Saiful Mujani: Cawapres Belum Punya Efek Elektoral pada Capres

JAKARTA – Tiga nama bakal calon presiden belum punya efek elektoral pada pasangan calon presiden masing-masing. Demikian dikatakan Prof. Saiful Mujani dalam program ’Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode ”Efek Cawapres terhadap Pasangan” yang disiarkan melalui kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 26 Oktober 2023.

Video utuh presentasi Prof. Saiful bisa disimak di sini: https://youtu.be/h50ZAbacTeo

Bacaan Lainnya

Saiful merujuk pada data survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada 2-8 Oktober 2023. Dalam simulasi tanpa pasangan pada tiga nama, survei tersebut menunjukkan Anies Baswedan mendapatkan suara 22,7 persen; Ganjar Pranowo 35,2 persen; Prabowo Subianto 37 persen; dan tidak jawab 5,1 persen.

Saiful menjelaskan bahwa, selisih suara Prabowo dan Ganjar pada survei tidak signifikan secara secara statistik karena jaraknya kurang dari dua kali margin of error (MoE), sementara MoE pada survei ini sebesar 2,5 persen. Selisih Prabowo dan Ganjar pada survei ini hanya 1,8 persen. Sementara selisih kedua calon itu dengan Anies sudah signifikan, 12,5 persen dengan Ganjar. Sementara pemilih yang belum menentukan pilihan sudah sangat sedikit.

Dengan posisi seperti ini, kata Saiful, kemungkinan pilpres berlangsung dua putaran menjadi sangat terbuka.

Dalam semulasi pasangan sebagaimana yang didaftarkan ke KPU, Anies – Muhaimin mendapatkan suara 23,5 persen; Ganjar – Mahfud 33,1 persen; Prabowo – Gibran 36 persen; dan belum jawab 7,4 persen.

Sebagaimana simulasi tanpa pasangan, dengan pasangan juga selisih dua pasangan teratas tidak lebih dari dua kali MoE sehingga tidak bisa disimpulkan siapa yang lebih unggul di antara keduanya. Sementara pasangan Anies – Muhaimin sudah berada pada pada posisi ketiga.

Menurut Saiful, secara umum, tidak ada perubahan yang signifikan dari dua data tersebut (simulasi tanpa pasangan dan dengan pasangan). Selisih antara simulasi individual capres dan pasangan tidak signifikan. Pada pasangan Amin – Muhaimin, secara individual mendapatkan 22,7 persen menjadi 23,5 persen pada pasangan, perbedaannya hanya 0,8 persen.

Pasangan Ganjar – Mahfud bergerak dari 35,2 persen individual menjadi 33,1 persen dalam pasangan, selisihnya hanya -2,1 persen. Sedangkan pasangan Prabowo – Gibran berubah dari 37 persen individual menjadi 36 persen dalam simulasi pasangan, selisihnya -1 persen. Sementara yang tidak tahu dari 5,1 persen menjadi 7,4 persen, selisihnya 2,3 persen.

Kesimpulannya, menurut Saiful, sejauh ini atau sampai pada survei awal Oktober ini, tiga nama bakal calon wakil presiden tersebut belum punya kontribusi pada pasangannya masing-masing.

“Muhaimin Iskandar, misalnya, yang diharapkan mendongkrak suara Anies belum terjadi. Mungkin karena belum sosialisasi yang kencang. Perubahan suara akan sangat tergantung pada bagaimana kontestan bereaksi terhadap data ini. Bukan marahin datanya. Kesimpulannya, baik Muhaimin, Mahfud, maupun Gibran belum membantu atau memperkuat pasangan mereka masing-masing,” tandas pendiri SMRC tersebut.

Salah satu aspek yang menurut Saiful bisa menjelaskan hal ini adalah rendahnya keterpilihan tiga tokoh Bacawapres berhadapan dengan tiga nama Capres.

“Kalau kita adu tiga nama capres ditambah tiga nama bacawapres: Anies, Ganjar, Prabowo, Muhaimin, Mahfud, dan Gibran, gap elektabilitas antara tiga nama capres dan tiga nama cawapres sangat jauh. Karena itu tiga tokoh bacawapres itu ditelikung oleh tiga nama bacapres. Mereka berada di dalam kantong masing-masing bacapres. Pak Mahfud, misalnya, ada di kantong Ganjar, bukan di luar sebagai kekuatan baru. Yang terjadi adalah Mahfud tersubordinasi pada Ganjar. Demikian pula Muhaimin yang tersubordinasi pada Anies dan Gibran yang tersubordinasi pada Prabowo,” tuturnya.

Proses di Kubu Prabowo

Lebih jauh Saiful menjelaskan bahwa, para bakal calon wakil presiden dipertimbangkan secara hati-hati. Pada koalisi Prabowo, masing-masing partai menginginkan tokohnya atau yang diutus oleh partai tersebut menjadi calon wakil presiden mendamping Prabowo.

Hasil kesepakatan di internal partai Golkar, misalnya, Airlangga Hartarto harus menjadi calon presiden atau setidak-tidaknya wakil presiden atau kalau juga tidak, diserahkan keputusannya pada Airlangga untuk menentukan calon wakil presiden di mana Golkar ikut berkoalisi.

Di koalisi ini, cukup intens dibicarakan tentang kemungkinan calon wakil presiden antara Gibran Rakabuming Raka dan Erick Thohir. Walaupun Yusril Ihza Mahendra juga berharap menjadi calon wakil karena merupakan salah satu ketua partai, namun mungkin yang dilihat adalah proporsi kekuatan partai di mana Golkar menjadi partai terbesar.

Menjadi menarik, kata Saiful, ketika Airlangga tidak menjadi calon wakil Prabowo. Dan Gibran kemudian dideklarasikan pertama kali oleh Golkar. Belum ada kabar pasti apakah Gibran keluar atau mengundurkan diri dari PDI Perjuangan dan pindah ke Golkar.

Saiful melihat secara etis harusnya Gibran mengajukan pengunduran diri dari partainya. Menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PDI Perjuangan, begitu kader bergabung dengan partai lain untuk maju dalam pemilihan, otomatis keluar tanpa harus diperintahkan keluar.

Namun yang menarik adalah bahwa Gibran melangkah secara formal menjadi calon wakil presiden melalui Partai Golkar. Menurut Saiful ini logis karena Golkar merupakan partai terbesar pendukung Prabowo, sementara suara PAN ada di bawahnya, demikian pula Partai Demokrat.

Gibran sendiri, lanjut Saiful, pada dasarnya bukan berasal dari keempat partai pendukung Prabowo karena kemungkinan bisa lebih diterima oleh semua partai pendukung Prabowo. Selain itu, Gibran juga adalah anak presiden sehingga dia memiliki nilai tambah, itu tidak dimiliki oleh Erick Thohir dan AHY. Ada juga aspirasi untuk mengambil tokoh non-partai seperti Khofifah Indar Parawansah.

Kontroversi Gibran

Saiful pada kesempatan ini menyoroti proses masuknya Gibran sebagai calon wakil presiden.

“Gibran masih sangat muda. Menjadi walikota baru dua tahun. Bahkan untuk memenuhi syarat maju sebagai cawapres juga kontroversial,” bebernya.

Pencalonan Gibran didahului oleh judicial review di Mahkamah Konstitusi. Menjadi kontroversial karena ada pro dan kontra atas keputusan Mahkamah Konsitusi membolehkan warga yang berumur di bawah 40 tahun sejauh memiliki pengalaman kepala daerah atau elected official bisa menjadi cawapres. Usulan ini baru dilakukan pada September 2023, berbeda dengan usulan memundurkan batas umur calon presiden yang diusulkan oleh sejumlah partai politik jauh sebelumnya.

“Gibran lolos menjadi calon wakil presiden karena ada perubahan ketentuan di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi seperti membuat undang-undang baru yang sebenarnya bukan wewenangnya, seharusnya hal tersebut dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun demikian, keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat sehingga Gibran bisa memenuhi syarat menjadi calon,” urai Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta tersebut.

Karena proses yang kontroversial tersebut, menurut Saiful, ada yang kemudian berpandangan bahwa hal tersebut bisa membawa dampak negatif pada pasangan Prabowo-Gibran. Ada peraturan yang diubah untuk melayani kepentingan Gibran.

Saiful menambahkan bahwa, sekarang sudah dibentuk Dewan Kehormatan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa proses tersebut. Menurut Saiful, dengan dibentuknya Dewan Kehormatan, itu sudah mengindikasikan keputusan membolehkan calon di bawah 40 tahun dengan ketentuan pengalaman sebagai elected official mengindikasikan di sana ada kontroversi atau ada proses yang tidak normal. Namun juga ada yang berpandangan bahwa pasangan ini menarik karena ada gap usia yang sangat jauh. Bisa disebut sebagai pasangan inklusif, antara generasi baby boomers dan millennial.

Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar

Saiful melanjutkan bahwa pada kubu Ganjar, ada yang berpendapat mungkin Mahfud MD akan memperkuat Ganjar dengan pelbagai pertimbangan. Yang utama adalah rekam jejak Mahfud sebagai pelayan publik: pernah jadi anggota DPR, menteri pertahanan, ketua Mahkamah Konstitusi, dan sekarang menjadi Menkopolhukam.

Belakangan Mahfud MD juga menjadi sangat menonjol dalam menjelaskan pelbaga kasus, seperti kasus Sambo, dugaan korupsi di Departemen Keuangan, dan kasus korupsi di Kementerian Pertanian.

Mahfud kemudian oleh sejumlah kalangan dianggap bisa menjadi andalan di wilayah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang juga merupakan amanat Reformasi yang sangat penting. Karena itu muncul harapan bahwa Mahfud kemungkinan bisa memperkuat Ganjar.

Namun demikian, lanjut Saiful, ada juga yang menyatakan bahwa Mahfud kurang bisa memberi efek suara pada Ganjar karena Mahfud tidak memiliki pengalaman dalam pemilihan umum, kecuali untuk pemilihan legislatif. Karena itu ada yang meragukan kemampuan Mahfud bisa menambah elektabilitas Ganjar.

Hal yang sama terjadi pada Muhaimin Iskandar. Saiful menjelaskan bahwa, pengalaman kontestasi Muhaimin hanya pada tingkat DPR di kampungnya sendiri, wilayah Jombang. Dan dia sukses dan lolos menjadi anggota legislatif. Namun demikian, Muhaimin berasal dari Jawa Timur dan tokoh Nahdlatul Ulama. Dia memimpin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang pemilihnya hampir semuanya orang NU.

Saiful menegaskan bahwa, Muhaimin bukan sekadar NU, tapi NU yang serius. Dia bahkan pernah menjadi Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang merupakan organisasi mahasiswa NU. Selain itu, Muhaimin juga dianggap komplementer dengan Anies. Anies bukan orang NU, tapi merepresentasikan tipe Islam modernis. Sementara Muhaimin berasal dari Islam tradisionalis.

Dengan demikian, kata Saiful, pasangan Anies-Muhaimin menunjukkan kombinasi Islam modernis dan tradisionalis. Karena itu, pasangan Anies-Muhaimin diharapkan bisa menarik dukungan secara berarti atau untuk menjadi lebih kompetitif ke depan. (ari)

Pos terkait