Dewasa ini, tidak ada hotspot potensi perang yang lebih besar ketimbang wilayah Laut China Selatan. Selain karena agresif-nya China untuk menguasai secara sepihak wilayah sengketa antar negara ini, ditambah lagi kehadiran militer Amerika makin hari makin kuat di wilayah ini, juga tidak terelakkannya reaksi dari negara-negara di sekeliling laut tersebut.
Sementara hotspot perang ini makin hari makin genting, Indonesia seolah kikuk dan gugup menentukan sikap dan langkah, padahal teritorial lautnya bersinggungan langsung dengan aksi agresif China di kawasan laut yang sibuk dan kaya gas ini, khususnya di Laut Natuna.
Duduk masalah gugup dan kikuknya Indonesia terkait persinggungan di Laut China Selatan terjadi karena beberapa faktor.
- Pemerintah Indonesia tidak bisa diharap mengantisipasi potensi perang Laut China Selatan karena beberapa alasan:
a. Secara politik luar negeri, semua tahu pemerintahan Jokowi, condong dan pro China
b. Pemerintahan Jokowi merupakan hasil dari persekutuan para oligarki tamak dan kekuatan politik pembawa dendam terhadap Orde Baru. Akibatnya, fokus mereka hanya untuk mengamankan kekuasaan dan kemapanan mereka.
c. Pemerintah ini inward looking atau hanya melihat ke dalam. Jadi isu potensi perang laut China Selatan, tidak menjadi prioritas bagi rezim untuk disikapi. - Sementara di tingkat pemerintahan demikian adanya, di tingkat masyarakat juga tidak siap mengantisipasi jika perang meletus, karena tidak tersosialisasi dan teredukasi untuk antisipasi terhadap perang.
- Dan jika kita terdapat kekuatan reaksi dari masyarakat, akan dihalangi dan setidaknya dilemahkan supaya kehilangan dukungan luas, karena beberapa alasan:
a. Merugikan moral, kepentingan dan citra pro China pemerintahan Jokowi
b. Merugikan gugusan kekuatan-kekuatan ekonomi yang sudah dibangun yang bertujuan mendukung supremasi ekonomi China di Indonesia
Dari tiga kondisi objektif itu saja telah menyandera Indonesia hingga terpaku dan tidak dapat bergerak menyusun aksi kolektif nasional untuk mengantisipasi perang Laut China Selatan guna mengamankan kelangsungan dan eksistensi Indonesia sebagai negara berdaulat.
Seolah jika potensi perang Laut China Selatan itu meletus, nasib negara dan rakyat diserahkan sepenuhnya pada inisiatif dan arah kebijakan China dan Amerika. Kemana angin bertiup, ke situ kebijakan internal negeri ini beradaptasi.
Potensi perang Laut China Selatan, cepat atau lambat niscaya terjadi, karena dua hal:
- Penduduk China yang miliaran jiwa niscaya memerlukan ruang hidup. Mereka penduduk China itu akan dipasok dan disebarkan ke wilayah selatan, mulai dari Vietnam, Filipina, Indonesia, Kamboja, Thailand hingga Malaysia karena alasan-alasan berikut:
a. Historis. Asia Tenggara dilihat oleh China sebagai Nan Yang dari Mainland. Dalam sudut pandang tradisi geopolitik China, China daratan dipandang sebagai wilayah inti, pusat, pangkal dan induk. Sedangkan tenggara seperti Indonesia, dan wilayah Asia tenggara pada umumnya, adalah wilayah pinggiran dan satelit bagi pusat. Seperti mirip kedudukan Botabek bagi Jakarta. Itulah sebabnya Kubilai Khan menginvasi Djawa, dan Asia tenggara.
