Mikson Yapanto, Sang Penegak Lingkungan Yang Tersandung Klarifikasi Massal

Oleh : Masuri, S.H.,M.H

(Sebuah Pembelaan Ilmiah Berbumbu Komedi Ironi terhadap Drama Suwawa Raya)

Dalam dunia politik lokal, kejadian kadang bergerak lebih cepat daripada sinetron prime time. Namun, dari sekian banyak drama daerah, episode Mikson Yapanto diserbu penambang di Kantor Nasdem adalah salah satu yang berhasil memadukan unsur komedi, tragedi, satir, dan klarifikasi berlapis-lapis dalam satu babak.

Sebagai Ketua Komisi II DPRD Provinsi Gorontalo, Mikson sejatinya sedang menjalankan fungsi pengawasan—sebuah tugas konstitusional yang sah, legal, logis, dan (tentu saja) tidak termasuk paket “bonus kerah baju ditarik”. Namun, realitas lapangan berkata lain. Niat suci bertemu interpretasi ultra-kreatif para penambang. Lahirlah ketegangan dramaturgis ini.

Mikson Yapanto: Antara Idealitas Regulasi dan Realitas Gerombolan Klarifikasi

Sidak Mikson terhadap aktivitas pengolahan emas yang diduga ilegal jelas berada di jalur hukum yang lurus—bahkan terlalu lurus untuk jalanan pertambangan yang penuh tikungan etis. Secara normatif, seorang legislator wajib memastikan eksploitasi sumber daya alam tidak melanggar aturan. Namun, dalam versi lokal implementasi hukum, idealisme kadang dianggap ancaman bagi stabilitas pendapatan harian.

Ketika Mikson turun sidak, ia mungkin membayangkan mendapati alat uji kadar emas, tidak menduga akan mendapat “uji mental” versi lapangan: tatapan tajam, nada meningkat, hingga narasi nyaris-diculik. Sebuah pengalaman empiris yang tidak tercantum dalam SOP DPRD mana pun.

Kris Wartabone dan Seni Berbahasa: Antara Klarifikasi, Diplomasi, dan Eufemisme Tingkat Tinggi

Lalu hadirlah Kris Wartabone, pahlawan public relations versi Suwawa. Dengan keanggunan retorika, Kris menyebut insiden itu bukan penyerbuan, bukan pula pengeroyokan, melainkan hanya sebuah upaya “meminta klarifikasi”.

Istilah ini pantas masuk kamus terbaru:

Klarifikasi: Kegiatan kolektif yang kadang melibatkan volume suara tinggi, gerakan tangan ekspresif, dan efek samping berupa kerah baju melar.

Jika Aristoteles masih hidup, mungkin ia menulis bab baru tentang “logika klarifikasi” dalam Rhetorica. Tapi, bagi masyarakat umum, peristiwa itu lebih mirip konvoi protes spontan yang kebetulan parkir di halaman kantor partai.

III. Penambang Suwawa: Ketika Partisipasi Demokrasi Menjelma Kerumunan Tiba-Tiba

Para penambang mengaku ingin berdialog. Namun, dialog yang dimulai dengan mengelilingi seorang pejabat memiliki gestur yang secara semiotik sulit dibedakan dengan intimidasi ringan. Secara sosiologis, fenomena ini menarik: sebuah komunitas ekonomi melakukan “respons emosional kolektif” terhadap pengawasan negara.

Secara humoris, kejadian itu mirip adegan film laga:

Mikson: datang sidak

Penambang: datang balik

Negara: buffering

Publik: scrolling berita sambil geleng-geleng

Dalam perspektif regulasi lingkungan, respons seperti ini tentu memperlihatkan kesenjangan pemahaman antara hukum formal dan hukum versi masyarakat lapangan yang sangat… fleksibel.

Pembelaan untuk Mikson: Bukan Lemah, Bukan Salah, Hanya Terlalu Percaya bahwa Hukum Itu Tegak

Mari jujur: Mikson hanyalah seorang politisi yang menjalankan tugasnya. Ia tidak salah memilih jalur hukum; ia hanya salah memperkirakan sensitivitas mereka yang sedang diperiksa. Dalam sistem demokrasi yang seharusnya rasional, ia malah ditarik ke dalam arena klarifikasi fisik.

Jika ia kemudian dikabarkan meminta maaf, mungkin bukan karena ia bersalah, tetapi karena ia sadar bahwa:

Berhadapan dengan penambang yang emosional kadang lebih rumit daripada menafsirkan tiga versi pasal dalam satu UU Minerba.

Dalam analisis ilmiah bercita rasa komedi, Mikson berhak didukung. Ia tidak menyerang siapa pun. Tidak membawa massa. Tidak menggeruduk kantor siapa pun. Ia hanya membawa niat baik sesuatu yang tampaknya kurang laku di pasar konflik tambang.

Penutup: Siapa Sebenarnya yang Patut Meminta Maaf?

Ironi terbesar dari peristiwa ini adalah bahwa pelaksana sidak justru berakhir sebagai pihak yang harus menjelaskan diri, sementara mereka yang disidak malah tampil sebagai pihak yang menuntut klarifikasi.

Dalam dunia hukum, ini disebut pembalikan logika wacana.

Dalam dunia komedi, ini disebut punchline.

Dalam dunia politik lokal? Biasa saja.

Mikson bukan penjahat.

Mikson bukan provokator.

Ia hanya menjadi korban dari situasi absurd ketika menegakkan aturan dianggap mengusik rutinitas ekonomi.

Pada akhirnya, jika ada pelajaran dari drama ini, maka pelajaran itu sederhana:

Kadang hukum itu tegak, kadang hukum itu lentur, tetapi dalam kasus Mikson, hukum itu… melar. Sama seperti kerah bajunya.

#BelaMikson #DramaSuwawa #SidakYangDisidakBalik #HukumMelar #KrisWartaboneEffect #PenambangKlarifikasiMassal #PolitikGorontalo #SatirIlmiah

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *