Oleh : Dr. Hananto Widodo, S.H., M.H.
Perdebatan terkait putusan MK yang menolak seluruh permohonan 01 dan 03, hanya menyisakan perdebatan secara akademik. Khususnya perdebatan pada aspek hukum tata negara. Namun demikian, perdebatan dari aspek politik praktis dapat dikatakan sudah selesai.
Mungkin hanya PDIP yang masih mempermasalahkan dengan melakukan upaya hukum dengan melakukan gugatan terhadap Keputusan KPU di PTUN.
Parpol pendukung 01, yakni Partai Nasdem dan PKB sudah memberi sinyal untuk segera merapat ke Prabowo-Gibran. Bahkan PKS dengan terang-terangan mengatakan, akan memberikan karpet merah kepada Prabowo-Gibran. PPP yang merupakan pendukung 03 juga ikut memberikan sinyal untuk bergabung dengan koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran.
Paling tidak ada dua logika yang bisa digunakan oleh Prabowo sebagai Presiden untuk mengakomodasi parpol pendukung lawan politiknya, baik 01 dan 03 untuk bergabung dengan jajaran pemerintahannya.
Pertama, logika untuk mengamankan pemerintahannya dalam lima tahun ke depan. Artinya, dalam lima tahun ke depan, Prabowo harus bisa memastikan kalau DPR dapat menjadi mitra yang menyenangkan bagi pemerintahannya.
Jika logika ini yang digunakan, maka hanya parpol yang memiliki kursi besar yang akan dirangkul atau minimal parpol yang lolos parlementary threshold (PT) yang akan diakomodasi oleh Prabowo.
Parpol yang tidak lolos PT tentu akan tidak akan diakomodasi oleh Prabowo. Kalaupun mereka akan diakomodasi oleh Prabowo, tetapi mereka tidak akan masuk prioritas. Oleh karena itu, jika Prabowo akan mengakomodasi parpol pendukung lawan politiknya dengan alasan rekonsiliasi, maka PPP dan Perindo tidak akan terakomodasi dalam pemerintahannya.
Tentu ada pertanyaan lain terkait dengan parpol yang tidak lolos PT. Karena ada beberapa parpol pendukung Prabowo-Gibran yang tidak lolos PT, seperti PSI, PBB dan Partai Gelora. PSI tentu akan mendapatkan prioritas walau tidak lolos PT, karena faktor Ketua Umumnya, yakni Kaesang yang merupakan adik dari Gibran. Sedangkan PBB dan Partai Gelora akan mendapatkan jatah kursi di Kementerian tetapi tidak signifikan.
Kedua, logika semua parpol akan dirangkulnya, meskipun parpol yang tidak lolos PT. Dengan demikian, PPP juga akan mendapatkan tempat di Kementerian Prabowo. Berbeda dari logika pertama, pada logika kedua ini tujuan dari merangkul parpol yang tidak lolos PT ini lebih disebabkan, Prabowo membutuhkan partner yang mumpuni.
Bagaimanapun juga PPP memiliki Sandiaga Uno, yang secara historis memiliki kedekatan dengan Prabowo, karena pada tahun 2019, Sandiaga merupakan Cawapres dari Prabowo, Sandiaga secara personal juga memiliki kemampuan manajerial di bidang perekonomian.
Namun demikian, secara kuantitas, jumlah Menteri yang berasal dari parpol lawan politik dari Prabowo-Gibran tidak akan banyak.
Bagaimanapun juga, dalam sistem presidensiil dengan kombinasi multiparpol seperti di Indonesia ini, dukungan dari parlemen sangat dibutuhkan.
Jika Presiden tidak memiliki dukungan secara signifikan di parlemen, maka semua kebijakan dari Presiden sulit untuk terlaksana secara optimal. Jokowi pada awal pemerintahannya pada tahun 2014 pernah merasakannya.
Pada waktu Jokowi akan maju sebagai Capres pada tahun 2014, Jokowi menegaskan tidak akan membangun koalisi dengan postur yang gemuk. Pada tahun 2014 Jokowi hanya didukung oleh PDIP, PKB dan PKPI.
Sedangkan Golkar, PAN, Demokrat, PPP, Gerindra semuanya merupakan pendukung Prabowo. Apa yang terjadi ketika Jokowi memenangkan kontestasi pada tahun 2014 ? Sebagaimana kita ketahui pada 3 bulan awal pemerintahannya, Jokowi mengalami kesulitan dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Setelah itu, Golkar, PPP, PAN mulai bergabung dengan koalisi pemerintahan Jokowi. Hanya menyisakan hanya Demokrat dan PKS yang tidak bergabung dalam koalisi. Meskipun Demokrat dan PKS berada di luar pemerintahan, bukan berarti mereka telah menjalankan oposisi dalam arti sesungguhnya. Memang mereka berdua telah menunjukkan sikap yang berbeda dengan sikap koalisi pendukung pemerintah, tetapi mereka tidak terlembagakan secara formal.
Melembagakan oposisi memang secara politik memang tidak menguntungkan. Jika oposisi terlembagakan dalam bentuk barisan koalisi oposisi di DPR, maka dapat dipastikan parpol tidak akan bisa menyesuaikan secara fleksibel dalam dinamika politik.
AHY tentu tidak akan menduduki jabatan sebagai Menteri ATR/Kepala BPN jika oposisi di DPR terlembagakan. Namun demikian, dilihat dari aspek demokrasi, maka oposisi yang tidak terlembagakan menjadi kurang baik ke depannya.
Oposisi tidak bisa dimaknai sebagai person-person anggota DPR yang melakukan kritik terhadap Pemerintah di berbagai media televisi atau media sosial, seperti yang dilakukan oleh Fadli Zon dan Fahri Hamzah pada pemerintahan Jokowi 2014-2019. Oposisi harus dimaknai sebagai Gerakan untuk memengaruhi kebijakan yang mereka anggap tidak pro terhadap rakyat.
Oleh karena itu, paling tidak sudah ada upaya secara politik untuk menggagalkan rancangan undang-undang yang mereka anggap merugikan rakyat. Dengan demikian, jika pada pada tahun 2024-2029 semua parpol merapat ke Prabowo-Gibran, bagaimana jika pemerintah mengusulkan RUU yang merugikan masyarakat, lalu siapa yang akan mencegahnya?
Sinyal merapatnya hampir semua parpol ke koalisi Prabowo-Gibran, merupakan alarm peringatan bagi matinya demokrasi di Indonesia. Tentu akan ada yang mengatakan, toh ada MK yang akan menguji UU jika tidak puas dengan UU yang diberlakukan.
Pernyataan ini tentu merupakan pernyataan yang mengingkari demokrasi. Karena ini bukan hanya sekedar UU yang bisa diuji oleh MK jika ada yang tidak puas. Namun ini juga terkait dengan masa depan demokrasi di Indonesia. Jika UU yang merugikan masyarakat bisa dicegah di DPR, kenapa kita harus ke MK?
*Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya (FH Unesa).