Signifikansi Nabi Ibrahim pada Ajaran Islam

Umat Islam memerlukan pengenalan lebih luas dan lebih dalam tentang sosok Nabi Ibrahim alaihissalam. Sebab, sosok ini selain didoakan dalam sholat yaitu pada tasyahud akhir yang berangkai dengan mendoakan Nabi Muhammad, juga Ibrahim alaihissalam merupakan bapak agama tauhid dan mata rantai bertemunya sejarah spritual agama Yahudi, Masehi dan Islam.

Ibrahim alaihissalam menunjukkan dalam sejarah kenabiannya menempuh “epistemologi” ketuhanan yang unik dan legendaris.

Dia mengerahkan segala potensi, kapasitas dan kemampuan akal budinya untuk menemukan Tuhan yang hakiki di tengah lingkungannya yang paganis. Pertama dia mengerahkan kemampuan observasi mata jasmaninya untuk menemukan Tuhan, mulai dari mengamati keajaiban bintang, bulan dan matahari. Hal ini terekam dalam Alquran.

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَىٰ كَوْكَبًا ۖ قَالَ هَٰذَا رَبِّي ۖ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ

“Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, ”Inilah Tuhanku”. Maka, ketika bintang itu terbenam dia berkata, ”Aku tidak suka kepada yang terbenam.” (76)

فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَٰذَا رَبِّي ۖ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ

“Lalu, ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, ”Inilah Tuhanku.” Tetapi, ketika bulan itu terbenam dia berkata, ”Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (77)

فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَٰذَا رَبِّي هَٰذَا أَكْبَرُ ۖ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ

“Kemudian ketika dia melihat matahari terbit dia berkata, ”Inilah Tuhanku, ini lebih besar. Tetapi, ketika matahari terbenam, dia berkata, ”Wahai kaumku! Sungguh aku berlepas diri apa yang kamu persekutukan.” (78)

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (79)

Ibrahim tidaklah sebaik kita mengenal biografi Nabi Muhammad Saw. Padahal mengenal sosoknya amat penting, terutama dalam teladan menemukan iman, melaksanakan dan menperjuangkan keyakinan itu secara konsekwen. Tiada contoh sejarah
yang lebih baik dalam melaksakan keyakinan yang tanpa reserve kecuali sejarah Ibrahim dan putranya, Ismail alaihissalam, sehingga pelaksanaan haji dan idul qurban pun sebenarnya dinisbatkan dan direlasikan dengan kisah hidup Ibrahim alaihissalam. Jadi, praktik beragama Ibrahim alaihissalam diteruskan oleh Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Lantas mengapa tidak begitu lengkap pengenalan umat Islam terhadap Nabiallah ini? Padahal jika pengenalan umat Islam terhadap Ibrahim alaihissalam sedalam dan seluas pengenalan terhadap Nabi Muhammad Saw, maka maknanya akan berbeda. Memang kendalanya, tidak seperti sumber riwayat Nabi Muhammad Saw yang melimpah dalam hadits-hadits, riwayat Nabi Ibrahim alaihissalam lebih sedikit dan memerlukan seleksi mutu dan validasi.

Tapi, mengenal lebih dalam sosok Ibrahim alaihissalam merupakan tuntutan akibat signifikansi Ibrahim dalam ajaran Islam, mulai dari pemahaman dan lakon hidupnya (millah), keteguhan bertauhid, sholat, ibadah haji hingga ibadah qurban.

Rangkaian tak terputus antara misi Nabi Muhammad Saw dengan misi Ibrahim alaihissalam terekam dengan tegas dan gamblang dalam firman-Nya dalam Alquran. Memisahkan antara kedua Nabi yang berbeda waktu ini, tidak dibenarkan.

 

An-Nahl Ayat 123

ثُمَّ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ أَنِ ٱتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

Artinya: Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.

Al-An’ām: 161

قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Rabb-ku kepada jalan yang lurus, (yaitu) dīn (agama) yang benar; millah (agama) Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik”.

Al-Hājj: 78

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ

Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam dīn (agama) suatu kesempitan. (Ikutilah) millah (agama) orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.

Asy-Syūrā: 13

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ

Dia telah men-syari`at-kan bagi kamu (Muhammad) tentang dīn (agama) apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah dīn (agama; syariat; hukum) dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik dīn (agama) yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada dīn (agama) itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (dīn; agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).

 

Oleh: Syahrul Efendi D, Pengamat Keagamaan

Pos terkait