Perjuangan Karyawan Korban PHK Sepihak PT Takeda Indonesia: Prosedur Hukum vs Realita di Era Pandemi Covid-19

YOGYAKARTA – Pandemi Covid-19 menjadi bencana bagi sejumlah pekerja di seluruh dunia. Banyak kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Hal itu sama dialami pekerja di Yogyakarta, Indonesia. Perjuangan dari hak karyawan korban PHK sepihak oleh PT Takeda Indonesia patut dijadikan pelajaran. Mereka ada di antara pilihan prosedur hukum vs realita di masa Covid-19.

Bacaan Lainnya

“Kami sebenarnya tidak menerima PHK, namun terpaksa karena masa COVID-19 ini, karena Prosedur PHK tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), dan Perusahaan tidak berusaha mencegah terjadinya PHK yang tidak mencerminkan ketentuan PKB, kira-kira begitulah kutipan dari suara keras yang disampaikan Saksi-saksi pada Persidangan Pengadilan Hubungan Industrial di Yogyakarta,” jelas Adam Irham salah satu karyawan PT Takeda Indonesia pada wartawan Bela Rakyat, Jumat (19/6/2021).

Adam menyampaikan, saat ini pihaknya masih menunggu hasil putusan dari Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Yogyakarta.

“Sekilas PHK sepihak ini terjadi diawalai peristiwa pada saat PT Takeda Indonesia yang pada pertengahan Juni 2020 lalu telah melakukan PHK masal secara sepihak melalui Town Hall Meeting (Virtual Meeting) dan sebagai pihak yang menggugat dalam perselisihan PHK ini,” cerita Adam Irham.

Sebagai tergugat, Adam yang merupakan satu-satunya dari 86 (delapan puluh enam) karyawan yang berani menyuarakan dan memperjuangkan hak-haknya sebagai buruh yang tertindas, dengan menempuh proses penyelesaian perselisihan melalui jalur Perundingan Tripartit pada Dinas Tenaga Kerja Sleman.

“Hingga saat ini sampai pada tahap penyelesaian perkara di Pengadilan Hubungan Industrial Yogyakarta,” ujar Adam.

Rudi Hermanto & Partners selaku Kuasa Hukum Adam Irham menolak secara tegas adanya PHK sepihak yang menimpa kliennya. Tindakan PHK secara sepihak tersebut merupakan Perbuatan Melawan Hukum yang jelas telah melanggar Pasal 65 Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

“Bahwa seharusnya perusahaan dan pekerja melakukan segala daya upaya untuk mencegah terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja. PKB yang notabene seharusnya merupakan acuan antara pengusaha dengan pekerja sehingga sudah semestinya jika produk hukum PKB yang telah disepakati Bersama oleh masing-masing Phiak tersebut dipatuhi dan dilaksanakan,” jelas Rudi Hermanto.

Merujuk pada PKB dari PT Takeda Indonesia dan karyawan yang seharusnya memiliki peranan penting sekaligus pula menjadi marwah dari suatu hubungan industrial pada perusahaan kemudian hanya menjadi formalitas dan omong kosong belaka.

Selain itu, lanjut Rudi, PHK yang terjadi juga tidak didahului oleh Perundingan Bipatrit antara pihak perusahaan dan karyawan yang terdampak sehingga proses PHK bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. PHK juga dilakukan berdasarkan penilaian subyektif like and dislike antara pihak perusahaan dan pekerja terdampak serta adanya indikasi union busting yang membuat seluruh pengurus inti SP (Serikat Pekerja) yang terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Koordinator Lapangan, dan Penasehat selaku wakil (representatif) juga diputus hubungan kerjanya oleh pihak perusahaan.

“Hal tersebut divalidasi oleh beberapa saksi dari Klien kami yang merupakan bagian dari 86 karyawan yang terdampak PHK menyatakan bahwa benar hampir seluruh karyawan yang menduduki posisi pada SP terdampak PHK sepihak tersebut. Termasuk dirinya yang merupakan penasehat pada SP,” terang Rudi.

Untuk diketahui, perselisihan hubungan industrial merupakan bentuk kesenjangan relasi kekuasaan antara pengusaha dan pekerja yang disebabkan adanya ketidakseimbangan posisi tawar pekerja yang lebih rendah di hadapan pengusaha. Terbitnya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dahulu merupakan perwujudan dari semangat penghapusan perbudakan di Indonesia. Kembali mengenang perjuangan buruh Marsinah. Dimana pada prakteknya hubungan kerja yang terbangun antara pemberi kerja dan pekerja hanya menjadi sebuah hubungan sepihak.

“Pemberi kerja dapat melakukan segala hal dalam otoritasnya yang tak jarang merampas hak pekerja dan menjadi sebuah kerugian yang besar bagi pekerja. Kerugian besar yang tak sebanding dengan taruhan nyawa pada prosesnya, Marsinah salah satunya. Seorang pejuang buruh yang melawan rasa takut demi terciptanya adil dan kesadaran adanya simbiosis mutualisme antara pemberi kerja dan pekerja. Pemberi kerja selalu menjadi pihak yang memiliki kekuatan besar untuk dapat mempertahankan yang menjadi keputusannya,” paparnya.

“Pemberi kerja dengan segala kelimpahan materinya, dapat mengatur ujung dari perjalanan pihak-pihak lemah yang dianggap tidak mendukung keputusan-keputusan Pemberi Kerja. Keputusan sepihak oleh Pemberi Kerja dibalut oleh formalitas dengan tetap menjalankan perjanjian maupun aturan-aturan yang ada. Aturan hukum yang dihasilkan oleh Negara dan dijadikan payung hukum bagi hak buruh juga tidak menyelesaikan. Hingga kini Marsinah ada dimana-mana”.

“Dia menyelinap di berbagai produk payung hukum bagi hak buruh. Namun keadilan masih tetap berpihak pada siapa yang lebih besar dan kuat dari segala aspek. Buruh tetap menjadi pihak yang dipaksa menerima keputusan, dan kompensasi sekenanya.”

Kantor Advokat Rudi Hermanto & Partners selaku Kuasa Hukum Adam Irham tetap optimis dan akan terus berjuang untuk mempertahankan hak-hak kliennya sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Tidak ada pekerja yang menginginkan untuk diputus hubungan kerjanya karena akan menghilangkan sumber penghasilan yang digunakan untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari, terlebih lagi dimasa sulit seperti ini, mengingat pihak-pihak yang terdampak rata-rata berusia tidak muda lagi .

Oleh karena itu, sambungnya, besar harapan supaya Majelis Hakim yang memeriksa perkara dapat memutus perkara tidak hanya secara normatif, tetapi juga mengedepankan hati nurani dan memperhatikan aspek keadilan dalam arti sesungguhnya.

“Tragedi Marsinah sudah 25 tahun berlalu dan keadilan bagi buruh tetap jalan di tempat,” pungkasnya. (AI)

Pos terkait