Tidak ada yang lebih paham situasi sosial politik aktual Indonesia ketimbang para elite golongan sepatu laras. Dan tidak ada yang lebih paham situasi ekonomi dan bisnis Indonesia kecuali para taipan.
Maka keduanya kawin dan beranak kekuasaan tirani demi menjamah dan menguasai sumber daya alam dan pasar (SDA) Indonesia.
Lihat Indonesia sekali-sekali sebagai hasil dari persekutuan para taipan dan kaum sepatu laras panjang.
Ketika Belanda berakhir masa penjajahannya, para taipan, di antara pihak yang dirugikan. Selain tentunya kaum feodal. Masalahnya, yang mengakhiri Belanda adalah bangsa Jepang yang melihat para taipan dan kaum feodal sebagai musuh laten bagi Jepang karena kesetiaan kedua golongan itu lebih condong kepada Belanda.
Jepang memilih kekuatan Islam sebagai sekutu ditambah nasionalis pragmatis seperti Hatta, dan Soekarno saat itu. Soekarno ketika setelah Dekrit, lain lagi. Adapun komunis bersekutu dengan Belanda, Amerika cs dan para taipan. Tetapi pada saat yang sama komunis membabat habis kekuatan feodal setelah Jepang tersingkir.
Jepang kalah. Kekuatan nasionalis pragmatis memilih komunis sebagai sekutu aliansi daripada Islam. Akhirnya komunis masuk dengan cepat masuk ke lingkaran kekuasaan. Perdana Menteri dan Menhan berada di tangan komunis. Itulah efesien dan efektifnya siasat komunis.
Pihak Islam berjuang agar tetap berada di pusat kekuasaan. Islam tidak berhasil tersingkir. Tapi Islam melunak baik dari segi prinsip politik (ingat piagam Jakarta hingga penghilangan 7 kata) demi tidak tersingkir dari lingkaran kekuasaan. Penetrasi komunis di lingkaran kekuasaan makin agresif, dan dalam waktu singkat seperti yang disebutkan, telah memperoleh jabatan Perdana Menteri sekaligus Menhan.
Kekuasaan nasional pun silih berganti dan tidak kunjung stabil. Adapun pihak Islam resmi terpecah. Ada yang DI, ada yang Masyumi yang bermain di parlemen, dan 1952, NU pun bikin kerajaan politik sendiri hingga hari ini.
Kaum sepatu laras melihat dirinya sebagai golongan politik tersendiri. Mereka memberi teori politik sekaligus indentitas politik bagi golongan mereka, yang tidak afiliatif ke mana-mana, tapi tersendiri, yaitu golongan fungsi atau karya. Muncullah ideologi politik mereka guna melegitimasi: dwifungsi.
Seperti halnya para taipan hanya fenomena segolongan elit saja, bukan seluruhnya, demikian juga kaum sepatu laras, hanya segolongan elit saja dari golongan itu. Jadi tidak bisa dipukul rata. Ada juga yang tidak mengafiliasi diri ke golongan elit tersebut, dimana mereka independen dan malahan berintegrasi secara aspirasi dan identitas dengan golongan rakyat biasa.
Kaum bersepatu laras ini mulai menggeliat sejak mereka mendapatkan artikulasi politiknya semasa perang kemerdekaan yang memang mengandalkan kekuatan senjata. Sementara para taipan tetap bermain senyap dengan fokus utama menjaga kekuasaan di sektor ekonomi dan bisnis. Kekuasaan ekonomi dan bisnis yang ditinggalkan Belanda memberi peluang besar bagi taipan untuk mengambi alih.
Era nasionalisasi mengantarkan para taipan bersekutu dengan kaum sepatu berlaras panjang, karena memang nyatanya lebih siap secara jaringan pasar. Pengusaha pribumi yang langka dan masih dalam tahap adaptasi dan belajar bisnis, terseok-seok ketinggalan mengejar para taipan. Kaum sepatu laras menikmati konsesi ekonomi ini, sebagai pihak yang diserahi tanggung jawab mengambil alih kekuasaan dan manajemen perusahaan-perusahaan Belanda yang berorientasi ekspor hasil ambil alih itu. Mulai dari lini perkebunan, pertanian, minyak dan gas, pabrik-pabrik kebutuhan pokok, transportasi, listrik, telekomunikasi, farmasi, teknologi, dan macam-macam. Yang paling siap bersekutu dengan kaum sepatu berlaras guna kelangsungan hidup dan konsolidasi segala jenis perusahaan peninggalan Belanda itu, tentulah para taipan. Karena sejak zaman penjajahan Belanda sudah eksis menjadi sekutu bisnis bagi Belanda. Kini tinggal ganti aliansi saja. Tidak terlalu sulit. Tinggal geser posisi saja.
