NGELAWAD
Khairul Fahmi
(Penggiat Literasi, tinggal di Jakarta)
Ngelawad itu melayat orang yang meninggal dunia, atau ta’ziah.
Dulu, kami menyebut kegiatan menengok kelurga orang yang kena musibah kematian dengan “ngelawad”. Belakangan sebagian mengucapkannya dengan sebutan yang lebih mendekati bahasa sesuai EYD : ” melayat “. Terakhir banyak yang menggunakan kata ” ta’ziah “. Semuanya benar. Tapi karena ungkapan yang pertama kali aku dengar “ngelawad”, aku tetap menggunakan kata itu, walawpun terasa aneh bagi sebagian orang.
Ngelawad itu adalah istilah lokal Betawi. Sementara kegiatan menengok keluarga yang terkena musibah berlaku umum di manapun. Bukan hanya dalam masyarakat penganut Islam, tapi juga penganut agama lainpun kegiatan itu ada. Bahasa Indonesia resminya adalah “melayat”. Tata caranya tentu saja berbeda.
Khusus dalam masyarakat Betawi, ngelawad itu dimulai ketika berita kematian disiarkan secara resmi oleh pihak keluarga melalui pengeras suara di masjid atau musolla. Orang-orang berdatangan dari berbagai penjuru tanpa dikomando, bukan hanya tetangga, tapi teman dan sanak saudara dari berbagai tempat yang agak jauh, dan jauh pun datang ngelawad. Yang paling cepat berdatangan adalah kaum ibu. Kaum bapak dan laki-laki agak belakangan.
Karena sifatnya spontan para pelayat datang “seadanya”. Yang perempuan memakai baju panjang dan kerudung atau jilbab. Bersolekpun seadanya. Sementara yang laki-laki memakai sarung, celana panjang, baju koko, dan peci. Sampai di rumah duka para pelayat memasukkan “uang selawat” ke dalam baskom yang memang disediakan sohibul musibah di beberapa pojok rumah duka. Baskom itu ditutup dengan kain kerudung biasanya.
Para pelayat biasa datang untuk menyumbang ala kadarnya ke dalam baskom tadi. Setelah itu berdoa. Ada yg membaca surah yasin. Yang pasti semua yg datang untuk menghibur, baik dengan kata-kata atau dengan hadirnya saja sudah menjadi “hiburan” bagi sohibul musibah. Karena dengan hadirnya sudah menunjukkan rasa empati atas musibah tersebut. Para pelayat dari keluarga atau teman dekat biasanya berada di rumah duka lebih lama, menunggu sampai prosesi penyelenggaraan jenazah selesai. Sambil menunggu, para peziarah duduk di kursi yang disediakan sambil ngobrol-ngobrol.
Momen seperti ini bagi kami orang Pondok Pinang yang saat ini sudah berpencar (berdiaspora) ke berbagai tempat, digunakan untuk bersilaturrahmi dengan teman lama dan tetangga semasa di Pondok Pinang dulu.
Rangkaian ngelawad selesai dengan selesainya penguburan jenazah. Setelah itu pelayat pulang ke rumah masing-masing. Malam harinya biasanya diselenggarakan tahlilan sampai hari ketujuh, kelima belas, keempat puluh, keseratus, dan haul setiap tahun.
Tahlilan bagi orang Betawi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Kenapa orang Betawi mengadakan tahlilan ? Pertama, ibuku pernah menjelaskan supaya suasana duka tidak terlalu terasa. Kedua, tahlilan sampai hari ketujuh biasanya sohibul musibah tidak mengeluarkan biaya. Biaya diambil dari uang duka yang terkumpul, baik yang diperoleh dari baskom, maupun yang diserahkan langsung kepada keluarga sohibul musibah. Ditambah lagi dengan bantuan susulan menjelang malam hari tahlilan berupa kue-kue. Masa sih uang duka (uang solawat) dinikmati oleh anggota keluarga yang masih hidup ? Apa dong rasanya ?
Dari ngelawad secara khusus, atau prosesi penyelenggaraan jenazah secara umum, kita bisa melihat ikatan sosial dan tradisi gotong royong di masyarakat kita masih cukup kuat.
Wallahu a’lam bis showab