7 Tantangan Besar RI 2023: Kepemimpinan Ideal

Catatan Akhir Tahun

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

Seri ke-3

Setelah membahas persoalan demokrasi dan ketimpangan sosial, dalam serial pertama dan kedua, sekarang saya membahas serial ke -3, kepemimpinan ideal.

Tahun depan persoalan menemukan pemimpin ideal bagi Bangsa Indonesia memasuki babak krusial. Semua elit negara, baik oligarki, pimpinan parpol, presiden, ormas dan lain sebagainya, bahkan mungkin kekuatan global yang berkepentingan di Indonesia, akan sibuk berkolaborasi, berkonspirasi, berkompetisi dan lainnya untuk menentukan siapa calon pemipin Indonesia berikutnya, khususnya presiden 2024. Tantangan ini adalah tantangan besar, karena kita mencari pemimpin untuk 280 juta rakyat, di mana rakyat harus menjadi subjek bukan objek dari “permainan” ini.

Rakyat Indonesia telah terlalu lelah dengan situasi ketidakpastian masa depan bangsa dan masa depan dirinya sendiri akibat berbagai situasi yang “unpredictable” dan berbagai kekerasan sosial dan kekerasan mencari nafkah saat ini.

Dengan menemukan pemimpin yang adil, maka perjalanan hidup bersama sebagai sebuah bangsa, setidaknya akan mengikuti pepatah “Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh” dan “Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing”.

Indonesia telah menggoreskan nama salah seorang pemimpinnya, Sukarno, dalam ensiklopedia tertua dunia, Britannica (britannica.com/browse/World-Leaders) . Meskipun ensiklopedia ini memuat Sukarno dalam sub-katagori “Dictators”, bersama Adolf Hitler, Mussolini, Josep Stalin dan para diktator lainnya, setidaknya sejarah mencatat keberhasilan kita mempunyai pemimpin kelas dunia.

Soal diktator adalah bagian sejarah yang perlu dipelajari, mengapa terjadi? Namun, di luar fase diktatorship, Sukarno telah menunjukkan kepemimpinan yang teruji sepanjang hidupnya mengurus Indonesia dan rakyatnya untuk maju. Sukarno tidak pernah membuat kepentingan nasional (national interest) menajadi kepentingan pribadi, apalagi memperkaya keluarga atau membuat anak-anaknya seperti “prince/princess.

Kepemimpinan adalah tentang pemimpin, tentang seni memimpin, tentang orang yang dipimpinnya serta situasi dimana kepemimpinan itu berlangsung. Namun, kita di sini membicarakan soal kepemimpinan bangsa, bukan perusahaan. Tentang bangsa berarti membicarakan rakyat, yang tidak bisa dikuantifikasi dengan angka-angka keuntungan, seperti dalam perusahaan.

Oleh karenanya, seorang pemimpin itu harus mempunyai “world view” kebangsaan. Soekarno mempunyai itu. Soekarno telah merumuskan Indonesia itu apa. Tentu rumusan ini merupakan pekerjaan kolektif para pendiri bangsa. Saya hanya menyederhanakan saja.

Menurut Soekarno Indonesia adalah bangsa kulit “Sawo Matang”; dalam kesempatan lainnya dia menyebut Indonesia anti-Riba (lihat Pledoi “Indonesia Menggugat” bagian pendirian PNI, di mana Sukarno menyebutkan cita-citanya anti riba); Indonesia adalah nosionalisme plus Islamisme (agama) dan Komunisme ; Indonesia adalah semua wilayah eks jajahan Belanda; Indonesia adalah anti imperialism dan kapitalisme; dan mungkin ada beberapa lainnya.

Berbeda dengan Sukarno, Adolf Hitler focus pada “folk” (Volk) yaitu tentang ras Jerman. Pada masa itu ahli-ahli Biologi banyak yang mengeluarkan teori tentang keunggulan ras. Hitler meyakini bahwa Bangsa Jerman adalah ras unggul dan ras mulia yaitu Ras Arya. Ras ini tidak boleh bercampur dengan ras lainnya, khususnya Jahudi di sana pada era itu.

Soekarno dan Hitler adalah contoh dua pemimpin yang memahami siapa yang dia akan pimpin. Mungkin tidak semua pemimpin dunia, kalau kita tidak ingin menyebutkan hanya segelintir, yang memikirkan bangsanya ketika menjadi kepala negara atau raja. Tapi, jika kita membahas tentang pemimpin yang adil, di mana kepentingan nasional menjadi fokus seorang pemimpin, maka kunci utamanya adalah pemahaman atas bangsanya menjadi nomer satu.

Selanjutnya di halaman berikutnya:

Pos terkait