Mengatasi Kebingungan Dalam Pemilu

Oleh : Prof. Dr. Warsono, M.S.

Dalam hukum alam, ada suatu hubungan kasalitas antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Dalam konteks ini, berlaku proposisi bahwa, apapun yang kita lakukan saat ini cepat atau lambat, akan menimbulkan akibat di masa depan. Masa lalu dianggap sebagai produk dari masa kini, yang bisa menjadi pelajaran untuk menentukan masa depan.

Bacaan Lainnya

Oleh karena itu, kita selalu diingatkan untuk tidak meninggalkan sejarah dan harus belajar dari sejarah. Bahkan di Amerika, sejarah menjadi pelajaran yang setengah wajib untuk semua warga negara.

Dari sejarah (apa yang telah terjadi, tersebut bisa diambil suatu pelajaran), karena meskipun hanya dalam satu periode waktu di dalamnya, juga menggambarkan hubungan sebab akibat. Dengan demikian, kita bisa mengetahui, apa yang terjadi sebagai akibat dari suatu peristiwa, terlebih dalam kaitannya dengan kebijakan secara makro.

Dengan hukum kausalitas waktu tersebut, menyebabkan kita sering terpengaruh dengan masa lalu, terutama dalam menilai seseorang. Masa lalu seakan menjadi label terhadap jati diri seseorang. Namun dalam kenyataannya, hukum kasualitas waktu ini seringkali tidak dianggap sebagai kebenaran mutlak.

Secara normatif (hukum) juga tidak menerima secara mutlak hukum kausalitas waktu. Hal ini terlihat dalam peraturan perundang-undangan masih membolehkan (tidak melarang sama sekali) mantan koruptor untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, bahkan juga menjadi kepala daerah.

Dan dalam kenyataannya, rakyat juga tidak percaya kepada hukum tersebut atau memang tidak memperdulikannya. Hal ini terbukti dengan banyaknya mantan koruptor yang terpilih Kembali dalam pemilihan legislatif maupun eksekutif.

Tampaknya masih ada hukum alam lain yang sering kita lupakan yaitu hukum ketidakabadian. Sebagaimana yang dikatakan oleh Herakletos, Pantharei, bahwa segalanya akan berubah (mengalir). Sehingga tidak semuanya yang jelak akan terus jelak, dan tidak semua yang baik akan terus baik, karena semua bisa berubah.

Meskipun tidak ada kepastian apakah perubahan itu bisa bersifat kontrakdiiksif, yang berlawanan, seperti baik menjadi buruk atau sebaliknya yang buruk bisa berubah menjadi baik, atau hanya sekedar perubahan bentuk, tetapi substansinya sebenarnya tetap.

Jika mengacu kepada Aristoteles, apakah perubahan itu mennyangkut substansinya (materi), atau hanya bentuknyanya yang berubah, Karena mernurut Aristoteles, segala sesuatu itu itu terdiri dari materi dan bentuk.

Dalam konteks ini kita semakin dihadapkan kepada persoalan mendasr, jika kita mengacu kepada hukum kekekalan masa maupun energi, maka yang berubah hanyalah bentuknya, sedang materi atau subtansinya tetap. Misal energi itu tetap yang berubah hanya bentuknya, misal dari panas menjadi listrik. Begitu juga air di dunia ini jumlahnya tetap, hanya bentuknya yang berubah dan tempatnya yang berpindah.

Jika hukum terseebut kita kaitkan dengan manusia menjadi semakin rumit dan sulit, karena manusia tidak sama dengan makhluk Tuhan lainnya, seperti binatang atau tumbuhan maupun benda mati. Binatang, tumbuhan, dan benda mati sepenuhnya tunduk kepada hukum alam, termasuk hukum kausalitas.

Sedangkan manusia tidak mau sepenuhnya tunduk kepada hukum alam. Sebagai contoh, antara lapar dan makan bagi binatang menjadi hubungan sebab akibat, dalam arti binatang jika lapar harus makan, dan jika tidak lapar tidak akan makan. Hal ini tidak berlaku kepada manusia, karena manusia makan belum tentu lapar dan makan belum tentu lapar.

Secara kodrati, manusia diberi kebebasan (otonom) dan akal budi, yang dilengkapi dengan kemampuan untuk membedakan antara yang benar dengan yang salah, antara yang baik dan yang buruk, dan antara yang indah dengan yang tidak indah.

Secara kodrati, manusia juga memiliki keinginan (desire), yang salah satunya adalah keinginan untuk menjadi baik. Meskipun pendapat ini ada yang tidak setuju, namun hampir semua orang ingin menjadi orang baik, sebagaimana kodratnya sebagai makhluk mulia.

Sehingga setiap orang selalu mendambakan hidupnya akan berakhir dengan baik (husnul khotimah). Memang tidak semua orang bisa berakhir baik dalam hidupnya, namun keinginan menjadi baik ini bisa menjadi harapan kita atas pribadi seseorang.

Di sisi lain, juga tidak semua manusia bisa mewujudkan keinginannya dan kebebasan yang dimiliki. Manusia bukanlah makhluk yang super hebat dan kuat. Dalam dirinya ada kelemahan, yang seringkali membatasi kebebasannya dan keinginannya.

Sebagai contoh kelemahan secara ekonomi, akan membatasi keinginan untuk memiliki sesuatu. Orang yang miskin (tidak memiliki cukup uang) akan membatasi keinginannya untuk membeli barang-barang yang diinginkan.

Secara politik, kelemahan dalam sumber kekuasaan, akan membuat seseorang tidak memiliki kebebasan dalam membuat kebijakan. Sebagai contoh, presiden yang tidak didkung oleh kekuasaan di legislatif, tidak akan mampu membuat kebijakan seenaknya, sesuai dengan janjinya waktu kampanye.

Oleh karena itu, seringkali apa yang diwacanakan termasuk program kerja yang disampaikan dalam kampanye, belum tentu nanti bisa diwujudkan. Contoh untuk ini sudah banyak terjadi dalam dunia perpolitikan kita. Banyak janji politik yang tidak bisa dipenuhi, karena keterbatasan sumber kekuasaan.

Kekuatan manusia terletak kepada kebebasan untuk bertindak, yang dalam politik kekuasaan manusia terletak kepada kemampuannya untuk mempengaruhi banyak orang, untuk mengikuti apa yang dinginkan melalui kebijakan yang dibuat. Jika demikian, maka semakin besar beban politik semakin lemah kekuatan dan kekuasaannya, karen beban politik tersebut akan membatasi kebebasannya dalam membuat kebijakan.

Dalam menghadapi pemilu, sepertinya kita harus merubah paradigma dari apa yang kita harapkan terhadap calon presiden menjadi apa yang bisa dilalukan calon presiden, karena harapan kita ditentukan oleh apa yang akan mereka lakukan. Jika mereka tidak bebas untuk membuat kebijakan guna memenuhi apa yang kita harapkan, maka harapan kita tinggal mimpi belaka. Namun apa yang mereka lakukan akan menjadi kenyataan, baik kita suka maupun tidak.

*Penulis adalah Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur periode 2022-2026, Ketua II Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (PP ISPI) periode 2014-2019, dan Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) periode 2014-2018.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *