Mengembalikan Kejayaan Jeneponto di Masa Lalu

Oleh : kamal_nyarrang (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional)

160 tahun silam, sebuah moment yang sangat bersejarah yang telah diukir oleh masyarakat sekaligus peletak dasar hari HUT Jeneponto dan sebagai simbol pengakuan kehadiran sebuah daerah yang disebut “butta turatea” atau yang akrab dikenal dengan nama Kabupaten Jeneponto.

Bacaan Lainnya

Tepat 1 Mei 2023 umurnya sudah menginjak 160 tahun, suatu usia yang tidak mudah lagi bagi ukuran manusia. 1 Mei 2023 bertepatan dengan hari bersejarah di dunia yang disebut Mei Day. Sebuah hari bersejarah bagi kelompok buruh sebagai bentuk pembebasan dan perlawanan untuk kaum kapitalisme (pemilik modal).

Tepat 1 Mei 2023 kelahiran Kabupaten Jeneponto dirayakan. Tempat dimana saya tumbuh dan dibesarkan kini usianya sudah tak muda lagi. Sebagai orang yang lahir, makan, hingga tumbuh di tanah ini. Jeneponto banyak melewati fase hingga tradisi yang masih sangat kuat dan kental yang sering dilakukan oleh masyarakat sekitar. Sebuah tradisi yang tidak semua Kabupaten bisa melakukan hal tersebut.

Jika di Toraja terkenal dengan simbol kerbaunya dan tradisinya yang kuat. Tentu di Jeneponto juga memiliki tradisi dan ciri khas hewan yang melekat yaitu jarang (kuda).

Kuda menjadi salah satu simbol dari daerah ini. Ketika orang memasuki daerah teritorial khususnya di Kecamatan Binamu (saya sebutnya Binamu bukan Kota Jeneponto), karena saya masih sulit mengidentifikasi letak tata kota di Jeneponto. Ketika memasuki Binamu orang akan melihat secara jelas patung kuda yang berdiri tinggi menjulang dengan gagah berani. Yahh kuda menjadi salah satu icon sekaligus menjadi sumber pencaharian uang untuk masyarakat Jeneponto. Di Jeneponto kuda tidak hanya menjadi icon daerah tapi juga menjadi sumber rejeki sebab kuda juga menjadi bisnis hewan terlaris sekaligus termahal. Masyarakat Jeneponto selain menjadikan kuda sebagai alat transportasi juga sebagai makanan khas yang wajib ada ketika pesta tiba. Entah itu pesta sunatan maupun pesta nikahan. Menarik bukan(?). Tradisi ke dua, jene-jene sappara. Jene-jene sappara merupakan pesta rakyat yang sangat unik sekaligus menarik. Pesta ini sering dilakukan oleh masyarakat sekitar khususnya yang ada di karampuang pa’ja. Dalam tradisi ini berbagai macam kegiatan dilakukan seperti, pa’batte, lomba perahu, hingga saling siram air antar sesama.

Bukan hanya itu, selain tradisi yang kuat juga terdapat suatu paradigma pandangan keagaaman yang melekat. Di Kabupaten Jeneponto tak ada satu pun Gereja yang berdiri di tempat ini. Entah apa yang menjadi alasan kuat tapi pada intinya masyarakat Jeneponto memiliki pandangan keagamaan yang sangat menarik untuk dijadikan tesis bagi kalian yang ingin tahu lebih dalam.

160 tahun tentu bukanlah umur yang muda. Jika kita telaah lebih dalam untuk sampai ke angkat ini tentu berbagai macam rintangan, dinamika, hingga konflik sosial sudah di lewati. Namun ada beberapa pertanyaan yang perlu kita jawab bersama di angka 160 tahun ini.

Di tahun 2019 yang lalu Kabupaten Jeneponto tidak mendudukan putra daerahnya di Senayan. Tentu ini menjadi sebuah pertanyaan yang harus dijawab dan diretas secara bersama. Apa penyebab sehingga putra daerah hilang di Senayan(?) pertanyaan kedua, di kampus-kampus telah hilang tokoh-tokoh intelektual yang pernah menjadi sumbu majunya pendidikan di Sulsel. Kemudian pertanyaan ke tiga, sejauh ini kita sulit menemukan tokoh yang pas untuk memimpin daerah kita tercinta. Tahun berganti tahun, periode berganti periode namun kemiskinan masihlah pekerjaan utama yang ada di Jeneponto. Jika melihat data dari BPS Sulsel tahun 2022, jumlah kemiskinan di Kabupaten Jeneponto mencapai (13,73 %) urutan kedua terbawah dari Kabupaten Pangkep. Pertanyaan saya tentu mewakili banyak pertanyaan masyarakat di luar sana. Tokoh yang seperti apa yang kita butuhkan hingga angka kemiskinan ini bisa menurun(?) Padahal jika kita lihat Kabupaten ini memiliki luas wilayah 749,79 km² dan berpenduduk sebanyak 415.462 jiwa 2021. Sumber (jenepontokab.Bps.go.id).
Di banding dengan dua Kabupaten tetangga yaitu Bantaeng dan Takalar yang malah jumlah warganya lebih kecil dari Jeneponto. Namun, dia mampu mendudukan putra daerahnya di Senayan dan di Provinsi. Salah satu contoh kecilnya yaitu Bantaeng, secara letak geografis Kabupaten sangat kecil ketimbang Kabupaten Jeneponto namun beberapa tahun silam putra daerahnya mampu menjadi orang nomor 1 di Sulsel, tentu ini suatu pencapaian yang patut diapresiasi.

