Menyelamatkan demokrasi dalam kaitan kepastian pemilu merupakan keharusan bagi Indonesia yang kultur feodalisme masih berakar kuat pada budaya masyarakat kita. Kultur ini cenderung memberikan ruang pada pengkultusan individu pemimpin dan pada akhirnya membuka peluang munculnya tiran dalam kepemimpinan negara.
Kita sudah menyaksikan Sukarno dan Suharto menjadi presiden yang menjelma menjadi tiran, dengan menyatakan diri sebagai “bapak” rakyat dan bapak pembangunan, dan atas legitimasi itu, kemudian menyingkirkan lawan-lawan politiknya secara kejam.
Fenomena pengkultusan akan terus berulang jika pembatasan masa jabatan presiden ini tidak dilakukan. Misalnya yang terbaru, kita melihat berbagai media memberitakan pernyataan Ketua Umum Projo, relawan pendukung Jokowi, yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia Timur mendukung Jokowi jadi presiden seumur hidup.
Pernyataan ini bahkan terjadi Ketika Jokowi baru-baru ini sudah memberikan pengarahan terkait pemilu kepada KPU dan Bawaslu, pernyataan Menkopolhukan terkait kepastian jadwal pemilu di hadapan CEO Forum di istana dan bahkan Ketika Sri Mulyani merilis berita negara telah memberikan rumah bagi Jokowi sebagai hadiah purna presiden nantinya 2024.
Feodalisme bukan saja terjadi karena sang presiden, tapi juga sangat dipengaruhi kepentingan pribadi orang-orang disikitarnya, serta tentu para penjilat. Selain mencegah feodalisme dan neo-feodalisme (keinginan diakui seperti raja baru), demokrasi sesungguhnya merupakan warisan mayoritas wilayah-wilayah Indonesia ketika masa kolonial. Meskipun demokrasi di sini lebih bercorak pada ajaran Islam yang mengharamkan pengkultusan individu dan juga bercorak egalitarian.
Dalam kaitan parlemen, kita sudah menyaksikan dalam era kepemimpinan Jokowi mayoritas anggota DPR bekerjasama dengan pemerintah, jika tidak ingin disebutkan “di bawah ketiak pemerintah” dalam pembuatan UU yang krusial bagi nasib negara dan rakyat, seperti UU Omnibus Law Ketenagakerjaan, UU Minerba, UU KPK, UU Pemilu, UU KUHP, dan banyak lainnya.
Umpamanya, UU OBL Ketenagakerjaan yang amburadul, dikerjakan dalam waktu singkat, menunjukkan DPR tidak pernah serius melihat titik-titik lemah UU tersebut. Faktanya, UU itu kemudian dinyatakan melanggar konsitusi UUD’45 oleh MK. Padahal, rakyat semesta telah melakukan aksi protes dengan skala besar-besaran untuk menolak sejak awalnya.
Demikian pula UU Pemilu yang begitu buruk, yakni menyangkut pembatasan PT 20% (Presidential Threshold) yang terlalu tinggi, serta pilpres yang ditentukan oleh suara rakyat yang pemilihnya di masa 5 tahun lalu.
Di seluruh dunia, pemilihan umum justru diperlukan untuk mengetahui keinginan rakyatnya menentukan presiden bersifat langsung dan kekinian, bukan seperti di sini, penentuan presiden ditentukan oleh suara pembentuk PT 20% dari pemilih Jokowi dan Prabowo dulu.
Revisi DPR terhadap UU KPK juga telah terbukti menghancurkan kemampuan KPK memberantas korupsi dan semakin kurang berwibawanya negara melawan koruptor saat ini. Kita melihat fenomena terakhir ini ketika Luhut Binsar Panjaitan, yang didukung Mahfud MD, untuk memberi toleransi bagi praktik korupsi, dengan alasan ini hidup di dunia bukan di surga.
Terakhir kita melihat DPR telah mensahkan UU KUHP yang, menurut istilah Margarito Kamis, ahli hukum tatanegara, telah mundur dalam peradaban 200 tahun silam. UU KUHP ini bahkan dikecam oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sebanyak 7 pasalnya dan juga oleh negara pro-demokrasi lainnya, seperti Amerika.
Setidaknya terdapat pasal-pasal penghinaan terhadap presiden dan jajaran pejabat negara, yang tadinya sudah dihilangkan sejak reformasi. Kemudian juga ada pasal-pasal yang menyulitkan kebebasan berpendapat dan penegakan HAM, serta pasal perzinaan yang kurang akomodatif pada hukum Islam, dapat menjerat para ulama/kiai yang sedang menjalankan syiar Islam dengan kawin berdasarkan agama saja.
Menyelamatkan demokrasi ke depan setidaknya adalah menyelamatkan pemilu, mencari kepemimpinan bangsa yang baik, presiden dan legislative, menegakkan sistem “check and balance” dalam menjalankan roda negara dan mendorong adanya kebebasan sipil dalam bersyarikat dan berpendapat. Demokrasi juga adalah sebuah kepemimpinan yang menghormati pemimpinnya, namun memastikan tidak adanya feodalisme kepemimpinan yang menjadikan pemimpin sebagai “Man Can Do No Wrong”.
Untuk itu seluruh kekuatan rakyat, baik institusi politik maupun kalangan kampus dan organisasi masyarakat harus menekan pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk tunduk pada agenda dan skedul yang ada, yakni pemilu 2024, dan menorong terwujudnya pemilu yang bersih dari ”money politics” serta bebas dari kecurangan aparatur negara. []