Oleh : Z. Saifudin
Berdasarkan survei terbaru dari Litbang Kompas per Juni 2024 atas Survei Kepemimpinan Nasional (SKN). Polri baik dan citra Polri di masyarakat terus mengalami peningkatan sebesar 73,1 %. Jika atas kepuasan kinerja Polri sebesar 87,8 %. Terlepas pro dan kontra adanya oknum dan kasuistis dalam penanganan kasus masih ada yang kurang bukan berarti ada generalisasi terhadap kelembagaan. Agar sebagai autokritik evaluasi perbaikan internal. Pun bukan berarti harus ada perubahan posisi kelembagaan Polri.
Persoalan netralitas selalu menjadi pernyataan publik terkhusus setelah adanya Pemilukada tahun 2024. Polri selama ini sudah bekerja dengan baik. Dalam minimal 3 (tigas) hal yaitu posisi dan letak kelembagaan, sifat kelembagaan, dan tugas dan wewenang Polri memiliki hubungan kausalitas terhadap kinerja Polri di masyarakat. Kesemuanya masih relevan dan layak untuk tidak dilakukan perubahan. Tidak boleh ada transformasi Polri di bawah Kemendagri dan/atau TNI.
Mandat Konstitusi
Format kelembagaan Polri dan sistem di dalamnya pijakan utama dan pertama wajib dari konstitusi. Terkhusus dari BAB XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara. Dari original intent dan embrio tersebut telah dipatenkan sebagai norma hukum pasca amandemen ke-2 konstitusi. Untuk diturunkan norma-norma hukumnya dalam UU. Dalam pasal 30 ayat (4) UUD 1945, maka Polri tetap mengarah pada persoalan “keamanan” dan “ketertiban” bagi negara.
Dalam grand design dengan tugas dan wewenang soal “melindungi”, “mengayomi”, “melayani” dan “menegakkan hukum” sebagai visi dan misi kelembagaan Polri. Inilah tugas dan wewenang Polri yang tidak bisa dilaksanakan oleh pihak dan siapa pun. Akar adanya Polri langsung dari konstitusi. Kuat dan memiliki legalitas formal.
Jika bertolak atas teori konstitusi minimal wajib ada beberapa hal pokok dalam sebuah negara yaitu jaminan HAM, susunan ketatanegaraan, dan pembagian dan/atau pembatasan tugas ketatanegaraan yang fundamental (Sri Soemantri, 2020:70). Dalam sistem pertahanan dan keamanan negara telah membuat dan memposisikan Polri memiliki legalitas strategis dalam konstitusi.
Dalam pandangan Penulis, ini tidak hanya dalam soal fundamental dalam bernegara. Akan tetapi, juga hal fundamental dalam kelembagaan (institutional fundamentals). Bahkan telah masuk dalam domain norma dasar dan fundamental (fundamental legal norm) dalam membentuk negara.
Amanah Reformasi
Kelembagaan Polri memiliki rasionalisasi yang kuat dalam konstitusi. Merupakan bagian penegak hukum. Hanya Polri saja payung hukum berupa UU belum pernah ada revisi. Masih berupa UU No. 2 Tahun 2002 pasca reformasi. Sebelum reformasi ada UU No.13 Tahun 1961 dan UU No.28 Tahun 1997.
Berbeda halnya dengan TNI, Kejaksaan dan KPK dalam kelembagaan yang sangat beririsan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Polri sudah ada revisi UU. Hal ini menunjukan keberadaan kelembagaan Polri sudah paten dan tidak dapat dirubah lagi. Memiliki payung hukum kuat dan masih signifikan dengan setiap perubahan zaman.
Adanya grand design secara umum dari UU Polri ada 9 BAB dan 45 Pasal. Resmi sah menjadi UU dan masuk dalam lembaran negara tepat tanggal 8 Januari 2002. Melihat format awal Polri dapat dilihat dalam BAB 1 tentang Ketentuan Umum terkhusus mulai dari pasal 2 sampai pasal 5. Agar dapat dijadikan rujukan untuk membuat dan menjabarkan norma hukum tertinggi dari konstitusi negara.
Dalam BAB II tentang Susunan dan Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan domain kelembagaan Polri yang kuat. Ini akan menentukan tentang letak dan posisi idealnya kelembagaan Polri. Masih tetap berada di bawah Presiden sebagai penguatan dalam sistem presidensial. Sifat kelembagaanya juga independen dan otonom berdiri sendiri.
Pemisahan TNI dan Polri sebagai amanah reformasi menjadi keniscayaan agar lembaga tersebut dapat menjalankan fungsi kelembagaan dengan baik. Adanya TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan embrio reformasi yang tidak boleh dihianati. Apalagi ingin dihapus jejak nilai sejarahnya.
Apalagi TAP MPR tersebut statusnya tinggi. Sebagai bagian produk hukum tinggi di bawah konstitusi dalam jenjang hierarki peraturan perundang-undangan (Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 jo UU No.15 Tahun 2019 jo UU No.13 Tahun 2022 tentang PPP).
Legalitas TAP MPR sebagai bagian produk hukum juga telah dibungkus dengan TAP MPR No.1 Tahun 2003 tentang Peninjauan Kembali dan Materi Status Hukum TAP MPR Tahun 1960 sampai tahun 2002. Ini bermakna akan menjadi sebuah kejahatan dan penghianatan konstitusi dan reformasi jika letak Polri dirubah. Apalagi down grade di bawah Kemendagri dan/atau TNI.
Penentuan organ penegak hukum oleh adanya norma hukum. Konstitusi material terutama memuat ketentuan tentang oleh organ-organ apa dan melalui prosedur bagaimana norma-norma umum harus dibuat (Hans Kelsen, 2014:186).
Dalam hal ini lebih lanjut dalam pandangan Penulis, seluruh aparat dan keanggotaan Polri merupakan bagian penegak hukum. Memiliki peran besar sebagai supporting system bagi penegak hukum lainnya. Jika siklus peran adanya Polri dirubah posisinya, justru tatanan hukum di masyarakat akan mengalami kekacauan dan kegoncangan secara nasional. Bisa mengancam stabilitas nasional. Bisa berbahaya bagi eksistensi adanya negara.
Penjaga NKRI
Dalam BAB I tentang Ketentuan Umum terkhusus pada Pasal 1 ayat (5) UU Polri pemaknaan “keamanan dan ketertiban” masih disamakan. Ini menjadi bentuk kesatuan jiwa dalam NKRI. Jika merujuk BAB III tentang Tugas dan Wewenang terkhusus pada Pasal 13 UU Polri sesuai dengan format ketatanegaraan dari Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 dari Polri. NKRI merupakan paradigma konstitusi terkait bentuk negara yang tidak dapat dirubah.
Dalam konstitusi paten selamanya (Pasal 1 ayat (1) jo Pasal 37 ayat (5)) pasca amandemen ke-4. Itulah NKRI. Hal ini tentunya Polri sebagai penjaga bagian NKRI dalam hal keamanan dan ketertiban linear dengan pentingnya kelembagaan Polri. Juga paten dan tidak boleh dirubah. Jika dirubah dan mengkotak-katik tentang letak dan kelembagaan Polri berarti ikut menjadi bagian untuk mengacaukan tatanan dari NKRI.
Penulis mencoba menggunakan pendekatan teori nomodimanis (nomodinamic theory) dari Hans Kelsen yaitu “Pemaknaan tatanan sebuah norma hukum terhadap berlakunya organ sebuah negara jika masih efektif dan tersistem tidak perlu ada perubahan. Baik norma dan kelembagaannya. Landasan validitas suatu norma seperti uji kebenaran dari pernyataan tentang kenyataan. Bukanlah konfirmasinya dengan realitas”.
Hal ini linear dengan dasar norma hukum dari letak dan kelembagaan Polri, sifat dan tugas dan wewenangnya. Sangat koherensi. Merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tidak ada urgensinya mengubah posisi organ negara pada Polri. Sangat tidak tepat dan justru bisa merusak ketatanegaraan di Indonesia. Mengingat eksistensinya Polri dalam menjaga masyarakat dan negara sangat dibutuhkan.
Solusi
TNI dan Kemendagri merupakan bagian dari organ negara dalam arti luas yang telah memiliki legalitas atuan berupa UU baik dalam tugas dan wewenangnya masing-masing. Kemendagari adalah nomenklatur yang disebut bagian dari menteri triumvirat dalam konstitusi (Pasal 8 ayat (3)). Kelahirannya juga didukung dengan adanya UU Kementerian Negara (UU No.39 Tahun 2008 jo UU No.61 Tahun 2024).
Jika merujuk dalam pemerintahan Kabinet Merah Putih ada aturan lebih teknis melalui Perpres No. 139 dan No. 140 Tahun 2024 yang memperkuat keberadaan Kemendagri sebagai bagian kementerian negara. Polri juga jelas ada dalam konstitusi dan dikuatkan dengan UU Polri. Keduanya memiliki tupoksi dan posisi kelembagaan yang mandiri.
Tidak boleh Polri di bawah Kemendagri. Pihak Kemendagri juga tida bisa memaksakan kelembagaan Polri masuk domain tersebut. Itu akan mengacaukan sistem dan tata negara Indonesia. Merusak tata pemerintahan baik di tingkat pusat dan daerah. Apalagi Kemendagri merupakan tangan panjang dari pemerintah pusat.
Demikian halnya keberadaan TNI selain dengan TAP MPR, konstitusi juga diawali dengan UU tentang Pertahanan Negara (No.3 Tahun 2002) sebagai embrio agar adanya kelahiran TNI melalui UU No.34 Tahun 2004. Memiliki legalitas dan nilai historis masing-masing. Polri dan TNI merupakan satu kesatuan dalam hal pertahanan dan keamanan negara. Akan tetapi, Polri memiliki letak kelembagaan sendiri. Tidak boleh dipisahkan dan melebur dengan lembaga mana pun. Termasuk dengan TNI.
Dalam hal memberikan insight sebagai alternatif solusi dari Penulis, maka biarkan Polri tetap sebagai lembaga mandiri dan otonom. Bagian dalam sistem pertahanan dan keamanan negara. Tidak boleh dileburkan dan di bawah Kemendagri dan/atau TNI. Berat dan sulit untuk dirubah. Wajib ada amandemen ke-5 konstitusi. Diikuti dengan revisi berbagai UU. Termasuk UU Polri. Belum lagi konstelasi politik hukum pasti panas.
Apalagi sejauh ini, sudah ada 7 fraksi Parpol parlemen yang menolak wacana tersebut. Masih relevankah agitasi dan propaganda letak dan kelembagaan Polri di bawah Kemendagri dan/atau TNI?. Jelas itu adalah jalan sesat. Salah arah dan dekat logical fallacy yang tidak masuk akal. Tidak logis dan tidak sehat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
*Penulis adalah Direktur Law Firm Pedang Keadilan & Partners, Ketua Lembaga Pusat Kajian Konstitusi dan Demokrasi (LPKKD) Indonesia, dan Pakar muda Hukum Tata Negara.