Tulisan ini bukanlah mengandung makna mendeskreditkan Kabupaten Jeneponto, namun ini adalah fakta nyata yang dihimpun. Padahal jika kita flashback ke sejarah, Jeneponto sebenarnya tidaklah kekurangan orang cerdas. Di masa lalu orang-orang Jeneponto selalu menjadi orang terdepan sekaligus punya pengaruh yang sangat kuat. Jika kita membaca history Jeneponto pernah mendudukan putra daerahnya menjadi pemimpin di berbagai macam daerah. Sebut saja seperti Raden Sudiro Gubernur Sulsel 1951-1953, Syamsul Alam Bulu Wali Kota Pare-Pare 1993-1998, Supomo Guntur Wakil Wali Kota Makassar 2009-2014, dan Alim Bahri mantan Bupati Majene 1967-1990. Hingga beberapa tokoh pembesar di kampus negeri maupun swasta yang pernah menjabat pimpinan Dekan hingga Rektor. Tentu ini pencapaian yang sangat luar biasa di masa itu.

Di kondisi sekarang ini tentu semacam ada degradasi hingga putra daerah tak mampu bersaing di kancah nasional maupun lokal Sulsel. Adegium semangat sakral “siri na pacce” Dan “a’bulo sibatang accera sitong-tongka” Seakan hanya menjadi narasi tanpa makna yang kuat.

Yahh kita seakan kehilangan tokoh masa depan untuk Jeneponto yang kita cintai. Ketika proses pertarungan baik di kancah politik nasional maupun lokal hingga organisasi paguyuban kita tidak punya lagi lokomotif sumbu penerang. Salah satu contoh yaitu di Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) orang-orang yang ada di organisasi paguyuban ini lebih didominasi oleh orang-orang Bugis dan sulit kita temukan orang Jeneponto yang menjadi patron di tempat ini. Bukan hanya itu di kampus-kampus orang-orang intelektual seakan hilang satu persatu, kita hanya terkenal pada wilayah kekerasan otot bukan otak. Padahal jika digabungkan dua kekuatan ini pastilah tak akan bisa ditandingi.

Di hari ulang tahun Jeneponto yang ke 160 ini. Tentu ini menjadi refleksi kita bersama sekaligus momentum untuk mengoreksi diri kita masing-masing sebagai putra daerah yang lahir, tumbuh, hingga akan kembali ke tanah tercinta ini. kemana kah slogan yang sakral dan kuat itu(?) Di luar sana jeneponto hanya di kenal dengan “pa’bambangang na tolo” Suatu narasi yang jika dimaknai tentu sangat menyayat hati sebagai orang yang juga tumbuh dan lahir di Butta Turatea.

Ada banyak Pekerjaan rumah yang memang harus di selesaikan oleh pemerintah dan itu tidak cukup jika hanya di lakukan dengan sepihak. Kita tidak sepenuhnya harus menyalakan pemerintah dan juga tidak sepenuhnya larut dalam ritmenya, kritik dan apresiasi haruslah sejalan setidaknya jika tidak bisa menjadi solusi janganlah menambah beban daerah. Ini menjadi sebuah tamparan untuk kita semua. Tentu daerah yang maju dan berkembang selain harus di topang oleh pemerintahan yang bagus juga harus di dasari dengan SDM masyarakat yang baik pula, kususnya SDM oleh pemuda sebagai penerus masa depan daerahnya.

Tulisan ini adalah bentuk kritik dan Oto kritik untuk kita secara bersama, sebagai daerah yang sangat memegang teguh kata “siri na pacce” Tentu kita siri-siri (malu) ketika Jeneponto selalu menjadi omongan diskusi di luar sana dengan kata Kabupaten termiskin di Sulsel. Ini menjadi tamparan keras untuk semuanya terkusus untuk saya pribadi.

Apakah kita harus menggunakan cara-cara kekerasan untuk menangkis omongan itu(?) tentu itu bukanlah jalan yang tepat. Yang harus kita lakukan yaitu berbenah, berkolaborasi, mengoreksi diri, bergerak, belajar, saling mangakomodir, dan memperkuat SDM untuk mengembalikan kejayaan itu sebagaimana kejayaan yang pernah di torehkan para faunding father kita di masa lalu.

Jakarta, 1 Mei 2023

Pos terkait