Seandainya prestasi Jokowi bisa sama dengan SBY, atau rata-rata peningkatan 1,4 poin pertahun, maka seharusnya Indonesia akan mempunyai Indeks di atas rata-rata dunia, yakni 45,2, pada tahun lalu. Sayangnya, persoalan korupsi semakin merajalela.
Sebab utama yang bersifat struktural atas merajalelanya korupsi adalah pengebirian KPK. KPK meskipun saat ini tetap diapresiasi, namun dianggap tidak lagi mempunyai tingkat “kesucian” dan sakral yang sama seperti awalnya dulu. KPK yang semula dibentuk sebagai lembaga “extra ordinary”, yang sejajar dengan pemerintah, akhirnya dikontrol oleh pemerintah melalui revisi UU KPK 2019.
Misalnya, dalam kasus laporan Ubeidillah Badrun pada kasus anak Jokowi yang di drop KPK dari kasus yang layak ditindak lanjuti, serta, kasus Formula-E yang dianggap akan mentersangkakan Anies Baswedan, terjadi kecurigaan bahwa KPK mengalami intervensi dari kekuasaan.
Selanjutnya, KPK juga tidak lagi menjadi lembaga yang mengkordinasikan Kejaksaan Agung dan Kepolisian dalam penanganan kasus korupsi. Dalam skandal minyak goreng, yang melibatkan pejabat negara dan kerugian (penderitaan) rakyat yang begitu besar, tahun ini, kepolisian dan kejaksaan agung malah terkesan “adu cepat” merespon kasus ini. Sedangkan KPK tidak terlibat didalamnya.
Sebab kedua adalah hilangnya keteladanan pemimpin. Langkah berani Jokowi menyingkirkan Budi Gunawan (BG) di awal berkuasa, memperlihatkan kesan spirit anti korupsi yang tinggi. Tapi langkah ini menjadi diragukan karena tujuan menyingkirkan BG bisa jadi bukan utamanya untuk pemerintahan bersih, karena tuduhannya BG terlibat korupsi (rekening gendut), melainkan Jokowi mungkin sekedar memperalat KPK untuk kepentingannya sendiri.
Sebab, BG kemudian menang di pengadilan dalam membersihkan nama baiknya dan Jokowi kemudian memberikan jabatan kepala BIN kepada BG. Semakin lama Jokowi berkuasa, memasuki tahun ke -9 sebentar lagi, keteladanan Jokowi semakin dipertanyakan. Jokowi terlihat membangun dinasti dan kongsi politik yang sarat dengan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Misalnya, selain perkawinan anak Jokowi baru-baru ini yang terkesan super mewah, ketika rakyat kesulitan makan.
Kemudian anak Jokowi lainnya, Walikota Solo, mendapat previlage berhubungan langsung dengan Raja negara berdaulat Uni Emirat Arab, Mohammad Bin Zayed, untuk urusan uang ratusan milyar rupiah, yang banyak diberitakan saat ini (lihat: regional.kompas.com/read/2022/12/23/110218178/dapat-izin-dari-kemendagri-gibran-berangkat-ke-uea-tanggal-25-desember-2022?page=2). Bukankah itu seharusnya dilakukan dalam hubungan bilateral kedua negara?
Sebab ketiga adalah hilangnya ideologi. Selama pemerintahan SBY, yang mampu meningkatkan indeks persepsi korupsi begitu besar, SBY mengadopsi demokrasi ala barat di Indonesia, secara konsisten. Dia mengadopsi ideologi liberal. SBY memperkuat kontrol sosial untuk mengawasi pemerintah. Di era Jokowi, pembungkaman atas kontrol sosial dilakukan dengan masif, termasuk pemenjaraan aktifis pro demokrasi dan ulama.
Namun, berbeda dengan di China era Mao Ze Dong, maupun kisah Umar Bin Khattab, yang saya singgung di awal, rezim Jokowi berjalan tanpa ideologi. Selain itu, bahkan kebanyakan lingkungan penguasa disekitar Jokowi adalah pebisnis. Cara pandang pebisnis terhadap negara sangat berbeda dengan politisi yang tumbuh sebagai kader-kader ideologi. Rizal Ramli, yang mempopulerkan istilah Peng-Peng (Penguasa-Pengusaha), menunjukkan bahwa penguasa dan sekaligus pengusaha membuat negara tersandera pada kepentingan keuntungan pengusaha itu, bukan untuk rakyat.
Lalu apa yang menjadi kekhususan pembicaraan kita untuk tahun depan? Tahun depan adalah tahun politik. Kekuasaan dan segala sumberdaya berpotensi dibelokkan untuk kepentingan yang berkuasa. Apalagi kita sudah bahas situasi saat ini yang tanpa kontrol sosial. Kita harus bekerja keras untuk pemberantasan korupsi. Pertama, kita harus mempropagandakan dibubarkannya “Peng-Peng”, pengusaha yang sekaligus menjadi penguasa. Orang-orang bisnis harus meninggalkan bisnisnya secara total jika terjun ke politik. Begitu juga keluarga inti harus bebas dari bisnis. Tidak ada lagi penguasa yang pengusaha sekaligus.
Kedua, kita harus mendorong ideologi politik ke depan yang berbasis nilai nilai sakral. Ideologi itu akan mengontrol pemerintahan agar berbasis nilai-nilai, di mana keberhasilan seorang ditentukan oleh kontribusinya pada “public goods” dan kehidupan sosial. Negara harus berfungsi sosial dan untuk kebaikan. Olehkarena itu, eksistensi pemerintahan bersih menjadi mutlak.
Ketiga, mengembalikan KPK pada fungsi awalnya. Yakni sebagai institusi “extra ordinary” dalam pemberantasan korupsi dan independen.
Keempat, keteladanan pemimpin harus terjadi. Pemimpin yang bersih harus diperjuangkan. Budaya anti korupsi hanya bisa dimulai jika pemimpinnya anti korupsi. Presiden harus bebas korupsi dan kabinet harus bebas korupsi, itu cita-cita kita tahun 2024. Tahun 2023 adalah tahun penentuan nasib bangsa. Bangkit atau punah.