Oleh : Jacob Ereste
Seorang pebisnis akan menanggapi impor beras yang terus meningkat dari 2 juta ton menjadi 3,6 juta ton pada tahun ini sebagai peluang yang bisa meraup untung yang fantastis. Karena dari satu kilogram saja dapat meraup laba bersih Rp. 1.000 saja, bilangan duitnya sudah tidak tidak alang kepalang menggembirakan. Meski pada pihak lain tidak sedikit yang merasa didera kemalangan.
Begitulah perspektif pandang kaum kapitalis menyikapi birahi impor yang jauh dari nilai nasionalisme kebangsaan. Karena yang penting bagi mereka adalah bisa ikut meraup pundi-pundi di antara dera dan derita dari kesengsaraan rakyat.
Inilah indikator dalam nilai kenegarawanan maupun kebangsaan yang merosot, seperti yang ditandai oleh keresahan kaum intelektual serta para spiritualis Indonesia yang telah hingga riuh mengungkapkan pernyataan sikapnya, termasuk kecurangan Pemilu yang dilakukan secara fulgar tanpa rasa risi dan malu.
Kaum petani Indonesia Indonesia sendiri menyikapi impor beras serta kenaikan harga beras selangit tampak pasrah. Seperti telah menyerahkan urusan beras itu juga kepada Tuhan. Sebab untuk mengharap kepada pemerintah nyatanya tidak lagi bisa diharap.
Jadi memang harus diam saja, karena harga beras yang terus melambung itu bukan pada saat musim panen raya. Sebab pada saat panen raya itu, petani Indonesia sudah cukup paham tidak pernah dapat menjual padi atau beras mereka itu secara normal.
Apalagi pemerintah terus menerus menggelontorkan beras impor yang menindas nilai beras kaum petani yang harus dan terpaksa dimakan sendiri, tanpa mampu menikmatinya dengan lauk pauk yang sehat dan enak, lantaran tidak mampu membelinya dari hasil panen raya yang dapat mereka diperjualkan dengan harga yang bisa lebih menguntungkan.
Begitulah semangat impor beras ke negeri yang masih tetap disebut gemah ripah loh jinawi ini. Seperti nyanyian usang tentang “Tongkat Kayu Bisa Menjadi Tanaman”.
Sebab, dari 3,6 juta ton beras impor itu bisa memetik komisi Rp 1.000 saja per kilogram, maka nilai duitnya yang bisa dinikmati sampai mati itu tidak kurang dari 3.600.000 x 1.000 Kg x Rp. 1.000, maka total duit yang dapat dikantongi dengan cuma-cuma itu tak kurang dari Rp. 3.600.000.000.000.
Bayangkanlah bila cara para tengkulak yang dilakukan oleh oknum pejabat pemerintah dengan menggaruk keuntungan sekali pukul sudah sebesar itu, maka sekadar untuk melakukan kamuflase pencitraan dengan melakukan umroh bersama sejumlah anak, bini, dan keluarga lainnya sudah bisa dilakukan setiap akhir tahun.
Sehingga kesan sebagai penganut agama yang taat bisa menutupi aib besar yang tidak dapat diampuni dosanya itu. Sebab ribuan petani yang menderita akibat beras yang membanjir seperti air bah yang menggenangi sejumlah kota dan daerah di Indonesia ini memang bukan tidak bisa diatasi, tetapi justru dipelihara agar dapat terus dijadikan proyek untuk menggelontorkan dana negara yang bisa ditilep lewat birahi impor.
Persis seperti kemiskinan yang terjadi di Indonesia selalu membengkak jumlahnya, ketika hendak dikonversi dengan besaran dana yang akan dihamburkan. Tentu lain cerita, ketika harus membuat laporan keberhasilan, maka jumlah orang miskin selalu dikatakan sekalu menurun kalkulasinya guna mendapat pencitraan agar mendapat pujian semua dari banyak berbagai pihak.
Pesan untuk mengurus fakir miskin dan anak terlantar itu persis sama dengan harapan terhadap pemerintah agar mengupayakan kecerdasan rakyat. Sebab tujuan dari kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 itu bukan cuma sebatas bebas dari penjajahan bangsa asing maupun penjajahan dari bangsa sendiri, seperti yang justru semakin menjadi masalah di negeri ini sekarang, tapi juga bebas dari kemiskinan serta kebodohan.
Jadi, mimpi bangsa Indonesia ingin bebas, merdeka dari penindasan, pemiskinan dan pembodohan belum terjawab sampai hari ini, sementara mimpi tentang Indonesia Emas telah dijadikan slogan sekedar untuk menghibur diri atau cuma untuk mengalihkan perhatian dari ketertindasan yang terstruktur, kemiskinan yang sistematis serta kebodohan yang masif atau sebaliknya yang akrobatik praktek maupun cara pelaksanaan dari tata kelola negara Indonesia yang makin meregang jauh dari cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia yang sesungguhnya.
*Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.