UKB Bantah Isu Prodi Palsu, Hidayat: Rektor Jangan Playing Victim

Palembang – Ketua Tim Advokasi AMUNISI Muhammad Hidayat Arifin menjelaskan alasannya bersama dengan Kliennya Kurnia Saleh melaporkan adanya dugaan pemalsuan SK Kemendikbud ristek dalam pembukaan program studi baru ke Polda Sumsel.

Menurutnya SK Menteri yang diduga palsu tersebut tak hanya dapat merugikan institusi Kemendikbudristek namun juga masyarakat umum. Oleh karena itu, Hidayat menghimbau kepada masyarakat untuk lebih waspada dan berhati-hati terhadap kemungkinan adanya praktek-praktek prodi ilegal di lingkuangan Perguruan Tinggi.

“Apabila masyarakat ingin daftar kuliah di Perguruan Tinggi dimanapun, agar lebih yakin mulai sekarang harus double chek untuk mengetahui apakah prodi-nya resmi atau ilegal, jangan sampai kena “Prank” dulu baru mau lapor polisi, kan repot,” imbuh Hidayat dalam keterangan persnya, Minggu (8/10/23).

Dia menjelaskan, Pengacara UKB Darmadi Djufri terindikasi berusaha membentuk opini bahwa Buk Rektor adalah korban.

Kalau Buk Rektor korban terus pelakunya siapa ? “tanya Hidayat.

Lebih lanjut, Penasihat Hukum UKB Darmadi Djufri menerangkan bahwa ibu rektor tidak memiliki kewenangan mengeluarkan SK. Terang Hidayat, inilah yang dinamakan logical fallacy, yang kita persoalkan bukan SK Rektor, tapi SK Menteri yang diduga palsu yang digunakan Rektor.

Biar gak misleading, wajib kita berpedoman pada Surat Ederan Menristekdikti untuk mengetahui bagaimana prosedur melakukan pembukaan prodi sebagai penambahan jumlah prodi pada Perguruan Tinggi yeng telah berdiri.

Jelas Hidayat, Pemimpin Perguruan Tinggi atau Badan Penyelenggara terlebih dahulu meminta rekomendasi L2dikti sesuai jenis usul, setelah mendapatkan rekomendasi dari L2dikti, kemudian Pemimpin Perguruan Tinggi atau Badan Penyelenggara tersebut menyiapkan dan menyusun dokumen sesuai jenis usul untuk dilakukan verifikasi dokumen oleh Tim Evaluator yang ditugaskan oleh Direktur Jenderal Kelembagaan IPTEK dan Dikti, yang kemudian pada tahap akhir setelah menerima dan mempertimbangkan rekomendasi tentang izin sesuai jenis usul dari Tim Evaluator, Direktur Jenderal Kelembagaan IPTEK dan Dikti mengajukan usul tertulis penerbitan izin sesuai usul setelah memenuhi akreditasi minimun kepada Menteri. Kemudian menteri menetapkan izin sesuai jenis usul, yang akan diberitahu kepada pengusul secara online.

Lanjut Hidayat, setelah mendapat penetapan Menteri tersebut barulah Perguruan Tinggi tersebut dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi pada program studi (prodi) yang diizinkan.

“Secara gamblang dapat kita lihat dari prosedur yang telah ditetapkan oleh Menristekdikti. Tidak perlu dianalisa cukup dibaca dan sedikit dipahami dengan pikiran dan hati yang terbuka biar gak cacat logika,” sindir Hidayat.

Pertama, tidak dibenarkan menggunakan pihak “tertentu” jika yang dimaksud adalah calo atau pihak eksternal dari Perguruan Tinggi dalam pengurusan pembukaan prodi tersebut, terkait pengurusannya hanya boleh dilakukan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi atau Badan Penyelenggara (Pihak Internal Perguruan Tinggi). Kedua, sedari awal diperlukan rekomendasi dari L2dikti untuk pembukaan prodi baru tersebut. Artinya, rasa-rasanya mustahil L2dikti I (satu) bulan setelah memberikan izin prodi baru tersebut baru memberitahu kepada pihak UKB kalau izin tersebut belum boleh digunakan karena sedang diverifikasi keabsahannya dan parahnya lagi belakangan baru diketahui bahwa izin tersebut bermasalah.

Sepertinya banyak kejanggalan, apa iya orang “tertentu” yang dimaksud rektor bisa bypass dalam membuat SK Menteri atau izin prodi baru tersebut tanpa mengantongi rekomendasi dari L2dikti ? Jika bisa bypass, berarti sejak dibuatkannya SK tersebut harusnya sudah diketahui bahwa SK tersebut cacat formil, kenapa tidak dipertanyakan atau dipermasalahkan oleh pihak L2dikti pada saat acara serah terima SK berlangsung ? apa bisa dikatakan L2dikti juga kena “prank” oleh orang “tertentu” yang dimaksud rektor. Apa iya UKB kampus besar dan ternama dan L2dikti Wilayah II sebagai perpanjangan tangan Kemendikbud ristek RI tidak paham teknis dan SOP pendirian prodi dilingkungan Perguruan Tinggi. Sepertinya terlalu naif kalau rektor memposisikan dirinya korban, jangan playing victim-lah.

“Karena itu bagi kami “Skandal SK Ilegal” ini harus diusut sampai tuntas, karna jika dibiarkan, akan menjadi preseden buruk di dunia pendidikan, yang kemudian menjadi ajang “coba-coba” untuk membuka prodi ilegal yang dapat memakan korban anak bangsa,” tutup Hidayat.

Terpisah Hermanto selaku Ketua AMUNISI menambahkan di Indonesia, kasus pemalsuan dan pencatutan SK Menteri Nadiem banyak terjadi, dan ada Pimpinan Perguruan Tinggi dengan gelar Profesor di Tangerang yang baru-baru ini ditetapkan tersangka di Polda Metro Jaya dengan cerita yang hampir mirip, yakni karena dugaan memalsukan SK Menteri Pendidikan terkait izin Prodi pada tahun 2021.

“Namun penyidik malah menetapkan Pimpinan PTS sebagai tersangka, jadi kita tunggu saja hasil dari kepolisian,” pungkasnya.

Pos terkait