Para taipan memahami dengan cepat perkembangan situasi. Mereka hanya concern mempertahankan dominasi dan supremasi ekonomi dan bisnis. Adapun dalam politik, sedikit fleksibel dan bermain terukur. Jika dilihat kelompok komunis akan mencapai kekuasaan, mereka membantunya, diam-diam maupun terbuka, baik sebagai donatur maupun organisator dukungan suara. Tentu masih ingat Baperki. Dan itulah yang terjadi ketika kaum komunis di Indonesia makin membesar dan siap mengambil alih kekuasaan.
Tapi apa lacur. Komunis digulung oleh Amerika yang beraliansi dengan kaum sepatu berlaras yang masih eksis walaupun sudah kena rongrong komunis. Walhasil, para taipan kena noda kudeta komunis yang gagal.
Sekarang kaum sepatu laras naik panggung kekuasaan. Para taipan mengonsolidasi diri. Wakil-wakil mereka yang paling dipercaya oleh pimpinan kaum sepatu laras diserahi untuk memimpin orkestra dan konsolidasi guna menyelamatkan dominasi ekonomi dan bisnis yang sudah lama diraih. Lagi-lagi mereka beruntung.
Orde Baru lahir dan memantapkan diri. Mainstream politik berorientasi ekonomi full benar-benar menguntungkan para taipan. Mereka lagi-lagi beruntung. Dengan cepat mereka naik menjadi kelas konglomerat dunia. Tidak lagi jago lokal seperti yang lumrah sebelumnya, walaupun dulu ada Oei Tiong Ham dan Chong A Fei. Mereka berlomba membangun jaringan bisnis di seluruh benua. Mereka membuat dan meletakkan Indonesia sebagai pusat produksi dan logistik, dan Shanghai, Hongkong dan Singapura sebagai basis marketing dan pusat politik bisnis. Walhasil jika ada guncangan atau kehancuran politik di Indonesia, mereka sudah gampang menyelamatkan aset dan pribadi mereka. Mereka menjadi sangat berkuasa mempermainkan politik dan ekonomi.
Sekarang taipan tidak lagi selevel dengan kaum sepatu laras. Kaum sepatu laras inilah yang berganti menengadahkan tangan buat bantuan dominasi politik kaum sepatu laras di arena yang tidak naik-naik level: hanya level nasional. Sementara taipan sudah naik level menjadi investor internasional.
Akhirnya, setelah kekuasaan ekonomi dan bisnis taipan di Indonesia tidak ada yang menandingi, mereka di belakang layar mendorong keadaan dan memback up peruntuhan induk semang mereka sendiri, yaitu rezim Soeharto. Rezim Soeharto pun runtuh singkat bagaikan gedung WTC yang dihancurkan oleh siasat Yahudi.
Sekarang setelah Soeharto longsor, terbuka peluang luas bagi para taipan ini menjadi pihak yang paling siap dan utama sebagai king maker di Indonesia di tengah sistem pemungutan suara secara liberal. Baik oleh karena jaringan politiknya yang mumpuni maupun volume dana yang tidak terbatas milik kolektif mereka. Soalnya, selepas sistem rezim tertutup Soeharto, sistem persaingan sempurna liberal tersaji lewat legitimasi amandemen UUD 1945. Maka siapa yang paling kuat dan besar dana suap dan dana operasional kampanyenya, peluang besar bagi dia untuk mendapatkan kursi. Apalagi sistem pemilihan langsung presiden pun dilegitimasi oleh UUD baru hasil aspirasi reformasi yang ditunggangi segala macam kepentingan politik itu, utamanya kepentingan politik taipan. Maka sempurnalah Indonesia berada dalam genggaman para taipan, tanpa harus susah-susah, karena setiap calon politikus dan penguasa di berbagai tingkatan, akan mengalir sendiri nunduk-nunduk menjilat meminta pengaruh, sumbangan dan arahan kepada taipan. Indonesia pun sempurna tergadai dan terkulai di dalam tas para taipan untuk dijual dan ditawar-tawarkan ke berbagai pihak pembeli dan investor internasional sembari meningkatkan level mereka hingga seperti jaringan Yahudi internasional. “I want to call you to invest my country”.
