JAKARTA – Beberapa hari ini dikejutkan dengan pengangkatan beberapa Wakil Menteri menjadi Komisaris di anak perusahaan BUMN seperti PLN EPI dan PT Pertamina Hulu Energi (PHE) bukanlah peristiwa baru dalam lanskap politik Indonesia. Fenomena ini kembali muncul di pemerintahan Kabinet Merah Putih yang dipimpin oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Menurut Badi Farman selaku Fungsionaris PB Liga Mahasiswa Islam Indonesia (PB LMII), langkah ini mencerminkan bahwa kecenderungan kuat patrimonialisme, dimana posisi publik strategis diberikan sebagai bentuk balas jasa politik atau untuk mempertahankan loyalitas pejabat tertentu.
“Konsolidasi kekuasaan dan sumber daya, menjadikan BUMN bukan sekadar entitas bisnis, tapi alat manuver politik,” tuturnya saat dihubungi via whatsapp, Minggu (13/7/25).
Lebih lanjut mahasiswa S2 Ilmu Politik Universitas Nasional ini menambahkan dimensi legalitas vs etika publik. Secara legal formal, memang tidak ada larangan eksplisit terhadap Wakil Menteri yang merangkap jabatan sebagai Komisaris BUMN, namun terdapat celah regulasi yang rawan disalahgunakan.
Dalam UU 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara dalam Pasal 23 hanya menyebutkan larangan untuk Menteri, bukan Wakil Menteri.
“Tapi secara substansi, fungsi wamen tetap melekat pada eksekutif dan mengakses kebijakan strategis, sehingga prinsip etika publik tetap relevan,” tambahnya.
Badi menganggap Dalam Peraturan Menteri BUMN PER-10/MBU/10/2020, menyebutkan bahwa:
1. Tidak menyebut larangan eksplisit, namun mewajibkan pengangkatan yang menjunjung prinsip integritas dan bebas benturan kepentingan.
2. Di sinilah letak masalah. Bagaimana seorang Wamen bisa bebas dari benturan kepentingan saat mengawasi entitas yang bisa ia pengaruhi secara kebijakan.
Badi menilai ada risiko dan konsekuensi rangkap jabatan BUMN ini yang dimana benturan kepentingan yang nyata Wakil Menteri. Meskipun secara teknis bukan Menteri, tetap bagian dari pengambil keputusan publik. Ketika mereka duduk di posisi Komisaris BUMN yang notabene mengelola dana publik dan proyek strategis hal ini muncul pertanyaan mendasar. Bagaimana memastikan keputusan yang diambil tidak melayani dua kepentingan sekaligus dengan kepentingan negara dan kepentingan korporasi tempat ia duduk.
Lebih para lagi Moralitas Ganda: Gaji Publik dan Honor Komisaris. Dalam konteks anggaran negara, praktik ini tidak mencerminkan keadilan. Wakil menteri sudah menerima gaji dan tunjangan dari APBN. Menambah honorarium dari kursi komisaris berpotensi menjadi bentuk pemborosan anggaran, jika bukan abuse of privilege.
“Delegitimasi etika pemerintahan publik melihat bahwa posisi strategis di BUMN sering dijadikan “hadiah politik” atau alat kompromi kekuasaan. Ini melemahkan kepercayaan publik terhadap profesionalitas dan meritokrasi dalam birokrasi dan BUMN,” imbunya.
Dalam hal ini Badi sapaan akrabnya buntunya Reformasi BUMN diharapkan jadi pilar ekonomi negara yang efisien dan profesional. Namun jika struktur kepemimpinannya masih dipenuhi aktor-aktor politik dengan rangkap jabatan, reformasi BUMN terancam hanya jadi jargon.
“Fenomena rangkap jabatan Wamen sebagai komisaris BUMN, meski tidak melanggar hukum secara eksplisit, bertentangan dengan semangat good governance, transparansi, dan akuntabilitas,” harapnya.
Badi Farman mengharapkan jika pemerintahan Presiden Prabowo ingin tampil sebagai pemerintahan yang bersih, kuat, dan efisien, maka ada tiga rekomendasi yakni:
1. Harus ada pembaruan regulasi yang memperjelas batas jabatan publik dan jabatan BUMN.
2. Presiden dan Menteri BUMN perlu membuat pakta integritas bahwa pejabat publik termasuk Wakil Menteri tidak boleh duduk di kursi Komisaris selama menjabat.
3. Dorong meritokrasi dalam pengangkatan Komisaris, bukan berdasarkan afiliasi politik, tapi pada profesionalisme dan integritas.