Menakar Koalisi Anies Ganjar

Beberapa hari belakangan, muncul wacana peluang koalisi partai-partai politik pendukung pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden nomor urut 01 dan 03, jika seandainya salah satu dari mereka gagal lolos dari putaran pertama Pemilu Presiden tahun 2024.

Wacana ini menguat setelah debat ketiga antara calon Presiden, dimana baik calon Presiden nomor urut 01, Anies Baswedan dan nomor urut 03 Ganjar Pranowo, kompak menyerang calon Presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto. Keduanya kompak memberikan nilai rendah terhadap kinerja Prabowo sebagai Menteri Pertahanan Republik Indonesia.

Bacaan Lainnya

Dengan munculnya wacana ini ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan. Pertama, tim pemenangan Anies maupun Ganjat, keduanya sudah menyepakati bahwa satu diantara mereka tidak akan lolos ke putaran kedua, dan lawan yang akan dihadapi adalah Prabowo.

Hal ini menjadi wajar jika kita melihat tren hasil survei dari berbagai lembaga yang menempatkan pasangan Prabowo-Gibran sebagai pemenang dengan hasil suara tidak kurang dari 40 persen. Kedua, baik tim pemenangan Anies maupun Ganjar sepertinya sepakat bahwa tren kemenangan Prabowo hanya bisa dibendung jika keduanya bergabung.

Masalahnya adalah, dua kubu ini, baik kubu Anies maupun kubu Ganjar memiliki kecenderungan perbedaan yang cukup kuat, terutama di sektor basis massa. Bisa diibaratkan basis massa Anies mewakili kelompok kanan, sedangkan basis massa Ganjar mewakili kelompok kiri.

Akan sulit bagi massa suara Ganjar untuk mendukung Anies karena adanya sentimen isu politik identitas. Isu ini sangat menempel kepada Anies sejak Pilkada tahun 2017, yang mengawali polarisasi menjelang Pemilu tahun 2019.

Begitupun sebaliknya, sangat sulit bagi massa pendukung Anies untuk memilih Ganjar. Karena sebagian besar pendukung Anies saat ini adalah pendukung tradisional Prabowo sejak tahun 2014, mereka oposan terhadap partai penguasa PDIP, dan dukungan kepada Anies baru muncul setelah Prabowo memilih bergabung dengan pemerintahan untuk meredam isu polarisasi.

Di tingkat partai politik, agak mustahil melihat PKS dapat bergabung dengan PDIP dalam satu koalisi di tingkat nasional. Karena sejak pendirian kedua partai di awal reformasi, keduanya belum pernah duduk dalam koalisi yang sama dan selalu berada dalam posisi yang berseberangan.

Pada tahun 1999, PKS yang masih bernama Partai Keadilan (PK), tergabung dalam Poros Tengah untuk mencegah Megawati menjadi Presiden, padahal saat itu PDIP memenangkan Pemilu tahun 1999. Presiden PK saat itu, Nur Mahmudi Ismail, mendapat jatah kursi menteri di pemerintahan Presiden Wahid.

Pada periode tahun 2004 sampai dengan tahun 2014, PKS tergabung dalam pemerintahan Presiden SBY, sedangkan PDIP mengambil posisi oposisi. Pun sebaliknya, pada periode tahun 2014 sampai saat ini, PDIP menjadi partai penguasa sedangkan PKS menjadi satu-satunya partai yang konsisten menjadi oposisi.

Maka sangat sulit mengharapkan PKS untuk bergabung dengan PDIP, begitu pula sebaliknya. Apalagi jika kita menghitung Partai Ummat, apakah mungkin PDIP menerima Partai Ummat? Karena sama seperti Gus Dur, Megawati tidak akan pernah lupa dengan ‘sepak terjang’ kawan Amin Rais.

 

Ditulis oleh Muhammad Syaifulloh, Ketua Umum Angkatan Muda Khatulistiwa

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.