Oleh : Denny JA
Mengapa isu dinasti politik, isu neo-Orde Baru, isu nepotisme, isu demokrasi yang mendung, yang bertubi-tubi dihantamkan kepada Prabowo, Gibran dan Jokowi ternyata tidak memiliki efek elektoral yang signifikan ?
Bahkan dukungan kepada Prabowo dan Gibran makin lama makin tinggi, makin melambung dan makin besar. Jarak elektabilitas pasangan ini dengan dua kompetitornya makin jauh, dan makin lebar.
Inilah respon ketika kita membaca publikasi di awal desember 2023, oleh lima lembaga survei. Kelima lembaga survei ini memiliki jejak yang panjang sejak pilpres sebelumnya.
Kelima lemba survei ini mengabarkan pesan yang sama: kemenangan telak Prabowo Gibran: LSI Denny JA, Kompas, Indikator Politik, LSI (Lembaga), Poltracking.
Kita mulai dengan berita. Ini konferensi pers LSI Denny JA, 11 Desember 2023, kemarin. Elektabilitas Prabowo – Gibran sudah mencapai angka 42,9%.
Jarak elektabilitas pasangan ini dibandingkan pasangan Ganjar ataupun dengan pasangan Anies, selisihnya sudah di atas 18%.
Kedua, data dari survei Kompas, yang dipublikasi juga di awal desember. Dalam survei Kompas, elektabilitas Prabowo memang sedikit lebih rendah di 39,3%. Tapi elektabilitas Ganjar dan Anies juga lebih rendah.
Jika dilihat dari jarak elektabilitas, dalam survei Kompas, margin kemenangan Prabowo dibandingkan ganjar dan Anies justru di atas 20%.
Sebelumnya, juga di awal Desember, Indikator Politik mempublikasikan kemenangan telak Prabowo – Gibran di angka 45,8%. Jarak pasangan ini dibandingkan elektabilitas pasangan Ganjar dan pasangan Anies juga berselisih di atas 20%.
Tak ketinggalan, survei dari LSI (Lembaga). elektabilitas pasangan Prabowo dikabarkan di angka 45,6%. Juga jaraknya dibandingkan Ganjar Mahfud, dan Anies – Muhaimin di atas 20%.
Apa yang terjadi? Padahal sebelumnya kita juga mendengar serangan heboh, yang bertubi-tubi terhadap pasangan Prabowo-Gibran, dan Jokowi.
Ini contoh aneka berita serangan dan kritik dari kalangan yang beragam. Itu judul berita: “PDIP Menyebut Prabowo – Gibran cerminan neo Orde- Baru.
Sebelumnya, juga budayawan dan sastrawan Goenawan Muhamad diberitakan menangis, mengungkapkan kekecewaannya kepada Jokowi. Ia menyebut Gibran didesain untuk perpanjangan kekuasaan Jokowi.
Di momen itu juga, komedian seperti Butet Kartarejasa menyatakan ia syok dan terkejut karena selama ini meyakini Jokowi patut jadi presiden panutan. Ternyata tidak.
Tak ketinggalan, Majalah dan Koran Tempo memberitakan banyak sekali mengenai dinasti politik ala Jokowi.
Pertanyaanya: mengapa isu dinasti politik, isu demokrasi, isu nepotisme, yang heboh itu, yang bersemangat itu tidak memberikan efek elektoral yang kuat? Yang terjadi justru Prabowo – Gibran naik menjulang secara elektoral.
Penyebab pertama kita sebut saja ini Sindrom Ruang Diskusi. Aneka isu penting itu seperti dinasi politik, demokrasi yang mendung, ia hanya berhenti dan heboh di ruang diskusi.
Isu itu hanya menjadi badai di dalam toples, toplesnya segelintir kaum terpelajar dan aktivis belaka. Isu itu tidak menjadi satu gerakan sosial yang merembes ke bawah, yang menggelisahkan banyak orang, yang membuat satu gerakan yang masif sekali kepada Jokowi, kepada Gibran, dan kepada Prabowo.
Karena isu itu berhenti di ruang diskusi, akibatnya isu itu efek elektoral sangatlah terbatas. Ia hanya memberikan efek di grup WA, Talk show TV, diskusi di ruang tertutup, demo ala kadarnya.
Jumlah kalangan terpelajar dengan militansi aktivis sangatlah sedikit. Katakanlah jumlah mereka yang aktif militan untuk isu itu sekitar satu juta orang.
Satu juta dari total populasi pemilih sebanyak 204 juta, itu artinya hanyalah 0,5% saja. Itulah efek dari badai di dalam toples. Itulah cerminan dari sindrom ruang diskusi.
Ini bukan berarti isu yang diangkat tak penting untuk kepentingan bangsa. Tapi para penganjur isu itu gagal mengangkatnya agar memiliki efek elektoral dalam pilpres kali ini.
Di sisi lain, pemilih Indonesia didominasi oleh wong ciliik. Yaitu mereka yang pendidikannya SMP ke bawah, yang penghasilannya itu 2 juta per bulan ke bawah.
Jumlah mereka sebanyak 55%. Mereka dipuaskan oleh janji program Prabowo – Gibran untuk makan siang dan susu gratis. Mereka juga senang dengan program Prabowo – Gibran yang melanjutkan kartu Indonesia sehat, Kartu Indonesia Pintar, yang lebih dilengkapi.
Wong cilik ini juga puas dengan bantuan sosial yang memang diturunkan secara sah oleh pemerintah Jokowi. Dan efek dari bansos Jokowi ini lebih berpengaruh kepada Prabowo – Gibran, yang semakin diindentikkan dengan Jokowi.
Ini pelajaran mahal pilpres 2024 kali ini. Bahwa isu yang penting bagi kemajuan sebuah bangsa tidak otomatis memiliki efek elektoral yang juga penting.
Jika isu itu dalam pilpres dimainkan secara salah, isu itu justru menurunkan elektabilitas Ganjar – Mahfud yang dibantu oleh banyak aktivis yang anti demokrasi mendung.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.