b. Strategi geopolitik China induk. Dengan menempatkan penduduk mereka di Asia Tenggara lewat modus investasi padat karya secara besar-besaran dan meluas seperti yang mereka terapkan saat ini, China memperoleh keuntungan berganda:
a.1. Penduduknya bisa disebar, dikelola, dikurangi di China pusat. Sebaliknya di luar negeri, penduduk China dapat hidup secara organik pada proyek china yang diatur oleh negara. Keuntungan yang diraih oleh China adalah uang dan devisa mengalir ke China, mata uang China kuat, pengaruh politik secara langsung ke negara tempat penduduk mereka itu dipasok meningkat, teknologi copy paste laku keras dan termanfaatkan di luar negeri, walaupun di China mungkin sudah lahir teknologi baru. Dengan demikian, pasar bagi barang-barang teknologi China dapat disalurkan dengan aman dan teratur di luar China, seperti Indonesia.
a.b. China induk dapat dengan lancar dan cepat bertransformasi menjadi negara superpower imperium China raya. - Perang Laut China Selatan akan meledak, karena niscaya akan timbul reaksi atas aksi. Tidak akan ada yang rela negerinya dieksploitasi oleh negara asing. Kecuali tidur nyenyak dan tidak sadar. Cepat atau lambat, Vietnam, terutama akan duluan bereaksi keras. Apalagi negeri Paman Ho ini belakangan mendapatkan angin didukung oleh Amerika dan negara-negara anti imperialisme China.
Selain itu, sebagai salah satu kekuatan militer terkuat di Asia tenggara hari ini, dari segi jumlah tentara dan peralatan perang, Vietnam secara mental siap tempur. Dengan Amerika saja mereka berperang. Apalagi bangsa Vietnam memiliki moral menang perang sehingga bangsa ini tidak sulit untuk menghadapi perang dengan skala besar. Mereka tidak kikuk dan gagap seperti rezim Jokowi dalam menghadapi China.
- Faktor Amerika yang senantiasa akan mencari keuntungan dari ancaman dan memanasnya potensi perang Laut China Selatan dengan tujuan ekonomi dan supremasi militer negara cowboy ini. Sudah merupakan tabiat negara Obama mengail di air keruh. Dia akan ambil bagian dan campur tangan dari pergesekan panas di Laut China Selatan. Bahkan dia bisa dengan ringan akan terjun perang melawan China secara langsung. Trennya sudah terlihat seperti itu. China sudah diisolir secara opini dan didiskreditkan – suatu permulaan perang yang lazim.
Pertanyaannya, Indonesia antisipasinya apa? Rakyatnya bisa antisipasi seperti apa saat pemerintahnya kikuk untuk mengambil sikap dan respon?
Daripada menunggu hingga jadi mati konyol, setiap kekuatan masyarakat haruslah membangun organisasinya guna mempertahankan kelangsungan dan kemajuan hidup mereka. Siapa tahu tidak lama lagi perang Laut China Selatan meletus, masing-masing kekuatan masyarakat sudah siap melakukan jawaban teratur dan terencana.
Bukan tidak mungkin, dalam konteks potensi konflik China dengan Amerika, jauh-jauh hari China telah lama meletakkan Indonesia dalam strategi perangnya sebagai wilayah penyekat, penyangga sekaligus benteng pertahanan dengan sumber bahan baku logistik perang yang kaya sumber daya.
Mencermati titik-titik wilayah investasi China di Indonesia, seperti Sulawesi, Jambi, Kalimantan, Papua dan Maluku Utara, bisa saja bilamana perang laut China Selatan meletus, China dapat menyulap lokasi pabrik menjadi pusat-daerah komando perang guna menyekat, menghadang dan membendung aliran logistik perang dan serangan Australia dan marinir Amerika sekaligus membuat benteng-benteng pertahanan secara tersebar dalam menghadapi Amerika. Dengan demikian, perang menjadi tersebar dan terdekonsentrasi sehingga Mainland China beban perangnya sedikit lebih ringan. Tidaklah sulit bagi China mengubah Morowali dan Konawe sebagai titik-titik pertahanan mereka.
~ Syahrul Efendi Dasopang, The Indonesian Reform Institute