Nasib Pilu Kebebasan Berpendapat dalam RKUHP

Polemik draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terus menuai polemik, meski banjir kritikan, pemerintah dan DPR nampak tak mau ambil pusing, pasal kontroversial yang sebelumnya telah menuai banyak kritikan tetap dimasukkan dalam draft RKUHP hasil kesepakatan pemerintah dan DPR.

Pasal kontroversial tersebut adalah aturan tentang penghinaan presiden yang tertuang dalam pasal 218, 219, dan 220, penghinaan terhadap lembaga negara yang tertuang dalam pasal 349, dan ancaman pidana terhadap demonstrasi yang dilakukan tanpa pemberitahuan sebagaimana diatur dalam pasal 256.

Jika diamati secara kritis, semua pasal tersebut terkait dengan pengekangan kebebasan berpendapat, baik secara langsung atau tidak langsung. Pasal penghinaan presiden terkesan sangat dipaksakan masuk RKUHP, untuk menjawab kritik yang selama ini muncul.

Maka laporan tentang penghinaan harus dilakukan oleh presiden atau wakil presiden. Ini sangat tragis, presiden dan wakil presiden dipaksa berurusan dengan masalah penghinaan saat ia dituntut untuk bekerja secara total demi melayani rakyat. Hal itu juga berlaku dalam aturan tentang penghinaan terhadap lembaga negara, pasal ini sama saja menjadi benteng bagi lembaga negara untuk menghindarkan diri dari kritik.

Hal yang sama juga berlaku dalam ancaman pidana terhadap demonstrasi yang dilakukan tanpa pemberitahuan, pasal ini merupakan upaya untuk mempersempit kebebasan menyampaikan pendapat.

Setelah sekian tahun reformasi bergulir, negara belum juga menampakkan komitmen yang kuat terhadap kebebasan berpendapat, upaya menghambat kebebasan berpendapat tidak lagi dilakukan secara vulgar berupa pembungkaman fisik, modusnya mengalami perubahan, yakni menggunakan instrumen regulasi untuk menghambat kebebasan berpendapat.

Hal ini untuk mengesankan bahwa seolah tindakan pengekangan kebebasan berpendapat tersebut merupakan sesuatu yang legal karena merupakan perintah regulasi, pasal-pasal kontroversial dalam draft RKUHP merupakan salah satu bukti nyata. Ini tentu bukan kabar baik bagi demokrasi kita, ini sama halnya memandulkan hukum untuk kepentingan kekuasaan.

Susah membayangkan demokrasi akan berjalan ke arah yang lebih baik bila upaya menghambat kebebasan berpendapat masih terjadi, dalam negara demokrasi pengambil kebijakan mesti membuka pintu selebar-lebarnya untuk menerima kritik, kritik tak perlu dicurigai sebagai tindakan yang mengancam negara.

Sebaliknya justru kritik konstruktif akan semakin menguatkan negara. Kesadaran untuk menerima kritik akan terbangun bila pengambil kebijakan memahami posisinya sebagai pelayan rakyat atau pelayan publik.

Namun, bila memposisikan diri sebagai penguasa maka kesadaran tersebut akan susah terbangun, Indonesia membutuhkan pemerintah yang konsisten menempatkan diri sebagai pelayan rakyat, bukan yang memposisikan diri sebagai penguasa.

Penulis: Zaenal Abidin Riam, 
Pengamat Kebijakan Publik/Koordinator Presidium Demokrasiana Institute

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *