Oleh : Amalia Chrisna Firdausa
Kesetaraan gender dalam dunia kerja telah menjadi isu yang terus dibicarakan dan diperjuangkan selama beberapa dekade terakhir. Namun, pertanyaan penting yang sering muncul adalah: apakah kita benar-benar telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam hal ini?
Meskipun perempuan semakin banyak memasuki angkatan kerja, mereka tetap dihadapkan pada berbagai tantangan yang berbeda dengan laki-laki. Masalah seperti kesenjangan upah, kurangnya representasi di posisi kepemimpinan, serta tekanan untuk menyeimbangkan antara karier dan keluarga masih menjadi hambatan utama.
1. Kesenjangan Upah: Masalah yang Tak Kunjung Usai
Kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan masih menjadi salah satu isu paling menonjol dalam dunia kerja. Data dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menunjukkan bahwa di banyak negara, perempuan masih menerima gaji yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, meskipun melakukan pekerjaan yang sama dengan tingkat tanggung jawab yang serupa. Meskipun telah ada upaya dari banyak pihak untuk mengurangi kesenjangan ini, hasilnya masih jauh dari memuaskan.
Di sisi lain, perempuan juga cenderung menghadapi lebih banyak hambatan struktural yang membuat mereka sulit mendapatkan kesempatan yang setara dalam hal promosi dan kenaikan gaji. Kesenjangan ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan ekonomi perempuan secara individu, tetapi juga pada kesetaraan secara kolektif di masyarakat.
Dalam banyak kasus, perempuan dianggap kurang tegas atau tidak berani menuntut hak-hak mereka dibandingkan laki-laki, yang pada akhirnya memengaruhi hasil negosiasi mereka dalam mendapatkan kompensasi yang adil. Hal ini bukan hanya persoalan keberanian pribadi, tetapi juga mencerminkan adanya norma sosial yang menganggap bahwa perempuan seharusnya lebih “lemah lembut” atau tidak terlalu menuntut dalam konteks profesional.
Norma-norma ini perlu diubah agar perempuan dapat meraih posisi tawar yang sama dengan laki-laki di tempat kerja. Selain itu, kebijakan perusahaan yang lebih mendukung transparansi dalam sistem penggajian dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kesenjangan upah.
2. Minimnya Representasi di Posisi Kepemimpinan
Meski semakin banyak perempuan yang memasuki dunia kerja, representasi mereka dalam posisi kepemimpinan masih sangat minim. Banyak perempuan yang memiliki kualifikasi dan pengalaman yang memadai tidak mendapatkan kesempatan untuk naik ke posisi manajerial atau eksekutif. Hal ini sering kali disebabkan oleh adanya “glass ceiling” atau langit-langit kaca, yaitu hambatan tak terlihat yang membatasi perempuan untuk mencapai puncak karier mereka.
Di banyak organisasi, perempuan sering kali diabaikan dalam proses promosi atau dianggap kurang mampu mengambil keputusan strategis. Fenomena ini tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga menghambat perkembangan perusahaan itu sendiri, karena kurangnya keragaman dalam pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan representasi perempuan dalam kepemimpinan harus dilakukan secara lebih sistematis, termasuk melalui program mentorship dan pelatihan kepemimpinan yang khusus ditujukan untuk perempuan.
Lebih lanjut, kurangnya representasi perempuan di posisi kepemimpinan juga berdampak pada persepsi masyarakat terhadap kemampuan perempuan dalam memimpin. Stereotip gender yang menganggap perempuan kurang mampu mengambil keputusan yang rasional dan tegas masih sangat kuat, terutama di sektor-sektor yang didominasi oleh laki-laki.
Akibatnya, perempuan yang mencoba untuk naik ke posisi kepemimpinan sering kali dihadapkan pada tantangan yang lebih besar dibandingkan laki-laki. Mereka tidak hanya harus membuktikan bahwa mereka mampu, tetapi juga harus menghadapi kritik yang lebih keras terkait gaya kepemimpinan mereka.
Banyak perempuan pemimpin yang dianggap terlalu keras atau terlalu “ambisius,” sedangkan laki-laki dengan sifat yang sama sering kali dipuji sebagai pemimpin yang tegas.
3. Beban Ganda: Antara Karier dan Keluarga
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi perempuan dalam dunia kerja adalah beban ganda antara tanggung jawab profesional dan tanggung jawab keluarga. Meskipun sudah ada kemajuan dalam hal kesetaraan gender, banyak perempuan masih diharapkan untuk memainkan peran utama dalam mengurus rumah tangga dan anak-anak, meskipun mereka juga bekerja penuh waktu.
Beban ini menciptakan tekanan yang besar bagi perempuan, karena mereka harus menyeimbangkan antara pekerjaan dan tanggung jawab domestik. Ini adalah salah satu alasan utama mengapa banyak perempuan memilih untuk mundur dari dunia kerja atau tidak mengejar posisi yang lebih tinggi dalam organisasi.
Ketidakseimbangan ini menciptakan ketidakadilan yang signifikan dalam dunia kerja. Laki-laki, yang biasanya tidak diharapkan untuk mengambil peran utama dalam rumah tangga, memiliki lebih banyak waktu dan energi untuk fokus pada karier mereka.
Akibatnya, laki-laki lebih sering mendapatkan promosi dan penghargaan di tempat kerja, sementara perempuan yang bekerja keras di dua sisi kehidupan mereka sering kali kurang dihargai. Beban ganda ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan perempuan secara individu, tetapi juga pada produktivitas perusahaan.
Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan perlu menerapkan kebijakan yang lebih mendukung keseimbangan antara kehidupan kerja dan keluarga. Fleksibilitas waktu kerja, cuti melahirkan yang lebih panjang, dan fasilitas pengasuhan anak di tempat kerja adalah beberapa solusi yang dapat membantu perempuan menyeimbangkan karier dan tanggung jawab rumah tangga. Selain itu, diperlukan perubahan budaya di tempat kerja, di mana tanggung jawab domestik tidak lagi dianggap sebagai “urusan perempuan” semata.
Laki-laki juga perlu didorong untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam urusan rumah tangga, sehingga beban yang dihadapi perempuan dapat dikurangi. Dengan demikian, perempuan dapat lebih fokus pada karier mereka tanpa harus merasa terjebak dalam dilema antara karier dan keluarga.
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga (FKG UNAIR).