Adapun pihak Islam, selain sudah terpecah-pecah, didera demoralisasi politik, dan secara sistem telah lama tersingkir dari arena kekuasaan politik, sejak PPP yang berdasarkan Pancasila didirikan hanya sebagian pemanis wajah Orde Baru. Hanya tinggal sebagai sumur suara yang dijual belikan oleh politikus-politikus lacur berorientasi jangka pendek demi kesenangan dan kemewahan sendiri-sendiri. Yang paling krusial dari golongan Islam saat ini, yaitu perkara demoralisasi yang begitu dalam dan tidak ada dobrakan sama sekali untuk keluar dari kubangan kotor itu. Nafsu pendek para politikusnya untuk bersenang-senang, menjadi gejala umum sehingga nilai golongan Islam di mata golongan politik lain sangat rendah dan mundur sekali.
Tapi rupanya nafsu taipan untuk menelan Indonesia tidak puas juga sampai betul-betul bagian mereka sendiri yang didudukkan di ring kekuasaan. Maka sekarang seperti yang Anda lihat, itulah yang terjadi. Hanya ada satu elemen serpihan dari golongan Islam yang berusaha menghadang dan itu lumayan memberi pelajaran bagi nafsu serakah para taipan ini.
Adapun elemen lain hanya manggut-manggut menonton pertempuran politik yang tidak seimbang ini. Elemen berpaham komunis justru mengambil keuntungan dari pertempuran itu agar makin leluasa masuk ke lingkaran kekuasaan. Adapun si sepatu laras panjang, yang penting bisa kenyang dan kebutuhan bisa dijamin, lebih baik netral. Sementara mafianya, justru bersekutu dengan para taipan guna menancapkan lebih dalam dominasi dalam politik, ekonomi dan bisnis.
Barangkali latar cerita inilah sebabnya mengapa Indonesia sekarang ini condong ke RRC, tapi pada saat yang sama tetap menjaga keamanan kepentingan Amerika di Indonesia. Taipan tentu condong ke RRC yang menganut state capitalism, karena berbagai faktor dan ikatan, tetapi mafia sepatu laras, juga punya ikatan dengan Amerika. Mereka menjaga keseimbangan ini, dan rakyat mengambang yang didominasi oleh Islam adalah korbannya.
~ The Indonesian Reform Institute
……
KALEIDOSKOP PERISTIWA EKONOMI POLITIK INDONESIA
Perang Kemerdekaan, 1945 – 1949
Masyumi lahir 24 Oktober 1943
Konsolidasi kepemimpinan kekuatan-kekuatan bersenjata yang melahirkan TNI, 5 Oktober 1945
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang 16 Mei 1948 (Konsolidasi menyeluruh TNI)
1951 – 1958 proses besar-besaran nasionalisasi perusahaan dan aset Belanda di mana angkatan perang/kaum bersepatu laras sebagai aktor kunci. (Ruang aktualisasi fungsi ekonomi golongan sepatu laras).
1950, PM Djuanda meluncurkan Program Banteng, program ekonomi pro pro pribumi dimana pribumi saja yang boleh menjadi importir.
1952, NU keluar dari Masyumi.
1959, PP Nomor 10 tahun 1959 dimana dari tingkat kabupaten hingga ke bawah, orang asing tidak dibolehkan berdagang sebagai pengecer. Hal ini menimbulkan protes keras dari Pemerintah Tiongkok.
1959, Dekrit Presiden, membubarkan parlemen, ruang aktualisasi partai.
1960, Masyumi dan PSI resmi dibubarkan.
1962 – 1966, Kampanye Perang Menghadang Malaysia dukungan Inggris.(Ruang aktualisasi luas bagi PKI untuk memperluas pengaruh dan persaingan kekuatan terhadap TNI)
1966, TNI menang terhadap PKI. Orde Lama tutup buku.
1966 – 1998, Orde Baru rezim sepatu laras berkuasa hingga 1998 disokong oleh taipan dari operasi bisnis.
1998, Orde Baru hancur
2014 – 2024, Jokowi Presiden RI. Taipan menggurita tak terkendali hingga ke sektor politik.