Oleh: Syahrul Efendi Dasopang, Direktur The Indonesian Reform Institute
Indonesia adalah salah satu contoh nyata dimana negara kehilangan kredibilitas dan kepercayaan masyarakat akan kemampuannya memberikan jaminan rasa aman bagi penduduknya dari ancaman wabah corona.
Selagi masyarakat menuntut negara memberikan pelayanan maksimalnya, bukan pelayanan dan aksi simpatiknya yang diterima, malahan negara mengambil kesempatan untuk menikmati keuntungan dari situasi. Di antara contohnya adalah dugaan skandal staf milenial presiden yang diduga melakukan tindakan korup dengan memanfaatkan situasi guna keuntungan bisnis korporasi yang dimilikinya. Singkatnya, mengambil kesempatan di dalam kesempitan.
Sebetulnya hal semacam itu bukan pertama kali terjadi dan tipikal. Semua lengan negara memang melakukan tindakan mengambil keuntungan finansial dari ketidakberdayaan masyarakat. Selian itu para aktor negara memanfaatkan situasi untuk meraup popularitas kapan pun ketika dia mau.
Lihatlah saat isu corona ini membetot perhatian publik. Pendeknya demikianlah negara yang dibangun dengan struktur trias politika, legitimasinya via sistem parlementer, dan sifat negara nasional melampaui etnik dan komunitas.
Tetapi dengan hadirnya serangan wabah corona ini, negara dengan sifat semacam hal di atas menjadi tidak relevan dan kehilangan kredibilitas dan otoritasnya di mata masyarakat. Maka sudah barang tentu, masyarakat memerlukan sifat dan rancang bangun negara yang menguntungkan dan kredible bagi masyarakat saat ini dan akan datang.
Sejak lama perdebatan telah dimulai apakah nantinya Indonesia lebih tepat dengan sistem parlementer atau soviet. Kedua sistem ini berbeda di dalam menyediakan saluran untuk berkuasa. Parlementer mengakibatkan hadirnya partai-partai sebagai peserta pemilu. Adapun soviet, perwakilan berjenjang dari bawah hingga ke puncak layaknya suatu organisasi tunggal.
Ide ini telah dilemparkan oleh Tan Malaka pada awal-awal abad 20 yang silam. Namun dalam perkembangannya, ide parlementerlah akhirnya yang diadopsi oleh Indonesia, negara baru yang hadir selepas perang dunia kedua.
Sekarang di tengah makin tersusunnya masyarakat ke dalam suatu komunitas-komunitas beragam dasar dan ikatan yang ditunjang oleh infrastruktur teknologi komunikasi yang makin efesien dan efektif, sistem parlementer yang melahirkan kondisi korup trias politica, tampaknya perlu dievaluasi dan dicarikan pengganti sistemnya.
Sangat tidak masuk akal dan rugi sekali jika suatu sistem kenegaraan masih tetap dipertahankan mati-matian, padahal terbukti nyata sistem ini menternakkan aktor-aktor korup baru dan menyediakan lubang-lubang yang menganga di sana sini untuk dimasuki para pengambil keuntungan dari sistem kekuasaan yang tersedia.
Sedangkan rakyat hanya bisa bengong menyaksikan dan lumpuh untuk bertindak mengoreksi, akibat sistem penyaluran aspirasi yang terkunci dan tidak fungsional. Kedudukan rakyat sekedar aksesoris dan stempel demokratis belaka bagi para petualang kekuasaan.
Oleh karena itu, dari wabah corona ini dengan terkuaknya dugaan praktik korupsi dan saling bersaing antar petualang kekuasaan politik, sudah waktunya dicarikan alternatif dari sistem negara yang ada, mengingat sudah terbukti sistem parlementer ini tidak kredibel dan gagal memuaskan rakyat.
Salah satu alternatifnya ialah membuang sistem parlementer yang sangat mahal dan mubazzir. Sebab dengan sistem parlementer, muncullah kekuasaan oligarki partai dan orang-orang kaya berkuasa yang menjelma kerajaan-kerajaan bayangan di dalam menguasai semua sumber finansial dan politik negara.
Lebih baik negara dibangun bersifat representasi proporsional secara langsung. Partai-partai, karena sistem parlementer ditiadakan, maka harus bubar. Pemilu dan pilpres yang bikin onar dan rusak hubungan sosial, bahkan mengambil banyak nyawa layaknya wabah corona, dihilangkan bersama sistem parlementer itu.
Kekuasaan politik didasarkan pada susunan masyarakat yang tersedia yang diatur sedemikian rupa secara representatif, seimbang dan proporsional. Tidak boleh ada tirani minoritas seperti yang dirasakan saat ini, hanya karena memiliki akses terhadap politik dan kapital.
~ SED