Penyakit Tukang Ngeles

Ketika orang-orang ini diingatkan tentang kekeliruan fatal mereka yang mudah mencerca dan menghina ulama seperti al Ghazali dan lainnya, dengan ringannya mereka ngeles ke sana kemari.

Katanya ini kan hanya meneruskan ulama dahulu yang juga mencelanya. Subhanallah. Lihat betapa buruknya hasil didikan yang tidak disertai ilmu adab dengan porsi yang cukup.

Bacaan Lainnya

Karena alasan seperti ini jelas mengada-ada, aneh dan sama sekali tidak bisa diterima. Mengapa ? Paling tidak karena beberapa sebab, diantaranya :

1. Saling kritik diantara para ulama itu hal biasa. Tapi mereka melakukannya karena niat yang baik dan sebab amanah ilmu yang mereka emban.

Maka jika ada yang ingin ikut nimbrung di dalamnya, seharusnya anda tahu diri apakah sudah setara ulama ? Minimal jika bukan ilmunya yang sama, yang harus anda tiru adab mereka.

Lihat para ulama, mereka bisa saling berdebat sangat hangat, tapi tidak sampai mengingkari keutamaan satu sama lainnya.

Lalu kita hanya mengcrop kalimat bantahan atau yang hanya sesuai dengan selera kita. Kan bahaya jika yang dicomot cuma kritikannya yang pedas, sedangkan saat mereka saling memuji dan mengakui kelebihan sengaja dipangkas.

2. Nyaris tidak ada ulama yang tidak dikritik dan “dihabisi” oleh ulama lain. Bahkan seperti sebuah hal yang lumrah adanya, semakin bersinar dan besar jasa seorang ulama, maka terpaan badai koreksi dan bantahan dari pihak lain akan semakin terarah kuat ke diri ulama tersebut.

Hal ini tentu bukan aib sama sekali, selama dilakukan oleh ahlinya saling koreksi diantara ahli ilmu, justru menunjukkan kehebatan keilmuan Islam. Nyaris tidak ada di dunia ini sistem dan tradisi keilmuan yang begitu mengagumkan seperti yang dimiliki oleh kaum muslimin.

Tradisi saling mengoreksi inilah yang membuat umat Islam jaya di hampir 1000 tahun lebih peradaban yang telah dibangunnya.

3. Hanya kemudian orang-orang lugu dan lucu ini mengira, kalau ulama itu dikritik, dibantah atau disanggah, artinya ia harus disisihkan dan tidak bisa lagi dipakai ilmunya.

Kasihan sekali makhluk-makhluk imut ini. Apa mereka benar-benar tidak tahu, bahwa bukan hanya Al Ghazali yang menghadapi kritik, bukan hanya Ibnu Rusyd yang disanggah, bukan hanya imam Nawawi yang dikoreksi, tapi juga ulama-ulama besar lainnya seperti Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Adz Dzahabi ?

Apakah mereka ini tak pernah mendengar, yang pernah dibakar oleh orang-orang awam yang tak tahu atau orang -orang alim yang termakan isu itu bukan hanya kitab Ihya Ulumuddin ?

Tapi juga menimpa tafsir Thabari, kitab – kitab Ibnu Jauzi, tulisan Ibnu Taimiyah dan beberapa karya ulama lainnya ?

4. Sungguh jika ada yang mendatangkan “sepuluh” celaan terhadap al Ghazali saya bisa mendatangkan 10 kitab yang “mencela” Ibnu Taimiyah.

Jika ada yang bisa mendatangkan 100 kalimat yang “menjatuhkan” al Ghazali, saya bisa menyebutkan 100 karya ulama yang isinya “menjatuhkan” Ibnu Taimiyah.

Mengapa ? Karena memang dalam hal konfrontasi dan pertikaian, Ibnu Taimiyah berada di medan yang lebih luas dan menakutkan. Sehingga bantahan yang diarahkan kepadanya jauh lebih banyak dan menyakitkan.

Tapi apakah banyak sedikitnya celaan membuat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah lebih unggul dari Hujatul Islam al Ghazali, atau sebaliknya Ghazali lebih baik dari Ibnu Taimiyah ? Tentu tidak sesederhana itu penilaiannya.

5. Jika sebab adanya hadits lemah atau palsu yang terkandung di sebuah karya mengharuskan ia dimusnahkan, maka tidak akan tersisa di muka bumi ini tulisan ulama manapun kecuali shahihain, Bukhari dan Muslim.

Semua kitab temasuk kitab-kitab induk hadits akan lenyap, karena di dalamnya juga memuat hadits palsu. Bahkan termasuk kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab juga tidak akan selamat, karena ternyata juga memuat banyak hadits-hadits lemah.

Sudahi tingkah norak dan perilaku congkak yang sok tahu di hadapan ulama. Tidak mau mengambil ilmu kepada ulama yang dianggap berbeda manhaj dan madzhab itu sah-sah saja, tapi tidak harus diiringi dengan sikap menjatuhkan dan merendahkan mereka.

6. Karena tak diragukan lagi, bahwa kejayaan umat ini hanya mungkin tegak lewat jalan yang dipandu oleh para ulama. Merekalah mahkota umat dan juga menaranya.

Para ulama adalah ruh dan sumber kehidupan bagi pergerakan umat untuk menggapai kejayaannya. Sepanjang ulama berada di atas jalan Allah, maka urusan umat ini akan senantiasa di jalan menuju kemuliaan, ketinggian dan kehormatan.

Merendahkan kedudukan para ulama apalagi sampai menyakiti mereka adalah sebab dari sekian sebab utama kehinaan seseorang, bahkan kehancuran masyarakat dan kebinasaan suatu bangsa.

Wallahu a’lam.

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq, Profesi Ustadz dan Guru

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *