Oleh : Prof. Dr. Warsono, M.S.
Setiap kali menjelang pemilu konflik antar individu maupun antar kelompok tidak bisa kita hindari. Wacana saling serang, menyalahkan dengan perspektif masing-masing hampir setiap hari kita saksikan di medsos maupun dalam ruang-ruang publik. Bahkan konflik bukan hanya terjadi di kalangan elit tetapi juga sampai di lapisan bawah.
Keberpihakan (dukungan) yang berlebihan dan emosional terhadap salah satu calon, bisa menjadi sumber konflik di kalangan masyarakat. Kondisi seperti ini menimbulkan perpecahan yang mengancam paersatuan dan kesatuan bangsa.
Secara sosiologis, konflik di masyarakat tidak mungkin bisa dihindari, artinya konflik akan selalu ada, karena realitanya masyarakat bersifat majemuk, dan terstratifikasi. Konflik di masyarakat tidak selalu negatif, tetapi juga bisa membawa dampak positif. Konflik bila dikelola dengan baik bisa menjadi kekuatan perubahan ke arah yang lebih baik.
Hegel telah memberi formula manajemen konflik dalam bentuk dialektika. Perbedaan antara thesa dan antithesa, meskipun keduanya bertentangan, bisa menghasilkan suatu bentuk baru yaitu sinthesa, yang mengakomodir keduanya.
Menurut Lewis Coser, konflik antar kelompok bisa menumbuhkan solidaritas sosial, karena bisa memperkuat kohesi diantara anggota kelompok. Dengan adanya konflik antar kelompok ikatan mereka sebagai satu kelompok menjadi semakin kuat, karena mereka sama-sama merasakan dan menjadikan dirinya sebagai suatu entitas yang sama. Oleh karena itu, sering terjadi konflik yang pada awalnya antar individu, bisa meluas menjadi konflik antar kelompok, karena keterlibatan orang lain atas dasar kesamaan identitas.
Konflik juga bukan hanya terjadi karena adanya perbedaan saja, tetapi juga terjadi karena adanya kesamaan dan keterbatasan. Adanya kesamaan untuk memperoleh sesuatu yang terbatas bisa menjadi sumber konflik. Konflik yang terjadi antar elit partai menjelang pemilu disebabkan karena kesaman dan keterbatasan. Mereka saling memperebutkan jabatan presiden atau kepala daerah.
Secara psikologis, konflik disebabkan karena sifat ke-aku-an, yang memposisikan sebagai subyek. Seperti yang dikatakan oleh Herbert Mead, bahwa manusia bisa membelah dirinya menjadi aku subyek (I) dan aku obyek (me). Sebagai subyek (I) cenderung menjadikan orang lain sebagai obyek. Jika orang yang memposisikan diri sebagai subyek bertemu dengan orang yang juga memposisikan diri sebagai subyek, potensi terjadi konflik.
Ke-aku-an juga berkaitan dengan kepemilikan (behaving, menurut Erick From). Hal ini bisa dilihat dalam bentuk pengakuan, seperti sepedaKu, rumahKu, pacarKu, tanahKu dan sebagainya. Konflik yang bersumber dari ke-aku-an atas hal sama juga banyak terjadi di masyarakat, misal konflik atas kepemilikan tanah, warisan.
Dalam politik, rasa ketakutan akan kehilangan jabatan atau kekuasaan, juga menjadi sumber munculnya konflik. Misal melakukan perlawanan ketika akan dilakukan penggantian jabatan.
Rasa ke-aku-an ini sebenarnya juga tidak selalu negatif, tetapi juga bisa bernilai positif, setidaknya bisa menjadi motivator untuk melakukan sesuatu kebaikan. Sebagai contoh, ketika kita mengkontruksi diri sebagai orang yang baik (misal, aku adalah orang yang baik dan bermartabat), ke-aku-an itu bisa mendorong untuk berbuat baik. Dengan demikian ke-aku-an bisa menjadi motivator internal untuk melakukan kebaikan.
Meskipun konflik tidak bisa dihindari, setidaknya harus dikelola, agar tidak merusak atau berdampak negatif. Bagi bangsa Indonesia yang bersifat majemuk, baik dari segi etnis, agama dan budaya, tentu kemampuan mengelola konflik sangat dibutuhkan, agar tidak terjadi perpecahan sebagai bangsa maupun negara.
Untuk mengatasi konflik yang bersumber dari perbedaan adalah dengan cara mengembangkan toleransi, yaitu dengan menghargai perbedaan dan memberi kesempatan kepada orang lain untuk melakukan hak individunya. Sikap toleran harus dimiliki oleh setiap individu, untuk menghindari terjadinya konflik yang disebabkan oleh perbedaan.
Jika meminjam istilah Alfred Schutz adanya perbedaan menjadi because motive (motif yang mendorong) adanya toleransi. Sedang mencegah terjadinya konflik sebagai in order motive (motif yang diharapkan) dari toleransi. Oleh karena itu, upaya untuk membangun sikap toleran harus terus dilakukan kepada setiap warga negara, agar tidak terjadi konflik sosial maupun politik.
Sedangkan konflik yang disebabkan oleh ke-aku-an (kepemilikan) bisa diatasi dengan menghilangkan atau setidaknya mengurangi ke-aku-an tersebut. Ke-aku-an yang berlebihan bukan hanya menjadi sumber konflik, tetapi juga bisa menjadi sumber ketidakadilan, karena ke-aku-an yang berlebihan bisa melahirkan keserakahan.
Sikap suka berbagi apalagi memberi merupakan cara untuk menghindari konflik yang bersumber dari ke-aku-an. Oleh karena itu, budaya dan karakter suka berbagi dan memberi harus ditumbuhkan pada setiap warga bangsa, khususnya para elit, yang sering ketakutan akan kehilangan jabatan atau kekuasaan.
Kemauan untuk mengikis ke-aku-an dan menggantikan dengan kemauan untuk berbagi dan memberi merupakan solusi menghindari terjadinya konflik. Dalam kontek politik sikap ini secara simbolik dicontohkan oleh Yudistira atau Punta Dewa raja Amarta, dari keluarga tertua Pandawa.
Yudistira tidak mau berebut kekuasaan (negara Astinapura) dengan para Kurawa. Ia menghindari konflik dengan cara memberikan negaranya kepada Duryudono sebagai yang tertua dari Kurawa, yang juga masih ada hubungan saudara.
Jika para etlit bisa mengesampingkan ke-aku-an atas jabatan dan kekuaasan dengan menggatikan dengan sikap memberikan pengabdian kepada bangsa dan negara, maka wacana saling serang dan menyalahkan diantara para elit ini tidak akan terjadi, atau setidaknya bisa diminimalisisir. Dengan demikian, rakyat juga akan merasakan pemilu dengan damai.
*Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya (UNESA) dan Ketua HIPIIS Jawa Timur.