Beda Nasib KTT G20 dan Demokrasi

Kenferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 resmi ditutup, hajatan yang berlangsung dua hari ini menyita perhatian publik, bukan hanya di Indonesia tapi juga masyarakat internasional. Setelah melalui dinamika yang alot KTT G20 berhasil merumuskan pernyataan para pemimpin yang diberi istilah Bali Leaders Declaration, sebuah dokumen penting yang berisi 52 poin.

Beberapa poin yang disepakati diantaranya urgensi menegakkan hukum internasional dan sistem multilateral, mengupayakan ketahanan pangan dan energi, menangani krisis ekonomi melalui kebijakan makro internasional, serta mengadopsi teknologi digital untuk mendorong tumbuhnya inovasi. Di bagian ini KTT G20 nampak menuai keberhasilan dalam batas tertentu.

Bacaan Lainnya

Di balik gemerlap penyelenggaraan KTT G20, ternyata tersimpan noda yang cukup menciderai demokrasi, noda tersebut adalah pembatasan yang berlebihan terhadap partisipasi publik, tidak sedikit kelompok masyarakat sipil yang berusaha menyuarakan kritik terhadap G20 justru mengalami intimidasi, intimidasi ini dilakukan oleh aparat yang merupakan perpanjangan tangan negara.

Kondisi ini sangat disayangkan, G20 diperlakukan seolah sebagai forum yang anti kritik, pernyataan kritis terhadap G20 dipersepsikan seolah sebuah ancaman terhadap harkat dan martabat negara, tentu hal ini keliru. Rasanya tidak pas membanggakan keberhasilan penyelenggaraan KTT G20 bila pada saat yang sama kebebasan berpendapat sebagai elemen penting demokrasi justru mengalami penekanan.

Ada contoh kasus yang menjadi bukti bahwa mereka yang bersuara kritis terhadap KTT G20 mengalami intimidasi. Misalnya yang dialami anggota Greenpeace Indonesia, mereka mengaku mendapat intimidasi karena mengampanyekan pentingnya mengangkat isu krisis iklim di forum G20, padahal tindakan yang dilakukan Greenpeace Indonesia masih dalam koridor kebebasan berpendapat.

Pada saat yang sama Komnas HAM menerima laporan beberapa mahasiswa di NTB ditangkap hanya karena mereka melakukan kritik dalam bentuk protes terhadap penyelenggaraan G20. Sebuah diskusi publik yang mempertanyakan manfaat yang didapatkan masyarakat Bali dari G20 juga pernah terancam dibubarkan, walaupun pada akhirnya berhasil dilaksanakan, diskusi ini berlangsung di Kampus Universitas Udayana.

Beberapa contoh kasus ini cukup menjadi pengingat bagi kita semua bahwa demokrasi masih sering dikorbankan ketika diperhadapkan dengan kepentingan komunitas elit.

KTT G20 merupakan hajatan Akbar yang hanya diikuti oleh negara paling berkembang dan maju di dunia, tentu merupakan prestasi tersendiri bila Indonesia yang memegang presidensi (keketuaan) G20 berhasil menyelenggarakan agenda tersebut, itu merupakan hal positif untuk bangsa ini.

Namun pada saat yang sama kita juga mesti membangun kesepahaman bersama bahwa tidak ada perkembangan dan kemajuan tanpa disertai dengan perkembangan dan kemajuan demokrasi secara subtantif, bukan prosedural.

Penulis: Zaenal Abidin Riam, Pengamat Kebijakan Publik/Koordinator Presidium Demokrasiana Institute

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *