya. Dengan demikian 70% kontribusi pajak di APBN, bisa ditekan menjadi maksimal 40% saja. Ini merupakan komposisi ideal struktur biaya APBN.

Dividen saat ini mengandalkan bank, sulit diterima akal sehat. Itupun bunga bank untuk pengusaha besar sekitar 8 % dan untuk pengusaha kecil 14%. Bank ini seolah mensuport pengusaha besar yang umumnya non pri dan menekan UKM yg umumnya pribumi. Artinya rakyat kecil juga yang diminta menyumbang pengusaha besar.

Nah kenapa jadi takut kembali ke UUD 45 ? Baik penguasa maupun oposisi seluruhnya diuntungkan , baik secara politis kaupun finansial.
Yang merugi adalah perusahaan asing dan konglomerat yang selama ini meraup banyak keuntungan serta para koruptor. Nasionalisasi perusahaan asing adalah keharusan, tapi jangan sampai merugikan mereka. Untuk itu modal investasi mereka harus dikembalikan dalam kurun waktu tertentu.

Bandung, 5 Jaunari 2023

Oleh: Memet Hakim, Pengamat Sosial dan Ketua Wanhat APIB

Pos terkait