Revolusi Kembali Menjadi Bangsa Indonesia – Sebuah Catatan Metafisika (1)

( Bagian pertama dari 3 tulisan )

Apabila sekonyong – konyong ada yang bertanya tentang bangsa, apakah yang berkelebat di benak kita?? Dua tanda tanya tersebut memberikan peluang pada dua jawaban yang terlintas dipikiran.

Bacaan Lainnya

Pertama, menunjuk pada kelompok manusia yang mendiami sebuah tempat tertentu dengan ciri – ciri khas tersendiri, sedangkan kedua melukiskan adanya tujuan yang terdapat pada kelompok tersebut. Maka ditengah hiruk pikuk persoalan–persoalan yang menyerang dari segala arah, skala dan kompleksitas kerumitan pemecahan jangka panjang untuk menjaga kelangsungan hidup bangsa Indonesia di tanah kelahirannya semakin sulit diabaikan.

Bisa dikatakan sebuah kemustahilan bila kita ingin membuat jalan setapak menembus bayang – bayang suram masa depan bangsa tanpa memperhitungkan keragaman budaya, prespektif teologi, filsafat sampai pada unsur mesianis untuk kemudian menata kembali hubungan bangsa dan negara dalam kaitannya dengan Tuhan, alam maupun manusia itu sendiri.

Catatan ini merupakan upaya penyelamatan bangsa Indonesia di tanah kelahirannya dengan membuka tabir ‘kasyf al-mahjub’, melihat hal – hal yang luput dari perhatian banyak orang, yang terdapat dibalik sesuatu yang tampak, keluar dari dunia empiris dan bergerak terus mencari kebijaksanaan dengan cara inovatif, reflektif dan revolusioner.

Dengan demikian yang ditawarkan sebuah ‘ada dalam kemungkinan’, yaitu sesuatu yang dalam realitas belum ada tapi secara potensial dapat diwujudkan. Agar ada dalam kemungkinan benar–benar bisa terwujud, metafisika kebangsaan akan mengikuti prinsip–prinsip keteraturan semesta untuk mengantarkan perjalanan bangsa indonesia selamat sampai tujuan.

Pola berpikir deduktif ini memberi isyarat adanya Kebenaran relatif yang didekatkan pada kebenaran absolut sehingga diharapkan menghasilkan pemikiran kebangsaan yang pasti, tetap dan dapat diterima semua pihak

Bangsa sebagai kumpulan manusia-demikian Suhrawardi al-Maqtul menyimpulkan – baik jasad maupun ruhnya merupakan produk dari proses illuminasi Tuhan yang disebut sebagai isyraq. Paham isyraq ini menyatakan bahwa alam berwujud melalui penyinaran illuminasi.

Kemudian menurutnya kosmos terdiri dari susunan bertingkat–tingkat berupa pancaran cahaya. Cahaya tertinggi sebagai sumber segala cahaya atau Nur al-Anwar. Dia adalah Tuhan yang azali. Manusia berasal dari nur al-anwar yang mewujud melalui pancaran cahaya dengan proses yang relatif sama dengan pelimpahan (emanasi).

Oleh karena itu, antara Tuhan dengan manusia memiliki relasi ontologis substanstif yang bersifat dialektik. Ada hubungan dari atas kebawah (proses tanazzul) dan dari bawah ke atas (proses taraqi) untuk kembali pada ‘sangkan paraning dhumadi’.

Implikasi teologis dari paham ini adalah, perjalanan bangsa sesungguhnya adalah pergerakan dari nol kembali kepada nol sebagai bentuk keseimbangan dan pemaknaan hidup sebuah bangsa adalah nilai yang yang lahir dari pergerakan angka satu sampai sembilan sebagai bentuk kesempurnaan.

Keseimbangan dan kesempurnaan merupakan kesadaran mengikuti hukum – hukum kesemestaan seperti yang ditetapkan allah sebagai sunatullah, agar mengenal diri sendiri. Dan dengan mengenal diri sendiri, sebuah bangsa akan mengenal penciptanya sebagai sumber dari segala macam sumber cahaya.

Keseimbangan dan kesempurnaan ini akan saya bagi dalam empat ruang yang berjalan mengikuti hukum–hukum kesemestaan dengan berputar melawan arah jarum jam (gerakkan thawaf). Ruang I proses kelahiran bangsa, Ruang II Lumbung/sehat jasmani dan rohani, Ruang III negara, Ruang IV kapital/masyarakat adil dan sejahtera.

Selanjutnya di halaman berikutnya:

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

2 Komentar